"Aku berani, supeh," jawab bocah itu. "Suhu, aku yang pergi boleh tidak?"
Bok Jin Ceng masih asyik berpikir dalam hatinya ia bilang : "Orang kangouw gaib itu simpan senjata rahasianya didalam gua sini, mesti ada maksudnya, maka jikalau gua itu tidak dicari tahu terlebih jauh, sungguh sayang. Akan
tetapi siapa tahu, ada tersembunyi ancaman bencana apa didalamnya? Kalau bocah ini diantap pergi seorang diri, tidakkah itu ada menguatirkan?...." Kemudian ia jawab muridnya : "Aku kuatirkan bencana dalam gua..."
"Aku bisa waspada, suhu," sang murid mendesak. Melihat murid itu demikian berani dan bernapsu,
akhirnya sang guru manggut.
"Baiklah," ia beri ijin akhirnya. "Tapi kau mesti coba dulu. Kau nyalakan api, umpama api itu mati, jangan kau paksa masuk!"
"Aku mengerti, suhu," kata sang murid, yang segera persiapkan sebatang obor, sedang pedangnya ia tidak lupakan. Ia cekal pedang ditangan kanan dan obor ditangan kiri. Lebih dahulu daripada itu, ia ikat pinggangnya dengan dadung.
Kapan dadung telah diulur turun, cepat sekali Sin Cie telah sampai dimulut gua. Ia turut pesan gurunya, paling dulu ia sodorkan obor kedalam gua. Ia dapatkan obornya tidak padam, hal ini membuat ia girang. Maka lantas, dengan hati-hati, ia merayap masuk kedalam gua itu. Dadung dipinggangnya ia tidak loloskan. Ia mesti jalan sambil merayap, setelah kira sepuluh tumbak lebih, terowongan mulai mendaki. Ia maju terus, kira setumbak lebih, Baru ia sampai ditempat terbuka dimana ia bisa bangkit berdiri. Ia tidak takut, ia maju terus.
Sebentar saja, anak ini lihat jalan menikung. Ia semakin waspada, ia maju sambil cekal keras pedangnya. Ketika ia telah lalui tiga tumbak, ia menghadapi sebuah kamar batu. Ia hampirkan mulut pintu, ia menyuluhi dengan obornya.
Tiba-tiba ia terperanjat, sampai ia keluarkan keringat dingin. Duduk diatas batu, ditengah-tengah kamar, ada satu rerongkong manusia, lengkap dengan kepala dan tangannya, dan kedua tangannya rebah diatas pangkuan.
Dengan hati memukul, Sin Cie awasi tulang-ulang manusia itu, setelah itu baru ia memandang kesekitar kamar. Syukur untuk ia, disitu tidak ada lagi lain pemandangan yang mengerikan.
Malang-melintang ditanah didepan rerongkong itu ada belasan kim-coa-cui. Disamping rerongkong ada terletak sebuah pedang. Ditembok kamar ada sederetan gambar ukiran dari tubuh manusia lengkap, cuma sikapnya berlainan, kakinya dipakai menendang, mirip dengan orang yang lagi berlatih silat. Ia awasi semua gambar itu, ia perhatikan, tak mengertilah ia. Entah apa maksudnya gambar-gambar itu.
Di ujung dari gambar ukiran yang penghabisan, dengan diukir juga, ada beberapa baris dari enambelas huruf.
Sin Cie dekati, lalu ia membaca. Begini bunyinya: "Mustika berharga, ilmu rahasia, diberikan kepada yang berjodoh. Siapa masuk dalam pintuku, menemui bencana jangan penasaran."
Sin Cie masih hendak perhatikan kamar itu ketika ia dengar samar-samar suara orang memanggil, lantas ia bertindak keluar, tempo ia sampai ditikungan, ia kenali suaranya Bhok Siang Toojin, yang masih memanggil- manggil namanya. Lantas ia menyahuti, terus ia merayap keluar.
Bok Jin Ceng dan Bhok Siang, diatas jurang, menantikan sekian lama, selama itu, mereka pun ulur dadung makin lama makin panjang, karena itu, setelah menantikan pula sekian lama, sang murid masih belum kembali, keduanya berkuatir. "Nanti aku lihat," kata Bhok Siang, yang lantas saja merayap turun. Ia tidak bisa masuki terowongan, maka dari mulut itu, ia teriaki muridnya berulang-ulang. Ia merasa hatinya lega kapan ia dengar jawaban muridnya, yang pun lantas keluar.
Dengan satu tanda, Bok Jin Ceng dan A Pa tarik dadung, maka dilain saat, dua-dua Bhok Siang dan Sin Cie kembali diantara mereka, tetapi Sin Cie dengan pakaiannya kotor dan mukanya berlepotan debu dan lumut. Bocah ini pun perlihatkan roman tegang.
Dua-dua Bok Jin Ceng dan Bhok Siang duga anak ini menghadapi suatu apa yang luar biasa, dari itu mereka antap orang tetapkan hati.
Lagi sesaat Barulah Sin Cie bisa tuturkan apa yang ia tampak dalam kamar batu gua itu.
"Tidak salah lagi, rerongkong itu mesti ada rerongkong Hee Soat Gie," berkata Bok Jin Ceng. "Aku tidak sangka, seorang kosen luar biasa bisa akhirkan penghidupannya ditempat ini. Sungguh sayang. "
"Apakah artinya pesanannya enam-belas huruf itu?" tanya Bhok Siang.
Bok Jin Ceng berdiam sesaat, Baru ia menjawab. "Kelihatannya Kim Coa Long-kun mesti simpan benda
berharga, entah mustika apa," berkata dia. "Dia mempunyai
ilmu silat yang liehay sekali, mestinya ia tinggalkan itu dalam guanya, setahu dengan cara apa. Mungkin dia nantikan orang jang berjodoh dengannya untuk hadiahkan warisannya itu. Dia ada seorang dengan tabiat kukoay sekali, rupanya dia anggap, siapa nanti peroleh warisannya itu, ialah jang dianggap sebagai muridnya. Dengan kata 'pintuku', tentu dia maksudkan golongannya. Tapi mungkin juga, didalam kamarnya itu ada suatu ancaman malapetaka. "
"Melihat bunyinya pesan, itu mungkin benar," kata Bhok Siang. "Hanya entah keanehan apa adanya itu. "
Bok Jin Ceng menghela napas, lalu ia kata: "Kita tak harap warisan ilmu silat dan mustikanya itu, tetapi, Sin Cie, besok pergilah kau memasuki pula gua ini, kau mesti galikan lobang, untuk kubur rerongkong Kim Coa Long- kun, yang kita hormati sebagai cianpwee, orang yang tertua. Kau mesti nyalakan lilin dan pasang hio dan hunjuk hormatmu sambil berlutut. Secara begini kita jadi hormati dia."
Sin Cie manggut, ia suka dengar perkataan gurunya itu. Bhok Siang Toojin pun setuju pikiran sahabatnya itu.
Besoknya pagi Sin Cie pergi pula kejurang dengan bekal juga pacul. Ia pergi berdua saja sama A Pa, si gagu. Bok Jin Ceng dan Bhok Siang tidak turut, karena mereka anggap, gua itu tidak ada bahayanya. Sin Cie bekal tiga batang obor, karena ia tahu ia bakal berdiam lama didalam gua.
A Pa kerek turun anak ini.
Dengan cepat Sin Cie dapat merayap ke tikungan dimana ia bisa bangun untuk berdiri, terus saja ia hampirkan kamar. Paling dulu ia gali lobang didekat pintu, untuk pendam obornya, supaya ia tak usah pegangi terus obornya itu, dengan begitu, ia bisa bergerak dengan leluasa. Habis itu Barulah ia hadapi rerongkong Kim Coa Long- kun.
"Suhu bilang dia ada seorang kosen luar biasa, entah kenapa dia menutup mata disini," ia berpikir. "Setelah dia meninggal dunia, tak ada orang kubur mayatnya, sungguh kasihan. " Bocah ini lantas jatuhkan diri didepan rerongkong itu, untuk paykui.
"Teecu ada Wan Sin Cie," berkata ia dalam hatinya, setelah ia manggut beberapa kali, "dengan kebetulan saja, teecu dapat menemui jenasah tayhiap ini. Hari ini ingin teecu kubur jenasah tayhiap, harap tayhiap nanti beristirahat dengan tenang dan kekal disini..."
Baru habis Sin Cie hunjuk hormat itu, dari arah luar gua telah mengembus angin dingin, yang rupanya meniup dari dalam jurang, sampai hawa dinginnya membuat ia bergidik, bulu romanya pada bangun berdiri.
Habis itu, Sin Cie lantas mulai menggali lobang. Ia tadinya duga, tanah didalam kamar itu mestinya keras, siapa tahu, begitu ujung pacul mengenai tanah, hatinya menjadi lega. Tanah itu empuk. Karena ini, ia bisa bekerja dengan cepat.
Tiba-tiba terdengar satu kali suara membeletuk. Itulah tanda ujung pacul mengenai barang keras, mungkin besi. Untuk dapat kepastian, Sin Cie ambil obor, untuk dipakai menyuluhi dekat-dekat. Segera ia dapatkan selembar papan besi. Ia memacul terus tanah disekitar besi lembaran itu, kemudian ia angkat besinya.
Dibawah lembaran besi itu ada sebuah peti besar dua kaki persegi.
Dengan dorongan perasaan ingin tahu, Sin Cie angkat peti besi itu, yang tingginya kira-kira satu kaki. Beratnya peti itu tidak luar biasa, maka itu bisa diduga, isinya mesti tak banyak.
Oleh karena tutup peti tidak dikunci, dengan gampang Sin Cie dapat buka itu. Peti itu cetek sekali, hingga Sin Cie menjadi heran. "Heran," pikir si anak muda. "Peti besar dan tinggi, kenapa dalamnya cetek?"
Didalam peti terletak selembar sampul diatas mana ada tulisan delapan huruf besar, yang berbunyi : "Siapa dapati petiku, boleh buka surat ini."
Melihat demikian, Sin Cie jumput sampul itu, untuk dibuka dan keluarkan suratnya, yang warnanya sudah berubah menjadi kuning-dekil. Ia beber surat itu, lantas ia baca: "Barang dalam peti ini, diwariskan kepada yang berjodoh. Hanya siapa dapatkan peti, mesti lebih dahulu kubur tulang-tulangku."
Bersama surat itu, didalam sampul, ada dua sampul lain, sampul-sampul yang lebih kecil. Diatas sampul yang satu tertulis: "Aturan membuka peti". Diatas sampul yang kedua ada tulisan : "Cara-cara mengubur tulang-tulangku".
Setelah membaca ini Baru Sin Cie tahu, peti itu ada lapisannya. Lantas ia angkat peti itu untuk digoyang- goyang. Sekali ini, ia dengar suara apa-apa dari dalam peti.
Didalam hatinya, bocah ini kata : "Aku melainkan berkasihan rerongkongnya terlantar, maka aku kubur padanya, sama sekali aku tidak ingin temahai barang- barangnya."
Lantas Sin Cie buka sampul jang bertulisan "Cara-cara mengubur tulang-tulangku". Didalam situ ada selembar kertas putih dengan tulisannya : "Jikalau kamu bersungguh- sungguh hati hendak mengubur tulang-tulangku, setelah menggali lobang, tolong gali lebih jauh tiga kaki dalamnya, disitu Barulah pendam aku. Dengan aku berdiam lebih dalam ditanah, dapatlah aku bebas dari gangguannya segala kutu dan semut." Setelah membaca, Sin Cie berkata dalam hatinya: "Aku hendak jadi orang baik, tak boleh aku kepalang tanggung, baik aku turuti pesannya."
Dan ia angkat pula paculnya, untuk menggali lebih jauh.
Kali ini tanah itu kecampuran batu, tidak gampang untuk memacul leluasa seperti tadi, maka tak perduli dia telah berlatih, bocah ini toh mandi keringat. Ketika ia menggali dalam hampir tiga kaki, mendadakan ujung paculnya membentur pula suatu benda keras, hingga terdengarlah suara nyaring.