Kalau tosu tua itu mengaku masih ada hubungan, maka otomatis tosu inipun musuh- musuh para hwesio Lama. Kalau bukan apa-apa, berarti tosu itu melanggar peraturan kang-ouw, mencampuri urusan orang lain.
Kakek itu tersenyum ramah, “Hwesio, wanita muda itu dan anak kecil yang digendongnya adalah saudaraku, juga kau dan kawan-kawanmu adalah saudaraku.”
Thu Bi Tan Hwesio melengak mendengar jawaban yang aneh ini. Selagi ia hendak membentak minta penjelasan, kakek itu lalu mengucapkan kata-kata bersyair,
“Di empat penjuru samudra semua adalah saudara!” Kemudian ia memandang Thu Bi Tan Hwesio dan melanjutkan kata-katanya. “Sebagai saudara aku berkewajiban untuk membantu yang lemah, mengingatkan yang sesat, wajib menolong yang lemah tertindas, memberantas yang menindas.”
Thu Bi Tan Hwesio juga seorang tokoh agama maka ia mengerti akan maksud kata- kata ini. Dia tertawa menyindir lalu berkata keras, “Tosu sombong! Sekali bertemu bagaimana kau tahu mana yang benar mana yang keliru? Apa kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Pinceng adalah Thu Bi Tan, seorang di antara Su Thai Losu di Lasha. Apa kau sengaja mengandalkan kepandaian dan berani menentang Su Thai Losu?”
Nama Su Thai Losu di Tibet dan daerah Kun-lun terkenal sekali dan selama ini tidak pernah ada orang berani menentangnya. Dengan memperkenalkan diri, Thu Bi Tan ingin menggebah pergi tosu ini supaya jangan banyak rewel lagi agar dia dan para keponakan muridnya dapat melanjutkan pengejaran terhadap Ong Hui.
Akan tetapi dengan masih tenang-tenang saja, kakek itu menjawab, “Tidak ada persoalan berani atau tidak dan siapa menentang siapa tidak, yang ada hanya menolong yang lemah dan memberantas yang menindas.”
Marahlah Thu Bi Tan. Tongkat kecil panjang ia keluarkan dan tangannya gemetar menahan nafsu. “Kakek tua, beritahukan namamu sebelum pinceng turun tangan.”
“Apa artinya nama? Diberitahukan juga kau tidak akan mengenalku. Aku tidak terkenal seperti Su Thai Losu. Thu Bi Tan, aku tidak ingin berkelahi. Lebih baik kau dan lima orang kawanmu dengan damai kembali ke Lasha, biarkan perempuan lemah dan anaknya itu pergi dengan aman.”
“Tosu siluman, enak saja kau bicara. Keluarkan senjatamu!”
Kini sikap kakek tua itu keren sekali dan ia pandang Thu Bi Tan Hwesio seperti seorang guru memandang muridnya. “Senjata hanyalah alat penyambung tangan dan dipergunakan untuk melindungi diri, bukan untuk menindas sesamanya. Kalau ada bahaya mengancam diri, barulah senjata dikeluarkan.”
Ucapan ini biarpun dapat diartikan menegur Thu Bi Tan Hwesio yang menggunakan kepandaian dan senjata untuk menindas orang lain akan tetapi juga bersikap mengejek, menyatakan bahwa menghadapi Thu Bi Tan tanpa senjatapun kakek itu merasa tidak berbahaya.
“Kakek tua bangka, siapapun adanya engkau, hari ini pasti tubuhmu hancur seperti batu itu!” bentak Thu Bi Tan yang menjadi makin marah karena sikap kakek itu yang ia anggap amat sombong dan tidak memandang sebelah matapun kepadanya. Ia dapat menduga, bahwa kalau seorang bisa bersikap demikian tenang dan sombong tak kenal takut, sudah tentu memiliki kepandaian tinggi, maka paling perlu menghantamnya sehingga tewas agar tidak rewel-rewel lagi.
Dengan gerakan perlahan ia menghantam. Tongkatnya kelihatannya bergerak lambat ke arah dada kakek itu, akan tetapi sebetulnya apa yang kelihatan ini adalah sebaliknya dari pada kenyataannya. Seorang ahli lweekeh seperti dia ini, memang di dalam serangannya terkandung unsur “kosong berisi” atau “lemah kuat”, kelihatan lemah dan perlahan akan tetapi sebetulnya luar biasa kuatnya. Dengan kekuatannya seperti inilah maka tongkat kayu bisa menghancurkan batu, dan pukulan yang kelihatan perlahan dapat merusak bagian dalam tanpa merusak bagian luar.
Kakek itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, hanya berdiri diam acuh tak acuh, seakan-akan tidak tahu bahwa dirinya sedang diserang, bahkan diancam serangan maut yang sekali kena akan mengakibatkan kematiannya. Thu Bi Tan bukan seorang biasa, dia tokoh besar dan tentu saja dia tidak sudi membunuh seorang lemah yang tidak melawan sama sekali.
Melihat kakek ini tidak mengelak dan tidak menangkis, hatinya terguncang dan otomatis ia menarik kembali tenaganya sehingga tongkat itu kini bergerak cepat sekali akan tetapi tidak mengandung tenaga lweekang sehingga apabila mengenai dada kakek itu hanya akan membuat kakek itu terguling roboh tanpa menderita luka hebat.
“Werrrr. !” Tongkat menyambar cepat sampai tidak kelihatan bayangannya. Kakek
tetap tidak bergerak tapi alangkah herannya hati Thu Bi Tan ketika tongkatnya itu
mengenai angin, sama sekali tidak menyentuh tubuh orang tua itu.
Padahal menurut penglihatannya, kakek itu sama sekali tidak mengelak dan sekarangpun masih berdiri di tempat yang tadi tanpa mengubah kedudukan kaki, masih tersenyum ramah memandangnya.
“Setankah dia. ??” ia berpikir dengan penasaran lalu menghantam lagi, kali ini
lebih cepat dan lebih keras daripada tadi, masih belum mengisi gerakannya dengan tenaga lweekang. Sekali lagi luput serangan itu tanpa lawannya berpindah tempat.
Karena Thu Bi Tan sekarang menyerang sambil memasang mata ia melihat betapa serangannya tadi digagalkan oleh gerakan kakek itu dengan amat cepat dan halus, yaitu menyedot bagian tubuh yang yang terserang sehingga legok dan tongkat itu tidak menyentuh kulit. Ia kaget sekali.
Sedemikian tingginya lweekang kakek ini sehingga semua bagian tubuhnya seakan- akan bermata? Ia menjadi penasaran karena terang-terangan kakek itu tidak memandang sebelah mata kepadanya sehingga menghadapi dua serangannya seperti seorang guru menghadapi serangan murid.
“Bagus! Coba tahan serangan ini!” bentaknya dan kini tongkatnya diputar tiga kali di atas kepala, lalu langsung dipakai membabat tubuh lawannya bagian tengah. Tak mungkin dapat mengelak tanpa memindahkan kaki, pikirnya. Akan tetapi sekali lagi pukulannya mengenai angin dan tiba-tiba tubuh kakek itu lenyap dari depan matanya. Setelah tongkatnya menyambar lewat, tubuh kakek itu kelihatan lagi, masih berdiri tersenyum seperti tadi.
Thu Bi Tan kaget setengah mati. Ia dapat menduga bahwa tanpa mengubah kedudukan kaki, kakek tua ini telah membuang diri ke belakang tanpa menggeser kaki sehingga tubuhnya telentang di atas tanah, akan tetapi hanya sebentar saja karena begitu tongkat lewat, ia sudah menarik kembali tubuhnya dan berdiri tegak. Inilah perbuatan yang benar-benar hebat dan sukar dilakukan biarpun oleh seorang ahli yang amat ulung.
“Mengalah hanya bertingkat tiga,” kata kakek tua itu masih tersenyum, “pertama berdasarkan kesabaran, ke dua berdasarkan anggapan bahwa orang telah mendesak karena terburu nafsu, dan ke tiga berdasarkan anggapan bahwa orang melakukan karena kebodohannya.
Kalau sudah mencapai tingkat ke empat, berarti orang itu memang berwatak jahat dan suka mencelakakan sesamanya. Hwesio, sekali lagi kuperingatkan kau dan kawan- kawanmu, pergilah dengan damai.”
Pada saat itu bocah berusia tujuh tahun tadi masih digempur hebat oleh Ga Lung Hwesio. Hwesio ini sudah marah sekali, mencak-mencak dan memaki-maki karena sampai puluhan jurus belum juga ia berhasil merobohkan bocah itu, belum berhasil tongkatnya mengenai tubuh si bocah. Benar-benar hal ini merupakan hal yang amat menakjubkan sampai empat orang sutenya berdiri melongo saking herannya.
Bocah itu lebih gesit daripada seekor monyet dan biarpun tubuhnya kadang-kadang terbawa oleh hawa pukulan Ga Lung Hwesio yang mengandung tenaga lweekang, namun tetap saja selalu dapat menghindarkan diri. Yang aneh adalah gerakan kaki bocah itu yang diatur sedemikian sempurna merupakan langkah-langkah kedudukan bintang di langit.
“Eh, eh, bukan aku yang pintar melainkan kau yang goblok tidak dapat mengenaiku. Kenapa marah?” balas bocah itu tertawa-tawa ketika Ga Lung Hwesio mulai memaki- maki.
Ga Lung Hwesio segera sadar. Dia seorang ahli silat tinggi dan sekarang tahulah ia bahwa kegagalannya itu sebagian besar karena kesalahannya sendiri. Dia terlalu bernafsu dan menganggap lawannya hanya seorang bocah.
Padahal sekarang kenyataannya bahwa biarpun masih cilik, bocah ini sudah mengetahui dasar-dasar ilmu silat tinggi dan memiliki kedudukan kaki yang amat teratur. Biarpun menghadapi bocah, ia harus menggunakan taktik pertempuran, bukan membabi buta seperti tadi. Ia mulai mengurangi serangannya dan maju dengan tongkat dan tangan kiri, menyerang dengan mantap dan kuat.
“Suhu, susah teecu kalau begini ” bocah itu melompat ke kiri menghindarkan
sambaran tongkat dan membuang diri ke belakang ketika pundaknya hampir kena dicengkeram oleh Ga Lung Hwesio.
Pada saat itu kakek tua tadi menoleh dan dengan sabar kakek itu menjemput sebatang ranting yang menggeletak di dekat kakinya. Dilontarkan ranting itu ke arah bocah tadi sambil berseru, “Sun-ji, sambutlah!”
Bocah itu biarpun sudah menjauhkan diri ke belakang, begitu melihat sambaran ranting ke arahnya, cepat mengulur tangan menangkap ujung ranting. Hebat tenaga sambaran ranting ini karena begitu terpegang, bocah itu terbang terbawa oleh ranting melayang-layang lalu membelok dan kembali kepada si kakek. “Duduk di punggungku!” kata kakek itu dan bocah tadi dengan gembira lalu menjambret pundak si tua dan duduk nongkrong di punggung, kepalanya dengan wajah yang berseri mengintai dari balik pundak ke depan. Benar-benar dia seperti seekor monyet kecil yang nakal. Hidungnya dicungar-cungirkan kepada Thu Bi Tan dengan lagak mengejek sekali.
“Hwesio tua, apa kau sudah makan?” tanyanya tiba-tiba.
Thu Bi Tan yang sedang terheran-heran dan kagum menyaksikan kepandaian kakek yang luar biasa ketika “mengambil” muridnya tadi, mendengar pertanyaan tiba-tiba ini, tanpa disadarinya lagi menjawab.