Halo!

Nona Berbunga Hijau Chapter 33

Memuat...

“Pendeta bau! Justeru aku tidak mau menghormat semua pendeta Lama yang jahat- jahat, habis kau mau apa? Orang tuaku tidak ada sangkut paut, gurukupun tidak, tak perlu kau kenal mereka. Kau mau tahu mengapa aku hendak ke Lasha? Dengarlah, aku hendak membasmi keledai-keledai gundul!”

Hwesio gemuk pendek itu marah sekali, kawannya mengeluarkan suara. “Iihhh. ”

dan meraba-raba kepalanya yang gundul. Bi Hong juga kaget dan twa-suhengnya berbisik, “Hemmmm, bocah ini lancang mulut dan nekad sekali.”

Akan tetapi Bi Hong memuji kagum. “Dia benar-benar bernyali harimau.”

“Bocah gila!” hwesio yang tadi meraba kepalanya membentak. “Setan cilik macammu ini berani mengeluarkan omongan seperti itu? Lihat, kedua tanganku cukup untuk membekuk lehermu, jangan sebut lagi para guru besar di Lasha itu? Jagalah!” Hwesio ini yang memegang sebuah tongkat kayu sebesar mulut mangkuk, benar-benar melemparkan tongkatnya ke tanah, lalu dengan kedua tangan kosong ia menubruk, tangan kiri menghantam kepala, tangan kanan mencengkeram dada pemuda tanggung itu.

Serangan ini hebat sekali dan dari bunyi angin pukulannya dapat diketahui bahwa hwesio yang mukanya putih ini memiliki kepandaian lumayan dan tenaganya besar. Akan tetapi lebih hebat sambutan anak muda itu. Pukulan ke arah kepalanya ia tangkis dengan tangan kanan, sedangkan cengkeraman ke arah pundak ia biarkan saja. Sambil mengerahkan tenaganya ia malah membalas dengan pukulan telapak tangan ke arah jidat hwesio itu.

“Plakkk. !!” Hwesio itu terkena tampar jidatnya, menjerit ngeri dan tangannya yang

sudah mencengkeram pundak pemuda itu terlepas, tubuhnya lemas dan ia roboh telentang di atas tanah, tak bernapas lagi. Di atas jidatnya terdapat tanda lima buah jari tangan hitam dan seluruh mukanya berubah hijau.

“Ganas sekali. !” Bi Hong bersru kaget.

Hwesio pendek gemuk itupun kaget melihat kawannya tewas seketika, lebih-lebih kagetnya melihat muka kawannya itu yang berubah kehijauan. Hampir berbareng, hwesio gemuk pendek ini dan Lee Kek Tosu berseru kaget. “Cheng-hoa-pai !”

Hwesio gemuk pendek itu dengan seruan marah lalu menyerang si pemuda, menggunakan tongkat bambunya dan ternyata ia lihai bukan main. Pemuda itupun mencabut pedangnya, pedang yang mengeluarkan sinar ungu. Ilmu pedangnya juga dahsyat dan ganas dan di lain detik mereka sudah bertempur mati-matian.

“Twa-suheng, apakah itu Cheng-hoa-pai?” tanya Bi Hong terheran-heran sambil memandang ke arah pertempuran. Lee Kek Tosu menggelengkan kepalanya. “Tidak baik..... tidak baik. maka suhu

tidak pernah bercerita, juga pinto dan para sute tidak mau menceritakan kepadamu. Cheng-hoa-pai berpusat di Heng-toan-san, jadi masih tetangga kita.

Akan tetapi oleh karena sepak terjang mereka tidak cocok dengan kita, maka di antara kita dengan mereka tidak ada hubungan sesuatu. Ketuanya adalah Cheng Hoa Suthai, seorang pendeta wanita yang amat lihai.”

Tadinya Bi Hong menengok suhengnya, kini ia melirik lagi ke arah pemuda itu dan melihat bahwa pertempuran makin hebat di mana kedua pihak sama kuatnya. Ia makin heran. Pemuda itu baru belasan tahun, dan pendeta gundul yang melawannya amat lihai, akan tetapi kenyataannya pemuda itu dapat mempertahankan diri dengan amat baiknya.

“Suheng tadi menyebut Cheng-hoa-pai setelah melihat dia, apakah dia anggautanya?”

“Sukar dikatakan demikian. Menurut pendengaran dan setahuku, Cheng-hoa-pai adalah perkumpulan wanita, tidak pernah mempunyai anak murid pria. Akan tetapi pukulannya tadi, yang mematikan hwesio itu, tidak salah lagi, itulah pukulan Cheng- hoa-tok-jiu (Pukulkan Beracun Kembang Hijau) dari Cheng-hoa-pai.” Pendeta Kun- lun ini menggeleng-geleng kepala lalu menggerendeng. “Apakah Ceng Hoa Suthai telah mengambil murid seorang pria?”

Sementara itu, pertempuran di depan makin seru. Hwesio pendek itu tadinya masih tertawa-tawa dalam marahnya, akan tetapi sekarang tidak bisa ia ketawa lagi, tidak sempat. Ternyata bocah itu benar-benar lihai dan gerakan-gerakannya amat dahsyat dan ganas.

“Setan kecil, pernah apa kau dengan siluman betina Ci Ying?” bentak pendeta gundul itu sambil menahan pedang lawan dengan tongkatnya.

Mendadak pemuda itu marah sekali mendengar pertanyaan ini. “Tutup mulutmu yang kotor, hwesio keparat!”

Dan pedangnya menyerang lagi dengan hebat. Akan tetapi hwesio itu menang pengalaman. Agaknya sekarang ia tahu bagaimana harus menghadapi pedang si pemuda. Ia berlaku lambat dan menghadapi lawannya dengan mengerahkan tenaga “lembek”.

Seorang ahli lweekang dapat menguasai tenaganya dan dapat menggunakan tenaganya dalam bentuk keras maupun lembek. Tahu bahwa pemuda itu keras hati, bernafsu dan bertenaga besar, ia lalu menggunakan siasat, melawan dengan tenaga lembek.

Pemuda itu kaget sekali ketika mendadak pedangnya terbetot dan seperti mengenai tempat kosong apabila bertemu dengan tongkat lawan. Dalam kagetnya, ia segera didesak dan sebentar saja repotlah ia karena berada dalam keadaan terdesak.

“Twa-suheng, mari kita bantu dia.” “Bantu siapa?” tanya Lee Kek Tosu sambil memandang sumoinya. “Kedua-duanya kita tidak kenal, mengapa mesti mencampuri urusan orang lain?”

Merah wajah Bi Hong, lalu gadis ini tersenyum. “Twa-suheng, jangan salah sangka. Sekali-kali siauwmoi bukan hendak mencampuri urusan orang dan juga tidak hendak pilih kasih dan berat sebelah. Aku hendak turun tangan dengan alasanku yang kuat.”

“Alasan apa? Siapa yang hendak kau bantu?”

“Tentu saja membantu si pemuda itu. Dengan dia kita tidak pernah kenal, akan tetapi bukankah lawannya itu seorang pendeta Lama dari Tibet? Twa-suheng maklum bahwa yang membunuh kong-kong dan supek-couw adalah hwesio-hwesio dari Tibet. Semua hwesio Lasha jahat dan harus dibasmi. Karena itu biarpun tidak tahu urusannya, sudah terang yang jahat adalah si hwesio itu.”

Lee Kek Tosu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. “Alangkah banyaknya penganut-penganut To yang menyeleweng. Apakah dengan adanya tosu- tosu yang menyeleweng, kaupun lalu menganggap bahwa semua tosu itu jahat? Tidak bisa demikian, sumoi. Memang banyak hwesio Tibet yang jahat, akan tetapi tidak mungkin kita menyama ratakan saja dan menganggap seluruh hwesio Tibet itu jahat- jahat belaka. Kita harus berhati-hati, dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik. Kalau kita turun tangan secara sembrono lalu salah tangan membantu yang jahat mencelakakan yang baik dan benar, ke mana kita hendak menaruh muka sebagai murid-murid Kun-lun-pai?”

Bi Hong terbelalak memandang suhengnya, baru ia sadar bahwa ia tadi memang terburu nafsu. Ia menepuk pipi sendiri sambil berkata. “Ah, bocah tolol, hampir saja kau menimbulkan onar!” Melihat lagak sumoinya, mau tak mau tosu itu tersenyum.

“Biarpun begitu, kalau didiamkan saja, seorang di antara mereka tentu akan tewas. Mari, kita pisahkan mereka, sumoi!”

Ajakan Lee Kek Tosu ini pada saat yang tepat karena pada waktu itu pemuda tegap itu sudah kena ditendang lututnya dan roboh terguling. Hwesio itu tertawa mengejek dan mengejar dengan tongkat diputar-putar, siap menjatuhkan pukulan maut.

Tiba-tiba hwesio gemuk pendek itu melihat sinar kuning emas yang panjang dan cepat menyambar tongkatnya. Tongkatnya terpental dan ia kaget sekali melihat bahwa penangkisnya adalah seorang gadis cantik yang memegang sebatang pedang.

Ia kaget dan kagum sekali akan gerakan pedang yang demikian cepatnya dan tahu bahwa yang datang adalah seorang lawan yang berat pula. Namun ia penasaran sekali karena datang-datang gadis itu menolong pemuda itu, maka ia lalu mengayun tongkat menyerang Bi Hong.

“Siancai. !” terdengar orang memuja dan tongkatnya kembali tertangkis pedang

lain. Tangan hwesio itu tergetar dan ia merasa telapak tangannya sakit sekali. Ia menjadi semakin kaget melihat penangkisnya seorang tosu tua yang memegang pedang di tangan.

Celaka, pikirnya, kalau gadis tadi memiliki kiam-hoat yang amat cepat dan lihai, adalah tosu ini memiliki lweekang yang luar biasa kuatnya. Ia menarik napas panjang, cepat membungkuk untuk memberi hormat akan tetapi sekalian ia menyambar mayat kawannya, lalu memutar tubuh dan berlari cepat.

“Pinceng Ga Lung Hwesio tidak bersedia untuk bertempur, lain kali bertemu kembali.” Dengan kata-kata ini, ia lalu melompat ke atas punggung seekor kuda yang ternyata dilepas begitu saja di dekat tempat itu, lalu membalapkan tunggangannya.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment