Halo!

Nona Berbunga Hijau Chapter 29

Memuat...

“Keledai-keledai gundul keji! Majulah, hari ini nyonya besarmu akan mengadu nyawa dengan kalian!” bentaknya nyaring.

Ga Lung Hwesio tertawa bergelak. Seorang sutenya lalu menerjang maju sambil memutar toyanya. Toya baja itu berat dan diayun dengan tenaga besar. Dalam sekali sambar saja pedang Ong Hui tentu akan dipukul patah atau jatuh. Karena tidak dapat mengelak, nyonya muda itu terpaksa mengerahkan tenaga dan mengangkat pedang menangkis.

“Traaaaanngg. !!”

Aneh bin ajaib! Bukan pedang di tangan Ong Hui yang patah atau terpental, sebaliknya nyonya muda ini tidak merasakan kehebatan tenaga lawan dan malah si hwesio yang memekik kaget, toyanya terlepas dari tangannya dan telapak tangannya berdarah karena kulitnya terbeset.

Semua hwesio melengak terheran-heran. Hwesio itupun penasaran dan dengan tangan kosong ia menubruk maju, mengerahkan tenaga dan menggunakan ilmu Kim-na-jiu untuk merampas pedang orang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan mengancam ke arah bocah digendongan Ong Hui.

“Celaka!” jerit nyonya itu yang tidak kuasa melindungi puterinya. Akan tetapi kembali terjadi keanehan yang langka. Sebelum kedua tangan hwesio itu mengenai sasaran, tiba-tiba kedua lututnya lemas dan ia jatuh berlutut di depan Ong Hui.

Ia hendak menggerakkan tubuh atasnya, akan tetapi kembali kedua pundaknya terasa lemas seperti tertotok dan mau tak mau ia membungkukkan tubuh, benar-benar kini berlutut dan menyembah.

Ga Lung Hwesio melangkah maju dan menepuk punggung sutenya itu sambil mengurut tulang belakang. Baru sutenya itu dapat bangun berdiri dan melompat ke belakang dengan mata terbelalak heran dan takut. Sementara itu, hwesio kedua melompat maju lagi, diikuti dua orang hwesio lain dan segera Ong Hui diserang oleh tiga orang hwesio kosen itu dari tiga jurusan.

Ong Hui sendiri masih terheran-heran melihat hwesio yang menyerangnya tadi tiba- tiba roboh. Ia menduga tentu ada orang sakti membantunya, akan tetapi dari mana, siapa dan bagaimana? Ia tidak ada waktu lagi untuk menyelidiki melihat tiga orang hwesio menyerangnya dengan hebat.

Ia cepat memutar pedangnya melindungi diri dan anaknya. Kembali terdengar suara nyaring tiga kali ketika pedangnya menangkis, terlempar tiga batang toya dan seperti juga tadi, tiga batang toya itu terlempar dan di lain saat angin besar dari arah belakang Ong Hui yang membuat tiga orang hwesio itu terjengkang roboh dan babak bundas(luka-luka). Empat orang sute Ga Lung Hwesio itu telah mendapat hajaran tidak berani maju lagi.

Ga Lung Hwesio berseru keras. “Perempuan rendah! Ilmu siluman apa yang kau keluarkan?” Ia menyangka bahwa robohnya empat orang sutenya itu adalah karena Ong Hui mempergunakan ilmu siluman, karena kalau menggunakan ilmu silat saja tidak mungkin wanita muda ini dapat merobohkan empat orang sutenya. Ia lalu membaca mantera berkemak-kemik lalu membentak dengan disertai tenaga dalamnya yang amat hebat. “Berlututlah engkau!”

Ilmu yang dikeluarkan oleh Ga Lung Hwesio ini adalah ilmu “mentaklukkan semangat”. Lweekang yang disertai ilmu hitam ini memang luar biasa dan semacam tenaga luar biasa memaksanya dari dalam untuk segera menjatuhkan diri berlutut di depan Ga Lung Hwesio yang bertubuh pendek gemuk dan mengangkat tongkat bambu kuning itu ke atas dengan sikap agung.

Tiba-tiba nyonya muda merasa ada hawa hangat meresap ditubuhnya dan seketika itu lenyaplah semua perasaan yang hendak memaksa ia berlutut. Sebaliknya Ga Lung Hwesio menggigil kedua kakinya. Ia mengerahkan tenaga dan membentak lebih keras. “Berlutut!”

Celaka baginya. Makin kerasnya ia mengerahkan tenaga menyuruh orang berlutut, makin keras tak tertahan lagi ia menguasai kedua kakinya dan mendadak ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ong Hui sambil mengangguk-anggukan kepalanya yang gundul.

Ia merasa terkejut dan heran sekali. Mengapa ilmunya itu malah menguasai dirinya sendiri? Dia mencoba untuk menahan diri, namun tidak berhasil. Terdengar suara ketawa perlahan dibelakangnya dan tongkat di tangan Thu Bi Tan mencongkel pantatnya membuat tubuhnya melayang ke atas dan dapat berdiri lagi.

Marahlah Ga Lung Hwesio. “Iblis betina, mampuslah!” Tongkat bambu kuning di tangannya menyambar. Ong Hui melompat mundur karena merasa betapa hebatnya serangan ini.

Tiba-tiba Ga Lung Hwesio menghentikan serangannya dan terhuyung mundur karena semacam hawa pukulan datang dari belakang nyonya muda itu menyambar dadanya. Ia sudah mengerahkan lweekang dengan muka pucat saking kagetnya.

Sementara itu sabil tertawa bergelak, Thu Bi Tan melompat jauh, tahu-tahu tiba di dekat sebuah batu besar yang berada di belakang Ong Hui. Tongkatnya diayun menghantam batu sambil berseru. “Siluman, keluarlah kau!”

Terdengar suara keras dan batu itu pecah berhamburan. Demikian hebatnya pukulan Thu Bi Tan yang menandakan bahwa ilmu kepandaian dan tenaganya bukan main hebatnya. Selenyapnya debu batu yang terpukul hancur, muncullah dari balik batu itu seorang kakek tinggi kurus yang rambut, jenggotnya panjang putih, sikapnya agung lagi tenang.

Di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Bocah ini bermuka tampan dan bermata tajam. Melihat Ong Hui didesak Ga Lung Hwesio, bocah itu berlari-larian dengan beberapa loncatan saja ia sudah tiba di dekat Ong Hui.

“Bibi, larilah lekas dengan keledai, jangan layani orang-orang jahat ini!”

Sambil berkata demikian, ia menghadang di depan Ong Hui untuk mencegah Ga Lung Hwesio mendesak terus. Ong Hui ragu-ragu akan tetapi mengingat akan keselamatan anaknya, lalu melompat ke atas keledainya dan membalapkan keledai itu sambil berseru. “Terima kasih atas pertolongan Locianpwe!” Melihat Ong Hui hendak melarikan diri, tanpa memperdulikan bocah yang menghadang di depannya, Ga Lung Hwesio membentak sambil mengejar. “Perempuan hina, kau hendak lari ke mana?”

Akan tetapi bocah itu dengan gerakan yang amat ringan sudah melompat di depannya, mementangkan kedua tangan dan berseru.

“Orang jahat, mau apa kau mengejar?”

Baru sekarang Ga Lung Hwesio memperhatikan bocah ini. Usianya paling banyak tujuh tahun, pakaiannya sederhana dari kain kasar. Tidak ada apa-apa yang istimewa pada bocah ini kecuali sinar matanya yang tajam dan sepasang alisnya yang hitam panjang.

“Setan cilik, minggirlah!” Tongkatnya menyambar untuk menghantam bocah itu ke samping. Akan tetapi dengan amat mudah bocah itu mengelak dan tongkatnya mengenai tempat kosong.

Ga Lung Hwesio terkejut dan marah. Kalau saja ia tidak ingin mengejar Ong Hui, tentu ia mengirim serangan lagi. Melihat bocah itu sudah mengelak ke samping, ia lalu melompat dan mengejar terus.

Alangkah heran, kaget dan marahnya ketika tiba-tiba ia melihat bocah itu sudah berada di depannya lagi menghadang dan mencegah ia mengejar terus.

“Anak setan, apa kau ingin mampus?” bentaknya.

“Hidup bukan kau yang menghidupkan, matipun mana bisa kau yang mematikan?” jawab bocah itu sambil tersenyum simpul. Ga Lung Hwesio tertegun sejenak. Ucapan seperti itu benar-benar tidak pantas keluar dari mulut seorang bocah berumur tujuh tahun.

Akan tetapi kemarahannya masih kalah oleh keinginannya mengejar Ong Hui, maka tanpa memperdulikan bocah itu, ia menggerakkan kaki melompati bocah di depannya. Tentu saja bagi orang sepandai dia, melompati atas kepala bocah itu adalah mudah sekali.

Akan tetapi kali ini ia kecele. Bocah itupun melompat ke atas dan ketika kedua tangannya di ayun, dua batu menyambar ke arah jalan darah di kedua pundak hwesio itu.

Ga Lung Hwesio kaget dan marah sekali, akan tetapi mana ia memandang mata seorang bocah? Tangan kirinya digerakkan menyampok dua butir batu dan tubuhnya terus bergerak maju dengan tangan kanan mencengkeram dada bocah itu untuk menangkap dan melemparkan bocah itu ke samping agar ia dapat terus mengejar Ong Hui.

“Hayaaaa, hwesio palsu lihai sekali!” Dengan lucu bocah itu membanting diri ke belakang, berpoksai tiga kali dan turun ke atas tanah, masih menghadapi hwesio itu dan menghadang. Ga Lung Hwesio adalah seorang hwesio yang kedudukannya tinggi sekali di Tibet. Di ibukota Lasha, jangankan penduduk biasa, bahkan tuan tanah dan pembesar menaruh hormat kepadanya. Sekarang ia digoda dan dipermainkan seorang bocah tentu saja amarahnya naik ke ubun-ubunnya dan ia menggertak giginya.

“Kau benar-benar bosan hidup!” bentaknya dan tiba-tiba ia harus mengelak karena ada debu berhamburan di depan mukanya, debu dari tanah dan pasir yang tengah disambitkan oleh bocah itu kepadanya. Celakanya, setelah mengelak lagi-lagi ada hujan batu kecil dan pasir dicampur debu mengebul menyerang muka. Untuk sambitan ini tentu saja Ga Lung Hwesio tidak takut, akan tetapi kalau sampai mukanya terkena hujan debu, tentu mata hidung, mulut, dan telinganya terancam bahaya kemasukkan debu kotor.

Saking marahnya, Ga Lung Hwesio lupa akan kedudukannya sebagai seorang tokoh besar dan ia mulai mengamuk, menyerang bocah itu dengan tongkatnya bukan hanya serangan gertakan lagi, melainkan serangan maut dengan maksud membunuh. Akan tetapi ternyata bocah itu lincah sekali gerakan-gerakannya.

Bagaikan seekor burung walet saja layaknya ia “terbang” di antara sambaran tongkat sambil mulutnya tiada hentinya berseru. “Hwesio palsu! Hwesio jahat!” dan sebagainya, membuat Ga Lung Hwesio menjadi makin marah dan lupalah ia akan Ong Hui yang sekarang sudah kabur jauh sampai tidak kelihatan lagi.

Sementara itu, Thu Bi Tan Hwesio yang tadi sudah dapat menduga bahwa Ong Hui dibantu orang pandai yang bersembunyi di belakang batu, telah memukul hancur batu besar itu sehingga kelihatan bocah itu bersama seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang dan putih. Sudah banyak Thu Bi Tan mengenal orang-orang kang-ouw di daerah Kun-lun, akan tetapi kakek tua ini belum pernah dilihatnya. Namun sebagai seorang tokoh utama di Tibet, ia tidak mau berlaku sembrono. Ia mengawasi kakek itu lalu berkata.

“To-yu siapakah dan pernah apa dengan perempuan Kun-lun-pai yang kami kejar?” Pertanyaan yang dikeluarkan dengan bahasa Han yang kaku ini adalah pertanyaan yang biasa dipergunakan orang berkedudukan tinggi, singkat akan tetapi sudah mencakup semua persoalan antara mereka.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment