Karena tadi telah dapati pengalaman, walaupun ia merasa heran, Sin Cie gali terus tanah itu. Kembali ia dapati sebuah peti besi, jang terlebih kecil, cuma satu kaki persegi.
"Orang gagah luar biasa ini benar-benar kukoay," pikir dia. "Entah apa lagi dia simpan dalam peti ini."
Ia angkat peti, yang ia bisa buka dengan gampang. Kembali ia lihat selembar kertas jang ada tulisannya. Apabila ia sudah baca bunyinya, ia kaget hingga ia mandi keringat dingin.
Surat dari peti yang kecilan berbunyi sebagai berikut: "Kau benar-benar ada seorang baik hati dan jujur. Karena kau urus penguburanku, sudah selayaknya aku balas kebaikanmu dengan barang mustika dan ilmu kepandaian rahasia.
Jikalau peti jang besar dibuka, dari dalamnya bakal menyambar keluar anak-anak panah beracun. Surat dan peta yang berada didalam peti itu pun palsu semuanya, malah ada racunnya juga. Itu semua ialah untuk ajar adat kepada orang-orang jahat.
Barang yang tulen berada dalam peti kecil ini." Sin Cie insyaf, ia tidak mau sia-siakan tempo lagi. Ia letaki kedua peti dipinggiran, ia rapikan lobang galiannya itu, lalu dengan sikap menghormat, ia pindahkan tulang- tulangnya Kim Coa Long-kun, akan diletaki dengan hati- hati, sesudah mana, ia uruki dengan tanah, atasnya ia bikin rata, setelah ini, ia kembali soja-kui beberapa kali.
Sampai disitu, selesailah sudah ia dengan kewajibannya sebagai "ahli waris", maka dengan pondong kedua peti, Sin Cie bertindak keluar kamar, terus sampai ditikungan. Disini sekarang ia bisa lihat segala apa dengan nyata, karena hatinya lega bukan main. Ia dapatkan mulut gua tersusun batu, rupanya sengaja Kim Coa Long Kun atur demikian, untuk mencegah orang masuk kedalam guanya ini. Ia lantas singkirkan semua batu itu, hingga disitu jadi terbuka satu terowongan yang cukup lega. Ia buka gua ini supaya besok lusa ia bisa ajak kedua gurunya masuk kesitu untuk memeriksa.
Sesampainya dimulut terowongan, Sin Cie memanggil A Pa sambil tarik dadung, maka dilain saat ia sudah dikerek naik oleh si gagu. Lekas-lekas ia lari pulang, untuk menemui kedua gurunya.
Ketika itu Bok Jin Ceng dan Bhok Siang Toojin sedang main catur, mereka tunda permainannya, akan dengari penuturannya murid mereka. Sin Cie menuturkan segala apa dengan jelas.
Bhok Siang lihat surat-surat itu, diam-diam dia terperanjat dalam hatinya. Bok Jin Ceng pun dapat perasaan sebagai dia. Kemudian ia buka sampul yang bertuliskan "Aturan membuka peti", ia ambil suratnya, untuk dibaca, begini: "Dikiri dan kanan peti ini ada pesawat rahasianya, maka itu, untuk membukanya, peti mesti dipegang dengan kedua tangan dan dibukanya dengan keras dan berbareng, Baru tutupnya akan terbuka."
163 Bhok Siang Toojin dan Bok Jin Ceng mengulurkan lidah mereka saking kagum. Itulah hebat.
"Jiwanya Sin Cie seperti telah dihidupkan pula!" berkata imam itu. "Coba dia temaha sedikit saja, dia tidak kubur dulu jenasah dan lantas mendahului membuka peti, tentu anak-anak panah beracun tidak akan beri dia ampun!. "
Ia lantas suruh si gagu ambil sebuah tong besar, dikiri dan kanan itu, kira sebatas peti besi, dia bikin dua lobang, kemudian peti itu diletaki dalam tong itu, terus atasnya tong ditutup dengan papan tutupannya.
"Mari," Bhok Siang mengajak Sin Cie.
Berdua mereka masuki sebelah tangan mereka masing- masing kedalam lobang tong, untuk pegangi peti dibagian pentolannya, lalu dengan beri tanda, keduanya menarik dengan berbareng, dengan dikageti. Menyusul itu terdengarlah satu suara menjeblak. Itulah rupanya, ada tanda dari terbukanya lapisan yang kedua. Lalu menyusul itu terdengar dua rupa suara beruntun, berbunyi seperti barang nancap dan nyaring "dung,dung", hingga tong itu sedikit menggetar.
Sin Cie tunggu sampai suara sudah berhenti, ia hendak buka tutup tong itu.
"Tunggu!" Bok Jin Ceng mencegah sambil tarik lengan muridnya.
Baru guru ini tutup mulutnya atau segera terdengar suara susulan seperti barusan.
Masih Bok Jin Ceng menunggu sekian lama, Baru ia buka tutup tong, untuk dibalik, maka untuk keheranan mereka, mereka dapati tutup tong itu tertancap banyak anak panah, sampai beberapa puluh batang. Pat Chiu Sian-wan Bok Jin Ceng ambil jepitan, untuk jepit dan cabut bergantian semua gandewa itu, yang ia letaki dipinggiran. Ia takut untuk cekal semua senjata itu.
Melihat semua itu, Bhok Siang Toojin menghela napas. "Ini orang pandai memikir dalam sekali," memuji dia.
"Rupanya dia kuatir, dengan penyerangan pertama saja,
penyerangannya itu nanti gagal, maka ia atur serangan susulannya yang kedua kali. "
Lantas imam ini, Kwie-Eng-Cu si Bajangan Iblis, jumput keluar peti besi dari dalam tong itu, maka dapatlah mereka lihat, setelah lapis yang kedua terbuka, didalam situ ada kawat-kawat malang-melintang. Terang itu ada kawat- kawat yang merupakan pesawat, yang membikin anak-anak panah bisa melesat menyambar sendirinya sebagai kesudahan dari ditariknya per rahasia.
Dengan gunai jepitan, Kwie-Eng-Cu Bhok Siang Toojin singkirkan semua kawat itu, disebelah bawah itu ia tampak sejilid buku dengan kalimatnya "Kim Coa Pit Kip", atau "Kitab Rahasia Kim Coa". Dengan "Kim Coa", Ular emas, pasti dimaksudkan Kim Coa Long-kun.
Dengan terus gunai jepitan itu, Bhok Siang balik beberapa halaman dari kitab rahasia itu, didalamnya kedapatan tulisan huruf-huruf kecil berikut rupa-rupa gambar atau peta, juga peta bumi. Sejumlah gambar orang memperlihatkan pelbagai sikap latihan silat. Gambar- gambar lainnya adalah contoh rupa-rupa alat senjata.
Semua orang tonton kitab itu dengan kekaguman.
Habis itu, Bhok Siang buka peti besi yang kecil, yang tidak pakai pesawat rahasia lagi, isinya adalah sebuah kitab serupa seperti kitab yang pertama itu, sama ukuran dan romannya, sama kalimatnya, akan tetapi kapan telah dibalik-balik lembarannya, isinya beda dari kitab yang pertama itu: beda tulisannya, gambarnya, petanya. Yang belakangan ini adalah kitab yang sejati.
"Benar-benar Kim Coa Long-kun sangat luar biasa," memuji Bok Jin Ceng, si Lutung Sakti Tangan Delapan. "Untuk menghadapi orang jang tak sudi kubur rerongkongnya, dia telah asah otaknya membuat ini kitab palsu serta panah rahasianya yang beracun. Bukankah ia telah menutup mata? Kenapa ia bersiaga begini rupa terhadap orang yang masih belum diketahui bermaksud buruk atau baik?"
"Dia adalah seorang, yang bisa dianggap cupat pandangannya," menyatakan Bhok Siang Toojin, "maka juga ia telah dapatkan hari akhirnya begini rupa."
Bok Jin Ceng manggut-manggut, ia menghela napas pula.
"Sin Cie, pergi simpan kedua peti besi ini berikut semua isinya," kemudian kata sang guru kepada muridnya. "Kim Coa Longkun berpemandangan sempit, kitabnya ini tidak ada faedahnya untuk dibaca."
Sin Cie turut kata gurunya, ia benakan kedua buku, ia tutup kedua peti, lalu ia bawa pergi untuk disimpan.
Sejak itu bocah ini lanjuti latihan silatnya dengan ber- tambah-tambah rajin, Bhok Siang sangat sayangi dia hingga dia diwariskan kepandaian ilmu entengkan tubuh dan senjata rahasia, tak ada yang guru kedua ini sembunyikan. Karena habis itu, selang beberapa bulan, imam ini pamitan untuk turun gunung, buat kembali hidup berkelana.
Sin Cie merasa berat untuk berpisahan tapi tak dapat ia mencegah guru ini. Maka selanjutnya, ia belajar terus dibawah pimpinan tunggal dari gurunya. Bok Jin Ceng juga telah wariskan kepandaiannya kepada muridnya ini yang berbakat dan rajin dan ulet, hingga beberapa tahun telah lewat seperti tanpa dirasai. Maka akhirnya, ketika sampai ditahun keenam-belas dari Kaisar Cong Ceng dari ahala Beng, Sin Cie telah masuk usia dua-puluh tahun.
Setelah sepuluh tahun lebih terlatih, sekarang Sin Cie telah punyakan kepandaian yang berarti. Dari Bok Jin Ceng ia peroleh terutama ilmu silat pedang Hoa San Pay, sedang dari Bhok Siang Toojin, ia dapatkan ilmu entengkan tubuh dan senjata rahasia biji catur (wie-kie-cu). Ia jadi telah gabung-warisan ilmu kedua kaum. Tapi sementara itu, sudah belasan tahun ia tak pernah turun gunung, maka mengenai urusan dunia, ia ada gelap sekali, kecuali jang ia dapat dari penuturan-penuturan kedua gurunya, sedang sebaliknya, dunia kangouw juga tak tahu yang kaum Hoa San Pay telah punyakan satu murid-penutup seperti anak muda ini.
Pada suatu pagi dari permulaan musim semi, selagi Sin Cie berlatih silat dengan Tay Wie dan Siau Koay temani dia, tiba-tiba A Pa muncul dari dalam seraya terus gerak- gerakkan tangannya. Ia mengerti, tentulah gurunya panggil padanya, tidak ayal lagi, ia berhenti berlatih, dengan cepat ia bertindak masuk kedalam kamar gurunya. Untuk keheranannya, ia dapati dua orang asing, yang tubuhnya besar, berdiri disamping gurunya itu. Ia heran karena ia tahu, kecuali Bhok Siang Toojin, lain orang belum pernah mendaki puncak tertinggi dari gunung Hoa San ini. Ia pun tidak kenal dua orang itu.
"Sin Cie, inilah Ong Toako dan ini Kho Toako," berkata sang guru begitu ia tampak munculnya murid itu. "Mari kamu bikin pertemuan."
Karena disebutnya panggilan "toako", Sin Cie duga dua orang itu adalah sahabat-sahabat gurunya, ia lantas maju
167 mendekati untuk memberi hormat sambil bersoja-kui seraya memanggil : "susiok!"
Tapi dua orang itu lekas-lekas paykui, untuk balas kehormatan itu, seraya ber-ulang-ulang mereka kata: "Tak berani aku terima hormat ini, Wan Susiok, silakan bangun!"
Sin Cie melengak. Dia panggil mereka susiok (paman guru), sekarang mereka panggil dia susiok juga! Tidakkah itu aneh? Bok Jin Ceng tertawa berkakakan.
"Kamu semua bangun!" berkata dia.
Anak muda itu lantas berbangkit, untuk pandang dua tetamu itu, hingga sekarang ia bisa melihat lebih tegas: Mereka dandan sebagai orang tani, nampaknya mereka gesit, melainkan wajahnya tegang atau likat.
Pat Chiu Sian-wan tertawa pula, tapi sekarang sambil terus berkata kepada muridnya itu: "Belum pernah kau turut aku turun gunung, karena itu kau tidak tahu berapa tinggi tingkat-derajatmu. Kamu bertiga tak usah seejie dan main soja-kui terhadap satu dengan lain, tak usah juga kamu saling memanggil susiok. Baiklah kamu memanggil saudara satu sama lain menuruti usia kamu masing-masing."