Halo!

Nona Berbunga Hijau Chapter 34

Memuat...

Baik Bi Hong maupun Lee Kek Tosu terkejut bukan main mendengar hwesio itu menyebut namanya Ga Lung Hwesio. Itulah orangnya, atau seorang di antaranya, yang dicari-cari oleh Bi Hong, musuh besar yang dulu sudah menyerbu tempat tinggal kong-kong dan ibunya. Akan tetapi mereka tidak berdaya mengejar karena hwesio itu sudah membalapkan kudanya dan sudah jauh sekali, tidak mungkin dikejar dengan lari cepat.

“Manusia-manusia sombong! Perlu apa kalian datang mengganggu aku?” tiba-tiba suara yang galak dan nyaring ini membuat dua orang kakak adik seperguruan itu memutar tubuh dan memandang kepada pemuda tegap yang kini sudah berdiri menghadapi mereka dengan dada terpentang. Pemuda itu benar-benar gagah sekali, akan tetapi mudah diduga bahwa dia keras hati dan keras kepala.

Bi Hong adalah seorang gadis yang lincah gembira, akan tetapi mendengar suara dan melihat sikap yang galak ini naiklah darahnya. Ia menghadapi pemuda itu dan berkata mengejek.

“Setan, kenapa tingkahmu begini? Kalau tidak twa-suheng dan aku datang mengganggu, apakah kau sekarang bukannya sudah menjadi setan tak berkepala? Huh, ditolong orang tidak mengerti, malah memaki orang sombong. Yang sombong engkau, bukan kami.”

Ditegur begitu, pemuda itu merah mukanya, akan tetapi matanya melotot berani kepada Bi Hong. “Siapa membutuhkan pertolonganmu?”

“Eh, eh, sudah terang kau jatuh dan hampir dibinasakan hwesio itu, masih bilang tidak butuh pertolonganmu!” kata Bi Hong penasaran.

Pemuda itu tersenyum mengejek. “Aku belum mati, mana bisa dihitung kalah? Kalau kalian tidak datang mengganggu, hwesio jahanam itu pasti sudah mampus di tanganku. Hemm, kalian benar-benar mengganggu. Sudahlah!” Pemuda itu memutar tubuh dan hendak pergi.

“Congsu (tuan gagah), tunggu dulu!” Lee Kek Tosu berseru dan mengejar. Setelah pemuda itu membalikkan tubuh menghadapinya, sambil menjura tosu tua ini bertanya. “Bolehkah pinto mengetahui congsu masih ada hubungan apa dengan Cheng Hoa Suthai dan kenapa congsu memusuhi Ga Lung Hwesio dari Lasha?” Mendengar pertanyaan ini, baru Bi Hong ingat bahwa pertanyaan kedua itu penting sekali. Dia sendiri turun gunung dengan maksud membalas dendam kepada Ga Lung Hwesio dan Thu Bi Tan Hwesio, mengapa sekarang bocah kepala batu ini juga memusuhi Ga Lung Hwesio?

Dengan matanya yang lebar dan bersinar tajam, bocah itu memandang Lee Kek Tosu lalu menjawab, suaranya nyaring dan mantap, tanda bahwa dia orang jujur, terbuka, keras hati dan tidak mau mengalah akan tetapi penuh dengan kegagahan dan keadilan.

“Cheng Hoa Suthai adalah sucouwku (nenek guru) dan aku tidak mengenal siapa itu Ga Lung Hwesio. Pendeknya, semua hwesio Tibet kepala gundul adalah musuh- musuhku yang harus kubunuh semua. Sudahlah, aku tidak ada waktu lagi, harus mengejar keledai gundul itu!” Setelah berkata demikian pemuda itu melompat jauh dan berlari cepat sekali melakukan pengejaran.

“Twa-suheng, pemuda itu agaknya juga mempunyai permusuhan yang sama dengan kita,“ kata Bi Hong. “Mari kita juga menuju ke Lasha. Jika kita dan dia bekerja sama, kedudukan kita lebih kuat.”

Lee Kek Tosu memandang sumoinya dengan sinar mata tajam menyelidik. “Sumoi, bukankah karena kau mengkhawatirkan bocah itu dan ingin membantunya menghadapi para pendeta Lasha yang lihai?”

Bi Hong menjadi merah mukanya. Karena berkumpul sejak kecil, ia maklum bahwa pandangan twa-suheng ini tajam luar biasa.

Iapun tidak bisa membohong terhadap twa-suheng ini, maka sambil mengangguk, ia menarik napas dan berkata, “Pemuda itu kasar dan keras hati, suheng. Akan tetapi entah mengapa, aku mendapat perasaan bahwa dia bukan orang sembarangan, ada sifat-sifat gagah pada dirinya, dan tentu ia mengandung sakit hati besar sekali terhadap para pendeta di Lasha. Akan tetapi karena dia kasar dan sembrono, pasti dia akan celaka. Kitapun bertujuan mencari musuh besar kong-kong, terutama Ga Lung Hwesio yang lari ke Lasha, apakah tidak baik kita sekalian menyusul dan membantu pemuda itu?”

Lee Kek Tosu mengangguk-angguk, lega hatinya karena sumoinya tertarik dan kagum melihat pemuda itu adalah sewajarnya, bukan terselip kekaguman wanita terhadap pria.

“Memang perasaanmu tidak jauh dengan perasaanku, sumoi, Pemuda itu itu bukan sembarangan, dia murid Cheng Hoa Suthai yang terkenal ganas, akan tetapi pemuda itu sendiri gagah dan jujur. Akan tetapi, di daerah Tibet ini sejak dulu penuh dengan soal-soal penasaran, banyak terjadi penindasan dan sakit hati. Kalau kau menuruti hati dan perasaan, jangan-jangan akan terjadi apa yang dikhawatirkan oleh suhu, yaitu permusuhan yang tiada habisnya antara Tibet dan Kun-lun. Persoalanmu dengan para pendeta di Lasha seperti kata suhu adalah urusan ayahmu, maka lebih baik kita mencari dulu ayahmu sebelum turun tangan. Kalau kita salah tangan, bukankah suhu akan marah sekali?” Bi Hong tidak dapat membantah. Memang ia tadi terlalu menurutkan nafsu, ingin lekas-lekas membalas musuh besarnya dan juga khawatir melihat pemuda tadi melakukan pengejaran seorang diri. Urusan sendiri belum beres, mengapa melibatkan diri dengan urusan orang lain? Ia mengangguk dan dua orang itu lalu melanjutkan perjalanan mereka, tidak ke Lasha, melainkan ke Loka, dusun di lembah sungai Yalu- cangpo.

Memang mendiang Ong Hui tidak banyak bercerita kepada para tosu Kun-lun-pai. Bagaimana nyonya muda itu dapat bercerita mengeluarkan isi hatinya tentang suaminya yang dirampas wanita lain? Ia menderita seorang diri, sama sekali tidak mau menceritakan pengalamannya ketika berhadapan dengan Ci Ying yang merampas suaminya. Oleh karena itulah, puterinya tidak mendengar banyak dari para tosu di Kun-lun.

Bahkan To Gi Couwsu sendiri hanya tahu bahwa anak itu puteri Wang Sin murid Cin Kek Tosu dan bahwa Wang Sin berasal dari Loka. Ong Hui menceritakan ke mana perginya Wang Sin, hanya bilang bahwa suaminya itu meninggalkannya untuk menyelesaikan urusan dendam para budak di Tibet.

Maka ketika memasuki dusun Loka, Bi Hong dan Lee Kek Tosu sama sekali tidak tahu bahwa dusun ini sudah berubah banyak. Para hamba taninya sudah berganti lain orang, juga tuan tanahmya.

Akan tetapi melihat cara para budak bekerja di sawah, tidak dijaga tukang-tukang pukul, bekerja rajin sambil bernyanyi-nyanyi, Bi Hong dan Lee Kek Tosu mengerti bahwa keadaan para budak itu tidak boleh dibilang sengsara, dan kenyataan bahwa mereka suka bekerja dengan gembira tanpa dijaga tukang pukul, membuktikan bahwa jaminan hidup mereka tentu saudah mencukupi. Mereka berhenti bekerja dan memandang dengan heran dan kagum ketika melihat kedatangan seorang gadis Han yang cantik jelita bersama seorang tosu.

“Apakah di antara saudara ada yang tahu di mana tempat tinggal seorang bernama Wang Sin?” tanya Bi Hong dalam bahasa Tibet yang fasih. Memang gadis ini, juga Lee Kek Tosu, paham bahasa Tibet, bahkan Bi Hong sejak kecil sudah diberi pelajaran bahasa ini oleh To Gi Couwsu yang tahu bahwa ayah anak ini adalah seorang Tibet. Tidak mengherankan apabila bahasanya cukup baik.

Akan tetapi para budak itu tidak mengenal Wang Sin dan mereka menggeleng-geleng kepala setelah saling bertanya kalau-kalau ada yang mengenalnya. Tiba-tiba seorang kakek tua yang memegang cangkul membungkuk-bungkuk maju menghadapi Bi Hong. Wajah orang tua ini keriputan dan kulitnya coklat karena dimakan panas matahari. Matanya yang sipit hampir meram itu mengamat-amati Bi Hong, lalu ia bertanya.

“Nona masih ada hubungan apakah dengan orang yang bernama Wang Sin?” Suaranya mengandung curiga dan pandang matanya menyelidik. Bi Hong dapat menangkap suara curiga ini, maka ia tersenyum manis untuk melegakan hati orang.

“Lopek,” katanya manis budi, “Aku masih ada hubungan dekat dengan Wang Sin itu, apakah lopek kenal padanya dan di mana adanya dia sekarang?” Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu menarik napas panjang. “Dia pahlawan besar ..... pahlawan besar. ” setelah berkata demikian ia lalu kembali ke tempat

kerjanya sambil berkata kepada kawan-kawannya. “Kawan-kawan, hayo kita bekerja lagi, kita tidak bisa meninggalkan pekerjaan!”

Semua orang teringat akan pekerjaannya dan kembalilah mereka sibuk dengan pekerjaannya di sawah. Bi Hong girang sekali mendengar ucapan tadi, akan tetapi iapun heran mengapa kakek itu agaknya tidak suka banyak bercerita tentang Wang Sin, ayahnya. Sambil berkedip pada twa-suhengnya, ia lalu menghampiri kakek itu dan berbisik.

“Lopek kau curiga padaku, itu sudah sepatutnya. Akupun tahu bahwa dia itu seorang pahlawan besar. Ketahuilah, aku ini puterinya dan semenjak kecil aku tidak melihat ayahku itu. Aku hendak mencari dia, tolonglah kau memberi petunjuk.”

Kakek itu tampak kaget lalu memandang Bi Hong penuh perhatian. “Kau. kau tidak

sama dengan Ci Ying, apa betul kau anak Ci Ying?” “Bukan, lopek. Ibuku she Ong. ”

“Ah, nyonya muda Han itu?”

Bi Hong terkejut dan makin girang. Tentu orang tua ini dapat bercerita banyak, maka ia lalu menggandeng tangannya diajak keluar dari sawah. “Lopek tolonglah aku, ceritakanlah tentang ayah. Biarkau tinggalkan pekerjaanmu sebentar, aku yang bertanggung jawab kalau tuan tanah marah kepadamu.” Bi Hong menepuk-nepuk gagang pedangnya.

Kakek itu memandang kagum. “Kau gagah, seperti dia. ! Baiklah, dengar ceritaku.”

Ia lalu duduk di galengan sawah dan bercerita, didengarkan oleh Bi Hong dan Lee Kek Tosu yang duduk di depannya, di atas tanah lempung.

Berceritalah kakek itu tentang diri Wang Sin dan Ci Ying, bagaimana mereka menjadi korban tuan tanah sampai mereka itu lari minggat, bagaimana ayah dua orang muda itu tewas oleh kaki tangan tuan tanah.

Kemudian ia bercerita pula dengan gembira, betapa Wang Sin enam belas tahun yang lalu datang lagi dengan isterinya, seorang nyonya muda bangsa Han yang cantik dan gagah dan betapa suami isteri ini membasmi tuan tanah di Loka dan membebaskan semua budak yang tertindas.

Juga ia ceritakan bagaimana kemudian muncul Ci Ying yang sudah berubah menjadi seorang wanita gagah yang amat ganas dan mengerikan, dan kemudian betapa isteri Wang Sin itu diserang oleh Ci Ying lalu pergi meninggalkan suaminya.

Bi Hong mendengarkan cerita itu dengan amat terharu. Ia sampai mengucurkan air mata ketika mendengar penuturan tentang ayahnya di waktu muda dan menggertakkan giginya mendengar penindasan tuan tanah. Akan tetapi ia berdebar dan menjadi pucat ketika mendengar tentang pertemuan Ci Ying, tunangan ayahnya itu dengan ibunya sampai ibunya diserang kemudian ibunya pergi meninggalkan ayahnya dan gadis Tibet itu.

“Kemudian bagaimana, lopek yang baik?” tanyanya, suaranya gemetar dan wajahnya masih pucat.

Kakek itu sekarang percaya bahwa gadis ini benar-benar puteri Wang Sin dan nyonya Han itu, sekarang ia ingat bahwa wajah gadis ini memang sama dengan wajah nyonya Han yang menjadi isteri Wang Sin. Ia menghela napas dan melanjutkan penuturannya.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment