Ge Bun Hwesio sedang memondong suhengnya, Ge Khan Hwesio yang terluka berat di pundaknya. Melihat Ga Lung Hwesio tewas, Ge Thun Hwesio dengan marah maju hendak menyerang Bi Hong. Akan tetapi lagi-lagi sebuah batu kecil memukul pergelangan tangannya.
“Traaanggg...!” Toya yang dipegangnya terlepas. Hwesio ini kaget sekali dan tidak jadi menyerang melainkan menyambar mayat Ga Lung Hwesio, kemudian bersama Ge Bun Hwesio yang memondong tubuh Ge Khan Hwesio, mereka lari cepat-cepat meninggalkan tempat itu menuju ke Lasha.
Bi Hong tidak memperdulikan mereka. Musuh besarnya hanyalah Ga Lung Hwesio dan tiga orang hwesio lain itu bukan musuhnya. Akan tetapi ia terkejut dan sedih sekali ketika menengok ke arah suhengnya dan melihat tosu itu sudah roboh tak bernyawa lagi. Ia menubruk tosu itu dan menangis sedih.
“Twa-suheng kau....... kau telah mengorbankan nyawa untukku. ” Ia ingat bahwa
tadi lawan twa-suhengnya juga terluka hebat, pedang suhengnya menancap di dada lawan itu yang tubuhnya dibawa pergi oleh hwesio lain. Ia menduga bahwa lawan twa-suhengnya itupun tewas.
Setelah menangis sedih, gadis itu lalu berlutut dengan kedua tangan dibentangkan ke atas, ia berkata.
“Kong-kong, ibu....., supek-couw. , aku telah berhasil membunuh Ga Lung Hwesio.
Seorang musuh besar yang menyebabkan kematian kalian dan menebus dosa. Hwesio jahat yang menghina Kun-lun-pai telah berkurang satu. Hanya tinggal seorang lagi. Thu Bi Tan si keparat!” Setelah berdoa demikian ia lalu menangisi lagi mayat twa- suhengnya.
Pada saat itu, terdengar suara orang batuk-batuk dan muncullah seorang pemuda yang berpakaian sederhana, berwajah tampan gagah dan bertubuh kekar. “Aduh, kasihan!” kata pemuda itu sambil memandang dan tidak berani terlalu mendekati nona itu.
Sinar mata pemuda itu yang tadinya berseri, dan wajahnya yang membayangkan kegembiraan, untuk sedetik menjadi lembut. “Nona, apakah dia ayahmu?”
Mendengar suara orang, Bi Hong menengok dan memandang pemuda itu melalui air matanya. Akan tetapi mendengar orang bertanya apakah yang mati itu ayahnya, sekaligus membuat dia teringat akan ayah bundanya, ibunya sudah mati dan ayahnya tidak tahu di mana adanya. Tadinya masih ada twa-suhengnya yang amat baik kepadanya seperti ayah sendiri, sekarang dia benar-benar merasa sebatang kara sehingga pertanyaan ini memancing keluar air matanya lebih deras.
Pemuda ini menduga bahwa si tosu adalah ayah nona itu karena tadi ia mendengar nona itu berdoa kepada kong-kong, ibu dan supek-couw, tanpa menyebut ayahnya. Maka ia menduga yang tewas adalah ayah nona itu. Sekarang melihat nona itu makin sedih, dugaannya makin kuat. Ia berlutut dan berkata menghibur.
“Nona, setiap orang takkan terluput dari pada kematian. Ada lahir dan mati, maka soal kematian adalah wajar dan tidak perlu disedihkan. Yang penting adalah cara manusia mati. Sekelebatan tadi aku melihat bahwa kau dan ayahmu bertempur melawan orang- orang berkepala gundul. Tentu mereka itu orang jahat dan kalau ayahmu tewas dalam melawan orang jahat, boleh dibilang matinya itu mati sebagai orang gagah. Tidak perlu penasaran.”
Ucapan itu dikeluarkan dengan nada menghibur dan amat halus penuh perasaan, maka sedikit banyak dapat menghibur juga hati Bi Hong. Ia menyusuti air matanya lalu berkata. “Dia bukan ayahku, dia twa-suhengku. Aku berduka karena twa-suheng telah tewas dalam membela urusanku, dia tewas karena aku. Siapa tidak menjadi sedih dan terharu?”
Pemuda itu mengangguk-angguk, diam-diam heran sekali bagaimana seorang nona muda belia ini menjadi saudara seperguruan seorang kakek tua. Akan tetapi mulutnya berkata memuji, “Kalau begitu lebih sempurna lagi matinya. Mati dalam membela orang lain hanya dapat dilakukan oleh orang gagah dan mulia. Lebih baik kau segera menguburnya nona, dan mari aku membantumu.”
Tiba-tiba Bi Hong meloncat berdiri. Ia makin bernafsu untuk segera mengejar hwesio- hwesio itu dan memasuki Lasha untuk mencari Thu Bi Tan Hwesio dan sekalian membalaskan kematian twa-suhengnya. Akan tetapi pemuda ini tidak dikenalnya dan bagaimana dia bisa muncul di tempat sunyi ini. “Siapakah kau?” tanyanya sambil meraba gagang pedang.
Pemuda itu nampak terkejut melihat nona itu meraba gagang pedang. “Aku. aku
seorang pelancong, nona. Namaku Yalu Sun. Bolehkah aku ketahui siapa nona dan kenapa bersama totiang ini sampai bertempur dengan hwesio di tempat ini?” Melihat pemuda itu terkejut ketika ia meraba gagang pedang dan melihat sikap dan gerak gerik pemuda itu seperti seorang yang lemah, Bi Hong tidak menaruh banyak perhatian. Ia merogoh saku dan mengeluarkan sepotong emas, lalu memberikan potongan emas itu kepada si pemuda sambil berkata.
“Saudara, kau tolonglah aku, kuburkan jenazah suhengku ini di sini. Terimalah sedikit hadiah ini dariku. Aku sendiri hendak cepat-cepat mengejar hwesio-hwesio jahat itu untuk membalaskan kematian twa-suheng.”
Pemuda itu mengerutkan kening dan memandang potongan emas di tangan nona itu tanpa menggerakkan tangan untuk menerimanya. Ia menggelengkan kepala lalu berkata, “Sudah semestinya sesama manusia saling menolong di tengah jalan. Aku akan mengurus penguburannya, nona, dan aku tidak membutuhkan hadiah. Yang perlu hanya mengenal namamu dan nama totiang ini agar kalau ada orang lewat dan bertanya, aku dapat menjawab dan tidak timbul persangkaan yang bukan-bukan.”
Muka Bi Hong menjadi merah. Ia merasa jengah menghadapi orang yang bersikap begini baik, tidak mau menerima hadiah emas. Padahal jarang ada orang yang menolak hadiah sebanyak itu.
Dengan bersyukur ia menjura sambil berkata, “Aku Wang Bi Hong, merasa berterima kasih kepadamu, saudara Yalu Sun. Namamu akan selalu kuingat dan biarlah lain waktu aku akan mendapat kesempatan untuk membalas budimu ini.”
Pemuda itu memandang kepadanya dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar dan pada saat itu, hati Bi Hong berdebar aneh. Entah bagaimana, dalam saat itu si pemuda kelihatan gagah dan tampan sekali dalam pandangan matanya dan ia makin berterima kasih.
“Jangan sungkan-sungkan nona Bi Hong. Aku hanya mewakili kau mengurus jenazah, akan tetapi dia ini, dia telah mengorbankan nyawa untukmu. Totiang ini jauh lebih
baik daripadaku.” Ia balas menjura dan berdiri memandang seperti orang termenung ketika nona itu membalikkan tubuh dan mempergunakan ilmu lari cepat melesat ke arah kota Lasha.
Kemudian ia menarik napas panjang dan mulai menggali tanah dengan. sepuluh
jari tangannya. Kalau saja Bi Hong berada di situ tentu gadis ini akan melongo keheranan melihat betapa jari tangan dapat dipergunakan seperti cangkul dan dapat membongkar tanah keras demikian mudahnya. Hanya seorang yang memiliki lweekang tinggi sekali yang mampu bekerja seperti itu.
Padahal kejadian ini tidak perlu mendatangkan keheranan kalau saja orang tahu bahwa pemuda ini, Yalu Sun namanya, adalah ahli waris tunggal dari ToTek Cinjin yang berjuluk Pek-kong Kiam-sian, tokoh sakti yang aneh jarang keduanya.
Biarpun di ibukota Tibet pada waktu itu sudah bukan merupakan pemandangan asing lagi kalau melihat orang-orang Han, namun sekiranya bukan pada hari itu Bi Hong memasuki Lasha, tentu ia akan menarik perhatian orang juga. Orang-orang Han yang terdapat di kota Lasha adalah orang-orang pria adapun wanitanya biarpun ada juga, yakni keluarga-keluarga para pendatang bangsa Han, namun jarang keluar dari rumah. Apalagi Bi Hong merupakan seorang gadis muda cantik dan gagah membawa-bawa pedang. Pasti menimbulkan kecurigaan.
Akan tetapi untung baginya, hari itu adalah hari istimewa. Hal ini dapat dilihat ketika ia memasuki pintu gerbang kota Lasha, selain dia juga banyak terdapat orang-orang Han, malah ada juga beberapa orang wanita tua yang nampaknya gagah dan orang- orang perantauan atau orang kang-ouw. Maka penjaga pintu gerbang juga tidak bercuriga kepoadanya, malah seperti terhadap para tamu bangsa Han yang lain, penjaga-penjaga itu menjura dengan hormat sambil mulutnya mengucapkan dalam bahasa Tibet. “Selamat datang di Lasha.”
Bi Hong dapat merasai keramaian ini maka ia lalu mengikuti orang-orang Han yang berbondong-bondong menuju ke suatu tempat. Di antara rombongan ini terdapat banyak pula orang-orang suku bangsa lain, akan tetapi semua kelihatan gagah dan orang-orang yang sudah biasa melakukan perjalanan jauh.
Memang ada kejadian luar biasa di Lasha. Hari itu seorang tuan tanah kaya raya sedang merayakan pesta pernikahan seorang puterinya, dan selain tuian tanah kaya, dia juga seorang bangsawan yang menduduki pangkat tinggi. Karena calon mantunya adalah ahli silat, seorang murid Cheng-hoa-pai, tentu saja tamu-tamunya terdiri dari ahli-ahli silat dari barat dan timur, maka munculnya banyak orang kang-ouw di situ bukan soal yang mencurigakan.
Siapakah yang mengadakan pesta? Bukan lain ialah Yang Nam, bekas putera tuan tanah di Loka yang kini sudah menjadi seorang bangsawan di Lasha. Dan siapa mantunya? Dia adalah. Kalisang, pemuda kasar pemarah tapi gagah yang pernah
dijumpai Bi Hong dan suhengnya, ketika pemuda ini bertempur dengan Ga Lung Hwesio beberapa bulan yang lalu.