Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 39

NIC

Cara membidik panah maling perempuan itu cepat luar biasa, ketika untuk keempat kalinya ia membidik lagi tiga panah, Hwesio bertiga tidak sanggup menghindar pula, untung tidak mengenai ulu hati mereka melainkan cuma menancap di bagian lengan.

Dalam keadaan begitu, jika si maling perempuan menyusuli tiga panah lain, jelas pasti akan mengenai ulu hati mereka dengan telak, tapi hal ini tidak dilakukannya, agaknya ia sudah puas setelah panahnya berhasil mengenai lengan mereka.

Kalau lengan cuma terkena sebuah panah sekecil itu, bagi orang" kuat macam Hwesio gemuk itu tentu saja tidak manjadi soal.

Mereka melihat ke-12 muridnya sudah binasa seluruhnya di dalam kereta, mereka menjadi gusar dan membentak: "Budak busuk, kalau punya kepandaian lain, janganlah melepaskan panah!" Maling perempuan itu tertawa, jawabnya: "Baik panah tidak kugunakan." " lalu ia benar2 menyimpan kembali alat bidikan itu ke kantong kulit yang tergantung di pinggangnya.

Serentak Hwesio bertiga melolos senjata dan membentak: "Terjang!" Si maling perempuan tenang2 saja, ia menggeleng kepala dan berkata: "Tiga lelaki besar mengeroyok seorang nona cilik tidak tahu malu!" Tapi ketiga gembong bandit itu tidak menghiraukan olok2 itu, mereka melompat maju terus membacok, menabas dan menutuk.

Maling perempuan itu tidak menggunakan senjata, ia cuma berkelit dan menyelinap kian kemari di tengah sambaran senjata ketiga lawan.

Belum lagi beberapa jurus, "trang", tanpa sebab golok Pek-bin-long terjatuh sendiri ketanah, menyusul terdengar ia menjerit ngeri: "Wah, tanganku!" Baru lenyap suaranya, kembali terdengar gemerantang lagi dua kali, senjata Hwesio harimau dan Tosu rajawali juga terjatuh, merekapun menjerit: "Aduh tanganku!" Peng-say menjadi heran, sama sekali mereka tidak diserang si maling perempuan, memangnya kenapa tangan mereka" Waktu ia memperhatikan, dilihatnya tangan kanan ketiga orang itu sama berwarna hitam pekat.

Baru sekarang Peng-say terkejut, diam2 ia membatin: "Jahat amat panah kecil beracun itu." Rupanya Hwesio bertiga tadi menyepelekan panah kecil yang melukai lengan mereka itu, mereka terus melabrak lawan tanpa mencabut panah kecil itu, sebab bila panah dicabut, tentu dari lukanya akan mengalirkan darah, hal ini akan mengurangi tenaga mereka.

Demi mengerubuti maling perempuan itu dan merampas benda pusaka curiannya, mereka tidak menyadari racun panah telah menjalar, tangan mereka berubah menjadi hitam dan terasa kaku, mereka baru menyadari hal ini setelah senjata terlepas dari cekalan.

Cepat mereka merobek lengan baju kanan, tertampak warna hitam dilengan sudah merembet sampai di atas siku, bilamana warna hitam itu merambat sampai dada, maka tamatlah riwayat mereka.

Tegas tindakan Pek-bin-long, tanpa ragu2 ia jemput golok sendiri dengan tangan kiri, sekali tabas segera ia kutungi lengan kanan sendiri sebatas bahu.

Hwesio harimau juga tidak berani ayal, cepat ia jemput kembali tongkatnya yang berujung seperti kampak itu, sekali bacok iapun membuntungi lengan kanan sendiri.

Wajahnya yang selalu tertawa2 itu kini lebih tepat dikatakan menangis.

Senjata Tosu rajawali adalah Boan-koan-pit.

dengan sendirinya tidak dapat digunakan menabas lengan sendiri yang keracunan itu, dengan gugup ia berseru: "Long-heng, tolong, lekas, lekas!" Segera Pek-bin-long ayun goloknya pula, tapi lantaran racun sudah merambat maju lagi.

terpaksa lengan Tosu yang ditabasnya tepat di batas pundak.

Keruan sakitnya berlipat ganda, Tosu itu menjerit dan hampir saja jatuh kelengar.

Menyaksikan ketiga lawan membuntungi tangan sendiri dan darah berhamburan, namun si maling perempuan itu tidak mengambil pusing, ia malah tertawa nyaring dan berkata: "Tidak lekas enyah, apakah minta paha kalian juga kupanah"!" Sambil bicara iapun berlagak hendak mengambil alat bidiknya lagi, Keruan ketiga gembong bandit itu ketakutan, lukapun tidak sempat dibalut, cepat mereka lari ter-birit2.

Maling perempuan itu tertawa ter-kekeh2, tampaknya sangat gembira.

Setelah puas tertawa, pe-lahan2 ia membalik tubuh.

Baru pertama kali ini Soat Peng-say berhadapan muka dengan muka orang, dilihatnya wajah nona Soat ini potongan daun sirih, matanya besar dan memperlihatkan sifat2 yang jahil dan penuh misteri, tapi tampaknya juga sangat menyenangkan.

Bayangan punggung serta perawakannya sangat mirip Cin Yak-leng, tapi mukanya sedikitpun tidak sama.

Meski nona Soat ini boleh dikatakan lebih cantik daripada Cin Yak-leng, tapi Peng-say justeru merasa sangat kecewa.

Betapa dia berharap wajah nona Soat ini akan mirip Cin Yak-leng, paling baik kalau nona ini memang Cin Yak-leng adanya.

Akan tetapi ternyata bukan.

Terpaksa ia cuma menghela napas dan melangkah pergi sambil menggeleng.

"Hai, kemari kau!" mendadak maling perempuan itu berseru.

Peng-say hanya menoleh dan bertanya: "Apakah nona memanggil diriku?" "Semua orang sudah lari ketakutan, yang tertinggal cuma kau sendiri, siapa lagi kalau bukan memanggil kau?" kata maling perempuan itu.

Peng-say sengaja berkerut kening dengan lagak ogah2an.

jawabnya: "Ada urusan apa nona memanggilku?" "Tidak perlu kau menggeleng, menghela napas dan tidak suka," kata maling jelita itu.

"Yang kubunuh adalah orang jahat demi kesejahteraan umum, seharusnya kau bersyukur dan ikut bergembira.

Mari sini, tampaknya nyalimu cukup besar, bantulah menggotong dan membuang mayat2 didalam keretaku ini" "Nona yang membunuh mereka, silakan nona menggotong sendiri, aku tidak mau."jawab Peng-say.

"Aku sendiri tidak kuat, tolonglah bantu," pinta si maling cantik.

Sudah tentu Peng-say tidak percaya, tapi gerak-geriknya mengingatkan dia kepada Cin Yak-leng, setelah menghela napas, ia menjawab: "Baiklah, akan kubantu kau!" Dengan lambat2 Peng-say merangkak keatas kereta, ia pura2 tidak bertenaga dan menggotong mayat2 itu kebawah kereta dengan susah payah.

Dilihatnya ke-12 sosok mayat itu semuanya mati karena ulu hati terpanah, diam2 ia sangat kagum kepada kejituan panah si nona.

Sampai lama baru ke-12 mayat itu diturunkan, nona itu lantas mengeluarkan sepotong perak dan diberikan kepada Peng-say, katanya; "Tampaknya kau sangat kasihan, tentu sudah beberapa hari kau tidak makan.

Ini, ambil uang perak ini dan makanlah yang kenyang." Tanpa sungkan Peng-say terima pemberian itu tapi dengan ketus ia menjawab: "Ini adalah upah jerih payahku menggotong mayat, jangan kau omong seperti orang yang memberi sedekah," "Eh, dapatkah kau mengemudikan kereta?" tiba2 si nona bertanya dengan tertawa.

"Apakah nona ingin mengundangku menjadi kusir?" tanya Peng-say.

"Kusirku telah terpanah mati oleh mereka, jika kau mau, akan kuberi upah satu tahil perak setiap hari," kata si nona dengan tertawa.

"Wah, royal benar nona ini, masa upah kusir satu tahil satu hari?" ucap Peng-say dengan mulut ber-kecek2.

"Akan tetapi bagiku masih kurang banyak." "Kurang banyak?" nona itu menegas dengan terbelalak.

"Kau tahu, kusir umumnya jangankan satu hari satu tahil, biarpun tiga hari juga sukar mendapatkan untung satu tahil, malahan mereka harus membawa kereta dan kuda sendiri." "Tapi kusir dan kusir kan berbeda," ujar Peng-say.

"Menjadi kusir nona harus jual nyawa pula, dengan sendirinya satu tahil terlalu sedikit bagiku.

Jika nona mau, lima tahil satu hari, tidak mau, batal!" Nona itu tampak mendongkol, omelnya: "Gila kau!" "Tidak mau ya sudahlah, selamat tinggal!" seru Peng-jay terus hendak melangkah pergi.

Pada saat itu juga mendadak dari arah kota sana debu mengepul tinggi.

Si nona berseru kuatir: "Wah, celaka! Pasukan pemerintah dan para jago pengawal memburu tiba!" Tapi Peng say pura2 tidak mendengar, bahkan ia melangkah terlebih cepat.

Cepat si nona berteriak; "He, hei, kembali! Baiklah, lima tahil, jadi!" Tak terduga, Peng-say lantas menggeleng, jawabnya: "Tidak, sekarang tarip sudah naik, sepuluh tahil satu hari." Si nona menjadi gusar, omelnya: "Sialan, jangan main peras!" "Ai, ucapan nona ini tidak enak didengar," kata Peng-say sambil menggeleng.

"Untuk menyelamatkan diri.

masa sepuluh tahil satu hari tidak kau bayar?" Karena pengejar sudah makin dekat, terpaksa si nona berseru dengan gemas: "Baiklah, sepuluh tahil!" Tanpa bicara lagi Peng-say lantas melompat ketempat kusir, tapi sampai sekian lamanya dia berkutak-kutek kereta itu belum lagi bergerak.

Keruan si nona sangat mendongkol dan gelisah, ia berteriak2 di dalam kereta sambil memukul kabin: "He, ada apa, lekas larikan kudanya!" "Tidak mau jalan!" jawab Peng-say.

Dengan gusar si nona mendamperat: "Sialan! Hakikatnya kau tidak dapat mengendarai kereta." "Aku memang tidak bisa " kata Peng-sny tanpa malu2 sedikitpun.

"Kalau tidak bisa, kenapa kau terima pekerjaan ini?" omel si nona.

"Kan nona cuma tanya padaku apakah mau menjadi kusir, karena kau memberi upah yang lumayan, aku lantas coba2 pekerjaan ini." Melihat pengejar semakin dekat, sedikitnya berjumlah ratusan orang, wajah pengejarpun kelihatan jelas, si nona menjadi kuatir, segera ia berbangkit dan bermaksud meninggalkan kereta dan lari.

Tak terduga, se-konyong2 ia tergentak jatuh terduduk lagi, sebab mendadak kereta itu bergerak ditarik keempat ekor kuda, lantaran tidak ter-sangka2, nona itu terbanting dengan cukup keras.

Kiranya Soat Peng-say rmemang tidak mahir menjadi kusir, di mana letak rem kereta saja tidak tahu.

Kusir yang tadi ketika dicegat penjahat, terpaksa ia mengerem keretanya dan berhenti, setelah kusir mati terpanah dan Peng-say menggantikannya, karena tidak tahu rem kereta harus dibuka lebih dulu, dengan sendirinya kereta tidak mau jalan.

Untung pada detik terakhir secara kebetulan pegangan rem kena dirabanya, sekali kereta dapat bergerak, keempat ekor kuda yang sudah dihalau sejak tadi segera membedal secepat terbang.

Sebab itulah nona Soat yang berada di dalam kereta jadi terbanting jatuh.

Untung dia tidak terlempar keluar kereta, ia cuma meringis sambil meraba pantatnya yang kesakitan.

Karena dia berharap Soat Peng-say akan melarikan kereta itu secepatnya, maka dia tidak mengomel kejadian itu, ia anggap dirinya yang sial ketemu 'orang gila".

Cara Peng-say mengemudikan keretanya juga tidak memenuhi syarat, bilamana dia minta rebewes ditanggung dia akan diapkir.

Cepatnya sih memang cepat lari keretanya.

tapi kereta itu sebentar meliuk ke kanan dan sebentar lagi berkeluk ke sisi kiri, larinya tidak pernah lurus, kalau dipandang dari belakang, orang pasti mengira kusirnya lagi mabuk atau kudanya yang gila.

Nona Soat di dalam kereta hanya geleng2 kepala belaka, ia pikir kalau begini caranva Peng-say mengemudikan kereta, sebentar lagi pasti akan tersusul oleh pasukan pengejar itu.

Benar juga, pasukan pengejar sudah semakin dekat, suara bentakan sudah terdengar dengan jelas.

Namun begitu, Soat Peng-say juga pantang menyerah, dia masih terus menghalau kuda agar berlari terlebih kencang, akan tetapi makin kencang makin tak keruan jalan keretanya, untung tidak terperosot ke sawah di tepi jalan.

Posting Komentar