“Memang Ci Ying, gadis yang dulu riang jenaka itu telah berubah menjadi wanita ganas sekali. Ia membunuh-bunuhi kaki tangan tuan tanah dengan amat kejam.
Kemudian Wang Sin dan Ci Ying mengawal kami para budak untuk melarikan diri ke timur. Semua budak sudah pergi membawa bekal yang cukup untuk memulai hidup baru. Jasa mereka amat besar, selama hidup akan diingat oleh kami bangsa budak.
Sayang sekali dalam kehidupan Wang Sin muncul peristiwa yang amat sulit dan ruwet antara dia, isterinya orang Han itu, dan tunangannya. Aku sendiri setelah merantau sepuluh tahun lebih, tidak dapat menahan rinduku akan kampung halaman di Loka di mana aku dilahirkan dan dibesarkan, biarpun dalam keadaan menderita maka aku lalu kembali ke sini, bekerja lagi sebagai budak. Akan tetapi, keadaannya sekarang lain.
Para budak tidak tertindas seperti dulu. Kalau masih seperti dulu, mana aku sudi bekerja lagi seperti budak?”
Saking bingung dan terharunya mengingat akan nasib yang diderita oleh ibunya, sampai lama Bi Hong tidak dapat berkata-kata. Adalah Lee Kek Tosu yang berkata.
“Terima kasih banyak atas semua penuturanmu, loheng. Hanya sekarang kami mohon keterangan penting darimu. Apakah kau tahu, di mana sekarang kami dapat menjumpai Wang Sin?”
“Mana aku bisa tahu? Dia dan Ci Ying setelah mengantar kami sampai jauh, lalu pergi dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali. Akan tetapi, perbuatannya yang gagah dan mulia itu ternyata telah membuat para tuan tanah berubah dan kehidupan para budak sekarang tidak begitu buruk seperti dahulu. Sampai mati aku tak dapat melupakan Wang Sin dan Ci Ying!”
Karena tidak bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang di mana adanya ayahnya, setelah berada di dusun tempat kelahiran ayahnya itu selama tiga hari, Bi Hong dikawani twa-suhengnya, lalu mulai dengan perjalanannya mencari Wang Sin. Banyak dusun mereka jelajahi dan ternyata nama Wang Sin dan Ci Ying terkenal sekali, dikenal oleh hampir semua budak di daerah itu.
Akan tetapi sungguh menyedihkan sekali, keadaan para budak yang baik nasibnya atau setidaknya yang tidak begitu tertindas lagi oleh tuan tanah dan begundal- begundalnya hanyalah di dusun Loka itulah. Di dusun-dusun lain, keadaan masih seperti dahulu ketika Wang Sin masih menjadi budak.
Sampai berbulan-bulan Bi Hong dan Lee Kek Tosu mencari Wang Sin di dusun- dusun sekitar Tibet, namun hasilnya sia-sia, bukan saja Wang Sin tidak dapat ditemukan, bahkan namanya hanya dikenal di kalangan budak sebagai dongeng seorang pahlawan budak. Memang, semenjak berabad-abad para budak ini hidup seperti hewan ternak, tidak ada yang memikirkan nasib mereka, jangankan membela. Maka pembelaan Wang Sin untuk membebaskan para budak di Loka merupakan hal yang mirip dengan dongengan bagi mereka itu.
“Suheng, kiranya sudah cukup kita mencari ayah di daerah ini. Ayah tidak ada di sini dan kurasa kalau ayah tidak pindah ke timur, tentu ayah berada di Lasha,” akhirnya Bi Hong berkata kepada suhengnya dengan hati kecewa.
“Tidak mungkin di Lasha. Di sana berkumpul musuh-musuh besar ayahmu, mana bisa ia tinggal di sana? Agaknya betul kalau dia sudah pindah jauh dari Tibet yang kini menjadi tempat berbahaya baginya karena semua pendeta tentu memusuhinya setelah dia membunuh pendeta-pendeta di Loka.”
“Suheng, pesanan suhu untuk mencari ayah lebih dulu sudah kita penuhi, sekarang setelah tidak berhasilmencari ayah, aku mau langsung saja pergi ke Lasha untuk mencari Ga Lung Hwesio dan Thu Bi Tan Hwesio.”
“Apa kau sudah pikir masak-masak akan hal ini, sumoi? Di Lasha berkumpul banyak pendeta-pendeta yang sakti.”
“Apa kau takut, suheng? Biarlah siauwmoi pergi sendiri dan twa-suheng kembali saja ke Kun-lun-pai memberi laporan kepada suhu.”
Lee Kek Tosu mengerutkan keningnya. “Kau bicara apa ini, sumoi? Kau yang masih begini muda tidak gentar menghadapi musuh, apakah kau kira aku yang sudah tua takut mati? Tugasku membantu dan melindungimu, biar bertaruhkan nyawa sekalipun pinto harus mengawanimu ke Lasha.”
Bi Hong cepat-cepat menjura kepada suhengnya minta maaf, hatinya gembira. Memang dengan bantuan suhengnya ini, ia tidak takut biarpun mendengar di Lasha banyak terdapat orang-orang sakti. Sebagai seorang harimau betina yang muda mana ia takut melawan musuh? Maka ia segera mengajak suhengnya berangkat ke Lasha dengan penuh kegembiraan.
Berbeda dengan sumoinya, diam-diam Lee Kek Tosu berkhawatir karena tosu ini sudah cukup maklum bahwa tempat yang mereka tuju adalah pusat di mana berkumpul hwesio-hwesio Tibet yang berilmu tinggi. Ia tidak takut akan keselamatan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatan sumoinya yang masih begini muda.
Pada suatu hari mereka tiba di luar kota Lasha, di sebelah timur kota kurang lebih dua puluh lie dari kota Lasha. Karena hari itu amat panasnya, mereka menjadi lelah dan beristirahat di bawah pohon yang teduh, yang tumbuh di pinggir jalan. Bi Hong mengeluarkan makanan kering yang dibekalnya dan Lee Kek Tosu mengeluarkan tempat airnya untuk minum. Sudah hampir satu tahun dua kakak beradik seperguruan ini merantau di daerah Tibet dan perhubungan mereka sudah seperti kakak dan adik atau malah seperti keponakan dan paman. “Twa-suheng, kau banyak membuang waktu dan tenaga untuk kepentinganku. Benar- benar kau seorang suheng yang amat baik,” kata Bi Hong terharu melihat kakek yang sudah tua itu menenggak air.
Lee Kek Tosu tersenyum. “Sumoi, mengapa kau mengeluarkan kata-kata sungkan? Semenjak kau masih bayi, aku sudah berada di sampingmu, malah dahulu akulah yang menggendongmu dan menimang-nimangmu. Terhadap kau, aku adalah suheng menurut hubungan perguruan, akan tetapi di dalam hatiku kau tiada bedanya seperti anak, keponakan, atau cucuku sendiri.”
Bi Hong terharu, akan tetapi karena dia mempunyai watak gembira, ia tertawa. “Twa- suheng, mana kau pantas menjadi engkong (kakek). Eh, twa-suheng, apakah kau dahulu tidak mempunyai keluarga sama sekali?”
Ditanya begini, wajah kakek itu menjadi muram. “dahulu aku mempunyai seorang isteri, akan tetapi..... kami tidak cocok pikiran, kami cekcok lalu. lalu bercerai.
Semenjak itu aku masuk menjadi tosu.”
Bi Hong menyesal telah mengajukan pertanyaan itu yang berarti mengingatkan twa- suhengnya kepada pengalaman yang tidak bahagia itu. Ia tidak tahu bahwa sebetulnya dahulu ketika masih muda, isteri twa-suhengnya itu tidak setia dan melakukan perbuatan hina dengan seorang teman baik suhengnya itu sendiri.
Dalam kemarahannya, twa-suhengnya itu membunuh teman dan isterinya, kemudian merasa menyesal dan menjadi seorang tosu di Kun-lun-pai, menjadi murid kepala dari To Gi Couwsu. Ini pula sebabnya mengapa melihat nasib Ong Hui, seorang isteri yang amat setia akan tetapi ditinggalkan suaminya, Lee Kek Tosu merasa kasihan dan terharu sekali karena Ong Hui mempunyai watak baik dan nasib yang sebaliknya dari pada isterinya. Maka tidak mengherankan apabila ia menyayang puteri Ong Hui dan menganggap Bi Hong seperti anak sendiri.
Selagi Lee Kek Tosu dan Bi Hong bercakap-cakap sambil mengasoh di bawah pohon yang rindang, tiba-tiba dari jurusan timur mendatangi empat orang hwesio. Langkah kaki mereka yang ringan dan gerakan yang cepat dalam berlari menandakan empat orang hwesio itu adalah orang-orang yang memiliki ginkang tinggi dan berkepandaian.
“Hwesio-hwesio itu tentu hwesio dari Lasha dan hendak pergi ke kota itu,” kata Lee Kek Tosu. “Lebih baik kita jangan mencampuri urusan di sini, kita baik menyimpan tenaga untuk menghadapi musuh-musuh kita yang sebenarnya.”
Akan tetapi setelah hwesio-hwesio itu datang dekat Bi Hong mengeluarkan seruan marah. “Ihhh, bukankah dia si jahanam Ga Lung Hwesio!” Ia melompat sambil menghunus pedangnya. Lee Kek Tosu juga melihat bahwa seorang yang berlari di pinggir kiri adalah Ga Lung Hwesio, maka iapun ikut bersiap sedia. “Bagus,” katanya, “kita tak usah sukar-sukar mencari!”
Ga Lung Hwesio juga sudah melihat nona dan tosu itu. Ia menghentikan larinya dan berkata kepada kepada tiga orang kawannya itu. “Harap samwi suheng (kakak seperguruan bertiga) berhenti sebentar. Siluman betina dan tosu bau dari Kun-lun-pai ini agaknya hendak menghadang kita.”
Lee Kek Tosu memperhatikan tiga orang hwesio yang disebut suheng oleh Ga Lung Hwesio. Mereka ini adalah orang-orang Tibet asli, bertubuh tinggi besar berkulit hitam. Melihat sinar mata mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah ahli-ahli lweekang yang tidak boleh dipandang ringan.
Sebelum Bi Hong mengeluarkan suara, Lee Kek Tosu yang tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan mereka, cepat menjura kepada tiga orang hwesio hitam itu dan berkata.
“Pinto dan sumoi mempunyai permusuhan dengan dua orang hwesio Lasha, yaitu Ga Lung Hwesio dan Thu Bi Tan Hwesio. Dengan para losuhu yang lain, kami berdua tidak mempunyai urusan dan tidak ingin menimbulkan keributan.”
Ga Lung Hwesio mengeluarkan suara mengejek dan seorang di antara tiga orang hwesio tinggi besar itu menjawab, “Kami bertiga, Ge Khan, Ge Bun, dan Ge Thun adalah tiga orang murid Thu Bi Tan suhu. Entah urusan apa yang hendak toyu bereskan dengan suhu dan Ga Lung sute?”
Kagetnya hati Lee Kek Tosu bukan main mendengar bahwa tiga orang hwesio ini adalah murid-murid Thu Bi Tan Hwesio. Tidak bisa lain, ia harus menggempur mereka semua karena sebagai murid-murid Thu Bi Tan, tentu saja mereka akan membela guru mereka. Sementara itu Bi Hong sudah membentak Ga Lung Hwesio.
“Ga Lung Hwesio, bukankah kau bersama Thu Bi Tan Hwesio belasan tahun yang lalu telah menyerbu ke Kun-lun dan membinasakan Ong Bu Khai, Cin Kek Tosu, dan merusak tempat tinggalnya?”
Ga Lung Hwesio tertawa lagi. “Betul kata-katamu. Dua orang itu telah membiarkan murid-murid mereka melakukan pengacauan di Loka dan karenanya kami telah menghukum mereka. Apa hubungannya dengan kamu?”
Muka Bi Hong menjadi merah dan matanya berapi-api, “Hwesio keparat! Ketahuilah, bahwa aku Wang Bi Hong adalah cucu Ong Bu Khai. Ga Lung Hwesio, hutang nyawa bayar nyawa, bersiaplah kau untuk mati!”
“Ha-ha-ha, begitukah? Kiranya masih ada buntutnya peristiwa itu. Kau ini bocah kemaren sore, sombong amat hendak melawan Ga Lung Hwesio? Ha-ha-ha!”