Pinto tidak keberatan kau membalas dendam kong-kongmu, akan tetapi agar tidak terjadi urusan permusuhan sampai terlalu mendalam, dan untuk mengetahui duduk perkaranya urusan yang berbelit-belit ini, sebelum membalas lebih dulu kau carilah ayahmu itu. Segala sepak terjang harus didasarkan atas keadilan, tidak boleh membabi buta menurutkan nafsu membenci dan dendam.”
Bi Hong mengangkat mukanya. “Suhu, ke manakah teecu harus mencari ayah? Yang teecu ketahui hanya berita tidak jelas bahwa. bahwa ayah sudah meninggalkan
ibu. ” suaranya berubah perlahan, wajahnya nampak berduka dan penasaran. Sejak
kecil, sejak mendengar bahwa ayahnya meninggalkan ibunya, diam-diam anak ini membenci atau setidaknya tidak suka kepada ayahnya.
“Ayahmu seorang Tibet, ke mana lagi mencari dia kalau tidak ke barat? Dahulu ayahmu tinggal di desa Loka, kau bisa mencarinya di sana atau di sekitarnya.”
Bi Hong girang. Ia memberi hormat lalu berkata, “Kalau begitu, harap suhu mengijinkan teecu pergi sekarang juga.”
Tosu tua itu mengangguk-angguk. “Pergilah Bi Hong, Hanya pesanku, hati-hatilah kau. Hwesio di Lasha adalah orang-orang sakti dan tidak boleh dipandang ringan.”
“Teecu akan memperhatikan semua nasehat suhu.” Setelah memberi hormat lagi kepada suhu dan suhengnya, nona ini lalu pergi ke kamarnya untuk membawa perbekalan.
Para tosu di Kun-lun diliputi suasana sunyi. Semua tosu di situ menyayangi gadis itu dan mereka tahu bahwa sepergi gadis itu dari puncak, tempat itu akan menjadi sunyi bagi mereka. To Gi Couwsu sendiri merasa kehilangan ini. Semenjak Bi Hong masih kecil, dia melatih anak itu dan menyayanginya seperti cucu sendiri. Tosu ini maklum bahwa kepergian gadis itu akan menempuh bahaya yang tidak kecil dan masih diragukan apakah dia yang sudah amat tua akan dapat bertemu kembali dengan Bi Hong.
“Lee Kek, jangan tegakan hatimu. Kau kawanilah sumoimu itu pergi mencari ayahnya ke barat!”
Bukan main girangnya hati Lee Kek Tosu murid kepala Kun-lun-pai itu. Ia cepat berlutut dan berkata, “Suhu, teecu akan menjaga sumoi dengan segenap jiwa raga teecu.” Ia lalu mengundurkan diri menyusul sumoinya.
Tak lama kemudian, dua orang itu, seorang tosu tua dan seorang gadis muda belia turun dari puncak diikuti pandang mata puluhan orang tosu. Beberapa kali Bi Hong menengok dan melambaikan tangan. Semua tosu di situ, suheng-suhengnya, baginya seperti paman-paman sendiri, maka iapun merasa terharu harus meninggalkan puncak yang sudah dialami selama belasan tahun itu.
******
Kiranya tidak sukar untuk diduga siapa adanya kakek tua aneh dan bocah nakal yang telah menolong Ong Hui belasan tahun yang lalu itu. Bocah itu bukan lain adalah Wang Tui yang sudah berganti nama menjadi Yalu Sun. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Wang Tui, bayi cucu nenek lumpuh yang kehilangan kedua orang tuanya karena kekejaman tuan tanah di Loka, akhirnya dibawa lari oleh Ci Ying.
Akan tetapi bayi itu berpisah dari Ci Ying dan hanyut terbawa perahu. Tentu akan habis riwayat bayi itu kalau saja ia tidak ditolong oleh seorang kakek sakti yang kemudian menjadi gurunya. Kakek itu sebetulnya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah mengasingkan diri puluhan tahun lamanya. Ia malah masih pernah kakak seperguruan dari To Gi Couwsu, pada saat itu merupakan orang terutama di Kun-lun memiliki kepandaian yang luar biasa sekali.
Orang-orang sudah tidak mengenalnya lagi dan dia hanya disebut Pek-kong Kiam- sian (Dewa Pedang Sinar Putih). Adapun Wang Tui, bocah itu, tentu saja tidak diketahui namanya dan oleh Pek-kong Kiam-sian diberi nama Yalu Sun (cucu sungai Yalu-cangpo), sesuai dengan keadaannya, ditemukan di atas perahu yang berada di sungai Yalu-cangpo.
Selama dua puluh tahun lebih, Pek-kong Kiam-sian yang dahulunya bernama Tok Tek Cinjin, menurunkan ilmu kepandaiannya kepada muridnya ini, yang ternyata amat cerdik dan berbakat. Bakatnya ini sudah dibuktikan ketika dalam usia tujuh tahun dia sudah dapat menghadapi Ga Lung Hwesio mengandalkan kelincahan tubuhnya.
Dengan amat tekun Wang Tui atau Yalu Sun, (lebih baik kita menyebutnya Yalu Sun karena bocah itu sendiri tidak tahu bahwa ia bernama Wang Tui) belajar ilmu dan akhirnya ia berhasil mewarisi ilmu kepandaian suhunya. Melihat muridnya telah tamat dan tidak ada apa-apa lagi yang dapat ia ajarkan, Pek-kong Kiam-sian lalu berpisah dari muridnya. “Muridku, ada saat berkumpul harus ada saat berpisah. Kau sudah tamat belajar, kepandaianmu sudah tak kalah olehku hanya tinggal mematangkan dalam latihan saja. Sekarang tugasku selesai, kau boleh pergi kemana sesukamu.”
Yalu Sun berlutut dan menangis. “Suhu, mohon kasihan. Teecu tidak sanggup meninggalkan suhu. Biarlah teecu merawat suhu yang sudah tua, teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri dalam usia tua.”
“Anak bodoh, berapa lama kau hendak mengeram dirimu di sampingku? Kalau umurku masih panjang, apakah kau hendak mengawaniku sampai kau menjadi seorang tua pula? Usiamu kini sudah dua puluh dua tahun, sudah lebih dari dewasa untuk hidup sendiri mencari pengalaman.”
“Suhu adalah satu-satunya orang di dunia ini yang teecu kenal, suhu adalah guruku juga pengganti orang tuaku. Bagaimana teecu tega untuk berpisah selagi suhu sudah amat tua?”
“Heh, apa kau masih banyak bantahan? Tidak terpisah sekarang, tentu akan datang saatnya berpisah. Mana ada manusia hidup kekal di dunia ini? Kau seorang manusia, tentu dahulu ada yang melahirkan kau, tentu ada ayah dan ibumu. Sudah menjadi kewajibanmu setelah kau sekarang memiliki kekuatan dan kepandaian, kau mencari ayah ibumu itu. Aku sendiri tidak tahu siapa mereka, akan tetapi karena kau mempunyai darah Tibet, tidak salah lagi orang tuamu tentulah tinggal di barat.
Berangkatlah ke Lasha dan di sana kau boleh mencari-cari keterangan tentang ayah bundamu itu. Pekerjaan ini tidaklah mudah, Sun-ji, karena aku sendiri tidak tahu siapa mereka itu dan siapakah kau ini sebenarnya. Nah, berangkatlah dan berhati-hatilah.
Aku sendiri hendak merantau, mencari tempat yang cocok untuk melewati hari tua dengan aman dan damai.”
Terbangun semangat Yalu Sun ketika gurunya bicara tentang orang tuanya. Memang semenjak kecil ia amat rindu untuk mengetahui dan mencari ayah bundanya yang sama sekali tidak dikenalnya, tidak diketahui pula namanya. Ia berlutut lagi untuk menghaturkan terima kasih atas pimpinan yang penuh cinta kasih selama dua puluh tahun lebih dari suhunya.
Akan tetapi sebelum ia mengucap sesuatu, berkelebat bayangan putih dan kakek itu sudah lenyap dari depannya. Hanya sebatang pedang terletak di depan Yalu Sun sebagai pengganti kakek itu. Yalu Sun menghela napas dan mengambil pedang itu.
“Suhu benar-benar mengharuskan aku turun gunung, pedang Pek-kong-kiam ditinggalkan untukku. Kalau aku tidak dapat mencari orang tuaku sampai berhasil bukankah sia-sia saja pengharapan suhu?”
Tak lama kemudian pemuda inipun meninggalkan puncak itu mulai dengan perjalanannya ke barat. Yalu Sun berusia dua puluh satu tahun atau dua puluh dua tahun, tubuhnya tegap, wajahnya berseri matanya kocak tanda wataknya periang. Pakaiannya sederhana sekali dan pedang Pek-kong-kiam tergantung di pinggang kiri. Dengan ilmu meringankan tubuh, ia berlari cepat sekali.
****** Sungguh merupakan hal yang amat kebetulan bahwa waktu Yalu Sun turun gunung, hanya sebulan yang lalu Bi Hong juga meninggalkan Kun-lun-pai menuju ke barat. Marilah kita mengikuti perjalanan Bi Hong yang juga melakukan perjalanan cepat dan hanya terpisah dua-tiga ratus lie saja dari Yalu Sun.
Dengan penuh semangat, gadis itu bersama twa-suhengnya, yaitu Lee Kek Tosu, melakukan perjalanan ke barat. Menurut keterangan yang mereka dapatkan di tengah perjalanan, dusaun Loka berada di lembah sungai Yalu-cangpo dan ke dusun inilah mereka menuju.
Pada suatu sore ketika mereka tiba di luar sebuah hutan kecil, mereka mendengar suara laki-laki yang amat nyaring memaki-maki dan suara ketawa perlahan. Lee Kek Tosu terkejut mendengar suara ketawa ini yang menunjukkan bahwa orangnya tentulah seorang ahli lweekang yang berkepandaian tinggi.
Agaknya orang sedang bertengkar di dalam hutan. Mari kita lihat, twa-suheng,” kata Bi Hong.
“Marilah, akan tetapi di tempat asing ini harap kau suka bersabar dan jangan mencampuri urusan orang lain,” tosu itu memperingatkan sumoinya.
Sambil beridap mereka menghampiri tempat itu dan bersembunyi di balik pohon- pohon. Ternyata bahwa suara ribut-ribut itu datang dari tengah hutan dan di situ mereka melihat seorang pemuda sedang berdiri berhadapan dengan dua orang hwesio Tibet.
Pemuda ini masih muda sekali, paling banyak berusia enam belas atau tujuh belas tahun, akan tetapi tubuhnya tegap dan kelihatan amat kuat, wajahnya membayangkan kegagahan dan dipunggungnya tampak sebatang pedang panjang. Pemuda ini sedang marah-marah dan sambil membanting kaki ia berseru.
“Hwesio-hwesio bau! Sudah kukatakan namuku Kalisang dan aku bertanya baik-baik kepada kalian tentang kota Lasha. Mengapa sebaliknya kalian tidak tahu malu bertanya-tanya tentang keluargaku? Minggirlah, aku Kalisang tidak sudi bicara lagi denganmu.”
Bi Hong yang mengintai dari balik pohon menjadi heran sekali. Pemuda tegap itu berpakaian seperti orang Han, akan tetapi air muka dan bahasanya membayangkan bahwa dia adalah seorang Tibet.
Seorang di antara dua orang hwesio itu, yang tua bertubuh gemuk dan memegang tongkat bambu kuning kecil panjang tertawa. Suara ketawanya perlahan akan tetapi menggetarkan dan inilah suara ketawa yang tadi mengejutkan hati Lee Kek Tosu.
“Ha-ha-ha, pemuda bernyali harimau. Biarpun kau berlagak seperti orang Han, semua orang dapat melihat bahwa kau seorang bocah Tibet. Sebagai orang Tibet, mengapa kau begini kurang ajar berani bersikap kasar terhadap seorang pendeta Lama? Bahkan srigala-srigala hitam yang berkeliaran di sini tidak berani berlaku kurang patut terhadap pinceng. Hayo lekas katakan kau anak siapa, murid siapa dan apa keperluanmu mencari kota Lasha?”Ucapan terakhir ini mengandung ancaman dan tekanan.