Nona Berbunga Hijau Chapter 36

NIC

“Hwesio tengik lihat pedang!” Cepat sekali pedang Bi Hong menyambar ke arah leher hwesio itu. Ga Lung Hwesio sudah pernah menyaksikan kelihaian dan kecepatan pedang Bi Hong ketika nona ini membantu Kalisang, maka ia tidak berani berlaku sembrono.

Biarpun mulutnya mentertawakan karena ia berada di dekat para suhengnya, namun di dalam hati ia tidak berani memandang rendah. Ia lalu mengelak dan menggerakkan toyanya. Di saat lain mereka sudah bertempur hebat sekali. Tiga orang hwesio itu bukanlah hwesio sembarangan. Tingkat mereka malah lebih tinggi dari tingkat Ga Lung Hwesio yang terhitung sutenya, karena mereka ini adalah tiga orang murid Thu Bi Tan Hwesio dan di Lasha mereka mempunyai kedudukan yang cukup tinggi. Oleh karena itu, mereka tentu saja tidak sudi melakukan pengeroyokan dan hanya melihat saja sute mereka bertanding dengan gadis itu.

Apalagi kalau mereka ingat bahwa sute mereka itu jauh lebih tua dari pada lawannya dan dalam hal ilmu silat, dilihat sekelebatan saja sute mereka takkan kalah.

Lee Kek Tosu juga maklum akan hal ini dan iapun tidak berani sembarangan turun tangan membantu sumoinya yang berarti mengeroyok Ga Lung Hwesio. Kalau ia terjun mengeroyok, maka tiga orang hwesio itupun mendapat alasan untuk turun tangan mengeroyok pula. Oleh karena itu, tosu yang cerdik ini lalu menjura kepada mereka sambil berkata.

“Karena Thu Bi Tan adalah suhu sam-wi, untuk menentukan siapa yang lebih unggul, pinto persilahkan di antara sam-wi maju mewakili suhu sam-wi. Pinto percaya penuh mengingat kedudukan kita, sam-wi tidak akan begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!”

Di antara tiga orang hwesio ini, kepandaian Ge Khan hwesio yang paling tinggi, juga dia yang paling tua dan paling berangasan. Mukanya menjadi makin hitam ketika mendengar ucapan itu.

“Tosu Kun-lun! Kau anggap pinceng ini siapakah maka mengeluarkan kata-kata demikian? Untuk menghadapi seorang tosu seperti kamu, pinceng seorang diri, sudah lebih dari cukup, untuk apa mencapaikan suhu? Sambutlah toyaku!”

Ge Khan Hwesio sudah menerjang maju dengan memutar toyanya yang mendatangkan angin bersiutan. Lee Kek Tosu bersikap waspada, cepat melompat mundur mencari tempat yang lega sambil menghunus pedangnya. Dua orang kakek jagoan ini lalu mulai bertempur.

Dua orang hwesio yang lain hanya menonton sambil menahan napas karena sudah dapat dilihat bahwa pertempuran-pertempuran itu, baik sute mereka Ga Lung Hwesio yang melawan nona itu, maupun Ge Khan Hwesio yang melawan tosu, adalah pertempuran mati-matian yang seimbang. Pedang nona itu cepat dan lihai, sedangkan pedang di tangan tosu itu mantap dan tenang, keduanya merupakan lawan yang amat berat.

Pertempuran antara Ga Lung Hwesio dan Bi Hong lebih ramai kelihatannya karena jalannya lebih cepat. Hal ini adalah karena kelihaian ilmu pedang Bi Hong memang terletak kepada kecepatan dan kelincahannya. Ilmu pedangnya memang tidak ada bedanya dengan suhengnya, akan tetapi kalau Bi Hong dapat mewarisi kecepatannya adalah Lee Kek Tosu mewarisi kekuatannya.

Inipun tidak aneh kalau diingat bahwa waktu yang dipergunakan oleh Lee Kek Tosu lebih lama dan tosu inipun lebih kuat ilmu batinnya, maka tentu saja memiliki lweekang yang lebih dalam. Dengan kecepatan gerakan pedangnya Bi Hong dapat membuat Ga Lung Hwesio menjadi sibuk sekali. Dalam jurus ke tujuh puluh ujung pedang Bi Hong yang berkelebat-kelebat seperti kilat menyambar telah berhasil melukai ujung pundak kiri Ga Lung Hwesio.

Bukan main marah, kaget dan penasaran rasa hati hwesio ini. Ia mengempos semangatnya, mengerahkan lweekangnya dan pandangannya menjadi amat tajam menusuk, mulutnya bergerak-gerak dan sambil melayani serangan-serangan Bi Hong, ia berkata, suaranya halus dan manis seperti seorang ibu membujuk anaknya.

“Nona Wang Bi Hong, kau tentu lelah. lelah sekali. Untuk apa bertempur terus?

Lebih baik mengaso..... ah, nyamannya angin, enaknya mengaso dan tidur. ”

Inilah ilmu yang disebut “merampas semangat” atau semacam ilmu hypnotisme yang menguasai semangat dan pikiran orang. Suaranya lemah lembut dan manis, sungguh jauh bedanya dengan mata yang berubah seperti mata setan itu.

Bi Hong tidak tahu mengapa musuhnya bicara seperti itu, akan tetapi ia benar-benar merasa lelah dan ingin sekali mengaso. Hanya karena merasa heran akan sikap musuhnya, ia mempertahankan diri dan mencoba untuk membantah kehendak pikirannya.

“Nona, bukankah kita sudah bertempur seratus jurus lebih?” kembali hwesio itu bertanya dengan suara halus.

Entah mengapa, di luar kehendaknya mulut Bi Hong menjawab. “Betul, seratus jurus lebih.” Sambil berkata demikian, ia masih mengirim tusukan yang dapat ditangkis oleh hwesio itu. Bi Hong merasa bahwa tangkisan itu tidak bertenaga, maka ia girang sekali dan terus mendesak.

Ia tidak tahu bahwa karena tenaga lweekangnya dikerahkan untuk menjalankan ilmu “merampas semangat” itu, maka tentu saja tenaga Ga Lung Hwesio menjadi banyak berkurang.

“Kalau begitu, tentu enak mengasoh, bukan?” hwesio itu menyusul pertanyaannya cepat-cepat.

“Yah..... tentu enak sekali. ” jawab Bi Hong dan otomatis ia memperlambat

serangannya, merasa lelah dan ingin mengaso.

“Kalau begitu mengasohlah, duduklah, tidurlah. ” suara Ga Lung Hwesio itu

mendesak dan mempunyai pengaruh luar biasa besarnya.

Lee Kek Tosu sudah berpengalaman luas, mendengar pula suara-suara ini dan tahulah ia apa yang akan dilakukan oleh Ga Lung Hwesio terhadap sumoinya. Ia melihat gerakan sumoinya makin lemah dan bukan main gelisahnya.

“Sumoi, jangan dengarkan dia. Lawan terus!” Ia berseru dan karena perhatiannya terpecah inilah maka dia membuka lowongan dalam pertahanan sinar pedangnya. Lawannya Ge Khan Hwesio yang berilmu tinggi melihat lowongan ini. Tadinya hwesio ini biarpun memiliki tenaga yang lebih besar, merasa bingung karena biarpun ia berada di pihak yang mendesak, namun pertahanan pedang lawannya amat kuat dan tidak dapat ditembus oleh toyanya.

Sekarang, pada saat tosu itu mengkhawatirkan keselamatan sumoinya dan memecahkan perhatian, kelihatan lowongan itu. Cepat toyanya menyambar ke depan, dan. lambung Lee Kek Tosu sudah terkena sodokan toya dengan tepat sekali. Tosu

itu mengeluarkan jerit tertahan, mukanya pucat dan tubuhnya terdorong ke belakang. Dengan tangan kiri ia menekan lambungnya lalu mulutnya dipentang dan darah segar tersembur keluar.

Ge Khan Hwesio tertawa terbahak, akan tetapi tiba-tiba berseru kesakitan. Ketika ia sedang tertawa karena girang tadi, Lee Kek Tosu yang sudah menderita luka hebat sekali, setelah memuntahkan dara segar lalu mengayunkan tangannya yang memegang pedang.

Pedang meluncur bagaikan naga terbang menyambar ke arah tenggorokan Ge Khan Hwesio. Inilah gerak tipu Sin-liong-hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Ekornya), sebuah jurus terakhir dari ilmu pedangnya yang amat lihai. Jurus ini memang dipelajari untuk dipergunakan pada saat terakhir setelah menderita luka untuk membalas lawan.

Ge Khan Hwesio melihat berkelebatnya sinar pedang cepat miringkan tubuh, namun tetap saja pedang itu mengenai pundak kirinya, amblas dibawah tulang pundak sampai menembus ke belakang. Biarpun tidak binasa karena luka itu, harus diakui bahwa rasa sakitnya luar biasa sekali dan merupakan luka yang cukup hebat.

Ge Khan Hwesio terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Ge Bun Hwesio yang cepat menolong suhengnya itu. Adapun Lee Kek Tosu sendiri sudah roboh dan tewas tak lama kemudian. Isi perutnya telah rusak oleh sodokan toya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang.

Sementara itu, ketika Bi Hong tadi sudah hampir terjatuh ke dalam pengaruh sihir Ga Lung Hwesio, tiba-tiba suhengnya memberi ingat. Ia kaget dan mengempos semangat untuk melawan pengaruh itu sambil mempercepat gerakan pedangnya. Namun Ga Lung Hwesio juga memperhebat tenaga batinnya, lalu berkata keras.

“Nona, kau lelah sekali. Kau sudah tidak kuat lagi. Kau duduklah!”

Seperti ada dua tangan yang tidak kelihatan menekan pundak Bi Hong. Gadis ini tidak dapat mempertahankan diri lagi, tubuhnya tiba-tiba terasa lemah tidak bertulang agaknya dan otomatis mendengar seruan ini ia lalu jatuh duduk di atas tanah dengan pedang masih di tangannya. Ga Lung Hwesio tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia cepat melangkah maju untuk menjatuhkan pukulan maut dengan tongkat bambunya.

Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara melengking keras dan tinggi, suara aneh sekali, yang bukan seperti suara manusia, lebih menyerupai suara seruling yang ditiup dengan tenaga luar biasa dan dengan nada yang amat tinggi. Berbareng dengan suara itu, tanpa terlihat oleh mata semua orang, dua butir batu kecil sekali menyambar dan sebutir menyambar tongkat Ga Lung Hwesio menahan serangan maut tongkat itu, yang sebutir lagi menotok jalan darah di tengkuk Bi Hong.

Sambaran batu kecil yang tidak kelihatan pada tongkat amat hebat karena tiba-tiba Ga Lung Hwesio merasa tongkatnya tertolak balik ke arah dirinya. Ia mengira bahwa gadis yang diserangnya masih bisa menangkis. Akan tetapi totokan batu pada tengkuk gadis itu lebih lihai. Begitu terkena sambaran batu pada jalan darah di tengkuknya, sekali gus Bi Hong sadar dari pengaruh ilmu sihir Ga Lung Hwesio.

Seperti disiram air dingin gadis itu sadar dari keadaannya yang lemah tadi. Ia melihat hwesio musuhnya itu sedang melangkah dua tindak ke belakang sambil mengawasi tongkatnya dengan mata heran.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bi Hong. Dengan pekik dahsyat gadis ini lalu meloncat, menggunakan gerakan Sin-wan-teng-ki (Monyet Sakti Loncat Cabang) disusul dengan gerak tangan Giok-li-sia-niau (Dewi Memanah Burung) pedangnya meluncur ke depan mengirim tusukan maut.

Ga Lung Hwesio yang sedang terkejut dan heran, mana bisa menduga datangnya serangan ini? Ia terkejut akan tetapi tahu-tahu pedang itu telah menikam hulu hatinya. Ia memekik dan ketika pedang ditarik kembali, tubuhnya terjengkang roboh mandi darah dan tewas seketika itu juga.

Posting Komentar