Pedang Ular Mas Chapter 25

NIC

Nyata kedua orang she Ong dan she Kho itu ada saudara-saudara seperguruan, Bok Jin Ceng itu ada susiok, paman guru mereka, meski benar mereka terlebih tua sedikit daripada Sin Cie; dalam hal derajat, Sin Cie ada lebih tinggi setingkat.

"Kedua toakomu ini datang dari Shoasay atas titahnya Ciangkun Lie Cu Seng," sang guru menerangkan pula. "Di Shoasay ada urusan penting yang mesti dirundingkan, maka itu besok aku mesti turun gunung."

Sin Cie heran tapi ia tidak mencegah. "Suhu, aku toh boleh turut, supaya aku bisa lihat Cui Siokhu?" mohon dia , yang tidak bisa lupai paman-angkat itu. Pernah beberapa kali ia minta turun gunung akan sambangi sang paman, saban-saban gurunya ini mencegah.

Mendengar permintaan muridnya itu, Bok Jin Ceng tertawa.

Kedua pemuda she Ong dan Kho itu duga guru dan murid itu hendak bicara, mereka minta perkenan, lantas mereka pergi keluar.

Segera juga sang guru berkata pada muridnya: "Sekarang ini tentara rakyat sedang maju, kedua propinsi Siamsay dan Shoasay bakal lekas dirampas pihak kita, maka itu sekarang ada ketikanya untuk kau turun gunung, buat sekalian menuntut balas kepada musuh ayahmu. Kau telah minta perkenan buat kau pergi bunuh kaisar Cong Ceng, aku selalu menolaknya, kau tahu apa sebabnya?"

"Mungkin, karena kepandaianku belum cukup," sahut sang murid.

"Itu ada salah satu sebab," jawab sang guru. "Masih ada satu sebab lain, jang terlebih penting. Kau duduk, mari kita bicara pelahan-lahan."

Sin Cie menurut, ia duduk didepan gurunya.

"Selama beberapa tahun ini, suasana di tapal batas ada tegang sekali," menerangkan Bok Jin Ceng. "Bangsa Boan kandung maksud jang tak dapat kita duga-duga, tidak ada satu hari yang mereka lewatkan tanpa niat menerjang masuk ke Tionggoan. Kaisar Cong Ceng memang senantiasa bersangsi, akan tetapi dibanding dengan kaisar- kaisar yang telah marhum, Kee Ceng atau Thian Kee, dia masih terlebih baik. Umpama karena dendaman pribadi , kau nerobos kedalam istana, kau bunuh dia, maka penggantinya tentu puteranya yang belum dewasa. Dengan putera mahkota belum tahu apa-apa, pemerintahan pasti bakal terjatuh kedalam tangannya menteri kebiri. Apabila ini sampai terjadi, aku kuatir Negara kita bakal terampas lain bangsa. Dengan begitu, tidakkah kau bakal jadi rakyat yang paling berdosa? Marhum ayahmu berkorban selagi menangkis serangan bangsa Boan, cita-citanya adalah merampas Liau-tong, sekarang didunia baka, apabila dia ketahui perbuatanmu, pasti dia akan murka dan akan kutuk kau sebagai anak put-tiong put-hau!" (tak setia dan tak berbakti).

Sin Cie terkejut, hingga ia mandi keringat dingin. "Urusan Negara adalah urusan besar, urusan pribadi

adalah urusan kecil," menjelaskan pula sang guru. "inilah

sebabnya kenapa aku cegah kau pergi bunuh kaisar Cong Ceng. Akan tetapi keadaan sekarang ada lain. Giam Ong bakal segera rampas Siamsay dan Shoasay, mungkin dalam satu atau dua tahun dia akan duduki ibu kota Pakkhia. Apabila cita-cita ini tercapai, Giam Ong yang bakal pegang pimpinan. Setelah rakyat semua bersatu padu, kenapa kita mesti kuatirkan lagi bangsa Boan di Liau Tong nanti terjang kita?"

Bergolak darah Sin Cie mendengar kata-kata yang bersemangat dari gurunya itu.

"Sekarang ilmu silatmu telah ada dasarnya," berkata pula sang guru. "Memang ilmu silat tidak ada batasnya, akan tetapi semua kepandaianku, aku telah wariskan kepadamu, maka mengandal kepada dirimu sendiri, aku percaya kau akan bisa berbuat banyak. Kau tinggal membutuhkan latihan lebih jauh dan pengalaman, kau sudah boleh turun gunung. Besok aku akan berangkat, tak dapat kau turut langsung bersama, kau harus tunggu sampai satu bulan, lantas kau boleh berangkat sendiri, kau menuju langsung

170 kedalam angkatan perang Giam Ong di Shoasay untuk cari aku."

Sin Cie girang, ia terima baik pesan guru itu. "Baik suhu, aku menurut," kata dia.

Bok Jin Ceng telah beritahu banyak kepada muridnya ini tentang segala-galanya kaum kangouw, tapi sekarang , ia telah ulangi itu agar murid ini ingat poma-poma, kemudian ia tambahkan: "Kau jujur dan berhati-hati, aku percaya kepadamu, tetapi kau masih muda, semangatmu sedang ber-kobar-kobar, maka pesanku sekarang adalah mengenai paras eilok, kau mesti waspada luar biasa. Sudah banyak buktinya bagaimana orang gagah-perkasa rubuh ditangan orang perempuan, hingga tubuhnya bercelaka dan namanya rusak! Kau ingat ini baik-baik!"

Sin Cie terima pesan penting dari gurunya ini.

Besoknya pagi, belum terang tanah, Sin Cie sudah bangun dari tidurnya, ia minta A Pa nyalakan api dan masak nasi, sesudah barang makanan siap, ia pergi kekamar gurunya, untuk undang guru itu dahar, akan tetapi kapan ia sampai didalam kamar, ia dapatkan sebuah kamar kosong. Diluar tahunya, tadi tengah malam, guru itu sudah berangkat bersama-sama si Ong dan Kho, kedua suheng itu. Bengong ia mengawasi pembaringan tak ada isinya dari gurunya. Tapi kapan ia ingat, segera juga ia bakal turun gunung, ia lari ke dapur, untuk beritahukan itu kepada A Pa, si empeh gagu. Ia ada sangat gembira, siapa tahu, A Pa sebaliknya berduka, dia putar tubuhnya dan ngeloyor keluar, meninggalkan kawan ini.

Menampak demikian, Sin Cie jadi terharu. Si gagu ini ada kawannya sepuluh tahun lebih, mereka hidup rukun bagaikan saudara kandung, sekarang tiba-tiba mereka bakal berpisah, tidak heran A Pa lesu dan berduka. Ia pun,

171 dengan memikir sekelebatan saja, tak ingin berpisah dari kawan ini....

Dengan cepat, delapan hari telah berselang, selama itu tetap Sin Cie berlatih dengan rajin, hanya sekarang, kapan ia memandang sekitarnya, ia merasa berat akan tinggalkan gunungnya itu.

Malam itu, habis bersantap, ia duduk seorang diri menghadapi api. Ia pilih sejilid kitab gurunya, ia baca itu. Kira-kira satu jam kemudian, selagi ia hendak padamkan api, untuk tidur, A Pa bertindak masuk kedalam kamarnya, terus si gagu bicara dengan gerakan tangan kaki. Itu artinya, ada orang asing jang telah datangi tempat mereka.

"Nanti aku lihat," kata Sin Cie jang berniat keluar, tetapi A Pa cegah ia seraya beri tanda bahwa dia sudah memeriksa tapi orang asing itu tidak kelihatan bekas- bekasnya. Ia masih kuatir, ia keluar juga dengan ajak dua orang-hutannya. Ia meronda tanpa hasil, sekembalinya, ia lantas masuk tidur.

Kira tengah malam, anak muda ini mendusin dengan kaget. Ia dengar suara berpekiknya Tay Wie dan Siau Koay. Ia lantas berbangkit, akan duduk untuk pasang kuping. Mendadakan ia cium bau hio wangi, hingga ia terkejut dan dalam hatinya, berteriak: "Celaka." Segera ia menahan napas, ia berloncat turun. Apamau, kedua kakinya hilang tenaganya, ia injak tanah dengan tubuh terhuyung-huyung, hampir saja ia rubuh.

Berbareng dengan itu, pintu kamar tertembrak dari luar, terpentang karena satu dupakan keras, lalu satu bajangan lompat masuk, menyusul mana, sebuah golok menyambar kearah si anak muda.

Sin Cie rasai kepalanya pusing sekali, akan tetapi ia masih sadar, ia mencoba kuati diri, maka itu, ia dapat

172 berkelit, akan egos bacokan, berbareng dengan mana, ia balas menyerang dengan tangan kanannya.

Bajangan itu putar tangannya, untuk balik babat lengan lawan.

Menghadapi musuh gesit itu, Sin Cie tidak mau memberi ketika, ia nyamping dan menyerang pula dengan tangan kiri, hingga mengenai pundak orang itu. Dia telah gunai tenaga besar.

Penyerang itu merasa kesakitan, tubuhnya limbung. Nampaknya ia heran, musuh jang telah terkena asap hio pulas, masih demikian gagah. Ia tentu telah rubuh jikalau tidak satu kawannya, yang menyusul masuk, tahan tubuhnya.

"Dia gagah?" kawan ini tanya.

Sin Cie tidak perdulikan musuh ada berdua, ia hendak menyerang terus, tetapi sekonyong-konyong kepalanya jadi sangat pusing, tidak ampun lagi, ia rubuh pingsan. Entah berapa waktu telah lewat, waktu ia mendusin, ia rasai seluruh tubuhnya lemas dan ngilu, ketika ia coba geraki tangan dan kakinya, ia kaget tidak terkira. Ia telah terbelenggu seluruh tubuhnya? Api dalam kamarnya terang, ia lihat dua musuhnya asyik geledah kamarnya, peti pakaiannya dibongkar.

"Celaka," pikir ia, yang jadi mendongkol, berbareng masgul dan menyesal. Ia sesalkan diri tidak punya guna. Baru beberapa hari gurunya meninggalkan dia, dia sudah kena orang serbu, dia kena dirubuhkan....Bagaimana nanti dia mampu menuntut balas untuk ayahnya? Tapi ia sadar, maka ia lantas tutup kedua matanya, untuk berpura-pura belum mendusin dari gangguan hio pulas, untuk mengawasi gerak-gerik orang, ia buka sedikit matanya. Orang yang satu kurus kering, usianya lima-puluh lebih, kulit mukanya kering. Orang yang kedua ada satu pendeta yang tubuhnya besar dan gemuk. Melihat potongan tubuh dia ini, ia percaya dia adalah yang barusan bertempur dengannya.

"Di gunungku ini ada barang berharga apa maka mereka datangi untuk dirampok?" pikir dia. "Ada juga uang lima- puluh perak peninggalan suhu, buat bekal aku dijalan? Jangan-jangan mereka bukannya penjahat biasa. Pendeta

ini kosen, si kurus juga tidak lemah, mungkin mereka hendak mencari balas, tetapi kenapa mereka tak lantas binasakan aku? Apa perlunya mereka menggeledah?"

Sembari berpikir, Sin Cie coba kerahkan tenaganya, untuk bikin putus pengikat tubuhnya. Ia tahu, dalam keadaan biasa, dadung itu tidak bisa rampas kemerdekaannya untuk selamanya. Baru ia mencoba atau ia mundur sendirinya, hatinya mendongkol dan kecewa.

Dua orang tidak dikenal itu ada bangsa ahli, mereka tahu lawan liehay, diwaktu membelenggu, mereka seling itu dengan sepotong bambu diantara kedua tangan, jikalau si korban berontak, sebelum dadung putus, bambu itu akan pecah terlebih dahulu, suaranya pasti meletak dan berisik, hingga orang akan ketahui percobaannya itu. Maka ia lantas berdiam, untuk cari daya lain.

Sekonyong-konyong si hweeshio jadi kegirangan. "Disini!" ia berseru.

Sin Cie lihat, dari kolong pembaringan, pendeta itu seret keluar peti besi yang besar, peti besi warisan Kim Coa Long-kun.

Si kurus-kering menoleh, ia pun nampaknya jadi sangat girang. Berdua mereka lantas duduk disamping meja, mereka buka tutup peti, untuk keluarkan isinya, itu jilid kitab jang berkalimat "Kim Coa Pit Kip".

Membaca kalimat itu, si gundul tertawa terbahak-bahak: "Benar-benar disini!" kata dia dengan nyaring. "Suko, tak kecewalah usaha kita selama lima-belas tahun mencari ini!"

Lantas dia balik lembarannya kitab itu, dia dapati banyak gambar lukisan serta huruf-huruf halus yang merupakan keterangannya, saking girang, kepalanya digoyang-goyang, dia garuk-garuk belakang kupingnya.

Mendadak si kurus berseru: "Eh, dia mau lari?" Dia menunjuk kepada Sin Cie.

Anak muda ini terkejut, ia menduga orang pergoki ia telah sadar.

Si hweeshio agaknya kaget, ia menoleh dengan segera. Sekonyong-konyong si kurus geraki sebelah tangannya,

lalu sejenak saja, bebokongnya si kepala gundul tertuncap

pisau belati, yang masuk dalam sampai dibatas gagangnya, sesudah mana, dia loncat minggir, untuk segera hunus pedangnya. Ia bersikap untuk bela diri, terutama mukanya, yang dialingi pedangnya itu.

Posting Komentar