Lee Kek Tosu menarik napas panjang lalu berdiri dari tempat duduknya. “Suhu yang memerintah siapapun tak boleh menolak. Siauwmoi, kepandaianmu tinggi, darahmu panas, pinto seorang tua lemah mana bisa menangkan kau?”
Bi Hong tertawa dan dengan sikap yang manja ia menarik tangan tosu itu ke tengah ruangan, diikuti senyum para tosu lain. Setelah sampai di tengah ruangan itu, Bi Hong berkata. “Suheng yang baik, harap kau menaruh kasihan kepadaku dan jangan menurunkan tangan besi.”
Gadis itu pintar sekali. Ia maklum bahwa di antara semua tosu yang menjadi suhengnya, twa-suheng ini adalah orang yang paling pandai, maka ia sengaja hendak menjajal kepandaiannya sendiri dengan tangan kosong dan kemudian baru menggunakan pedang. Sebelum tosu itu menjawab, ia sudah menerjang maju sambil berkata, “Twa-suheng, awas, siauwmoi mulai menyerang!”
Bi Hong yang maklum akan kelihaian twa-suhengnya, tidak mau membuang waktu dengan jurus-jurus biasa, melainkan segera menyerang dengan jurus-jurus yang paling lihai dari Kun-lun Ciang-hoat. Mula-mula ia membuka serangannya dengan gerak tipu Kong-ciak-khai-peng (Merak Membuka Sayap) lalu diteruskan dengan Pai-bun- twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung). Gerakannya cepat dan bertenaga sekali ketika tangan kanannya mendorong ke arah dada twa-suhengnya.
“Bagus!” Lee Kek Tosu memuji ketika merasa betapa sambaran angin dorongan ini amat kuat tanda lweekang dari adik seperguruannya sudah mencapai tingkat tinggi. Dengan sigapnya ia miringkan tubuh, tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan serangan To-tui-kim-ciang (Merobohkan Lonceng Emas), disabetkan dengan jari tangan miring ke arah leher gadis itu.
Bi Hong cepat mengelak dan mengebutkan tangan kirinya. Ia merasai betapa pukulan tangan twa-suhengnya amat berat membuat tangannya tergetar. Tahulah ia bahwa dalam hal tenaga lweekang, ia masih kalah jauh. Maka ia lalu menggunakan kelincahan tubuhnya menerjang dengan mempercepat gerakannya.
Namun dengan tenang sekali tosu itu menghadapinya dan demikianlah, dalam serang menyerang selama belasan jurus kelihatan perbedaan antara mereka. Si tosu bersikap tenang, gerak geriknya lambat tapi mantap dan bertenaga penuh. Sebaliknya Bi Hong bergerak cepat sekali sehingga ia dapat mengimbangi twa-suhengnya dan menutup kekurangannya dalam kekalahan tenaga lweekang.
Makin lama gerakan Bi Hong makin cepat, pukulan-pukulannya makin berbahaya dan setelah berlangsung empat puluh jurus lebih, gadis ini sudah bukan main-main atau berlatih lagi melainkan menyerang dengan sungguh-sungguh. Di lain pihak, tosu itu masih tenang saja dan selalu menjaga agar jangan sampai ia kesalahan tangan melukai sumoinya.
“Cukup, ganti dengan pedang,” terdengar To Gi Couwsu berkata. Keduanya melompat mundur, wajah Bi Hong merah sekali namun suhengnya masih biasa saja. Gadis ini diam-diam merasa penasaran bagaimana setelah menyerang sehebat- hebatnya ia masih belum dapat mendesak suhengnya yang berlaku lambat-lambatan itu. Harus ia akui bahwa dalam ilmu silat tangan kosong suhengnya itu terlalu tangguh baginya. Ia boleh dibilang sudah jauh di bawah angin dan kini ia hendak menebus kekalahannya dengan pedang.
“Suhu sudah memerintahkan, mari keluarkan pedangmu, suheng,” katanya sambil menghunus Kim-hui-kiam.
Si tosu tua tertawa. “Sudah kukatakan tadi, sumoi. Kau lihai dan darahmu panas, mana pinto bisa mengatasimu?” Ucapan ini sabar sekali kedengarannya dan dengan gerakan lambat tosu ini mencabut sebatang pedang dari balik bajunya.
Pedang ini biasa saja kelihatannya, malah tidak bersinar dan kelihatan kotor. Logam yang dijadikan pedang ini kelihatan seperti batu saja. Namun Bi Hong sudah tahu bahwa pedang twa-suhengnya itu adalah pedang pusaka yang tidak kalah ampuhnya dari Kim-hui-kiam dan disebut Toan-kang-kiam (Pedang pemotong baja).
“Twa-suheng, lihat pedang!” bentak Bi Hong dan pedangnya meluncur cepat ke arah tenggorokan orang. Tosu itu menangkis, terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berhamburan. Di lain saat keduanya sudah sudah bertempur hebat. Seperti juga tadi, gerakan-gerakan Bi Hong lincah dan teguh penjagaannya.
Biarpun demikian, diam-diam Lee Kek Tosu terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang sumoinya ini benar-benar hebat dan sudah mewarisi dari ilmu pedang Kun-lun-pai. Harus ia akui bahwa biarpun dengan lweekangnya ia dapat menahan, namun untuk menjatuhkan sumoinya ini bukanlah soal mudah lagi baginya.
Setelah lewat seratus jurus, ia melompat mundur, menghela napas panjang dan berkata, “Hebat. hebat sekali kiam-hoatmu, sumoi. Pinto merasa girang sekali dan
bangga.”
Juga semua tosu memuji gadis ini yang cepat menjura sambil berkata. Twa-suheng terlalu mengalah. Semua yang siauwmoi dapatkan ini semata-semata berkat kemurahan hati suhu yang mulia dan para suheng yang berbudi.”
To Gi Couwsu menggerak-gerakan tongkatnya di atas lantai. Bi Hong, twa-suhengmu berkali-kali mengingatkan kepadamu, apakah kau masih tidak sadar?”
Bi Hong terkejut, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya. “Suhu, teecu mohon penjelasan.”
“Eh, bocah bodoh. Suhengmu berkali-kali mengatakan darahmu panas, itulah peringatan yang harus kau ingat betul. Kalau kau tidak terlalu panas darah, kalau kau ingat akan pelajaran lweekang dan menekan perasaan, dapat berlaku tenang seperti suhengmu, kau malah lebih kuat dari pada twa-suhengmu. Menghadapi lawan ringan kau dapat berlaku sesukamu menurut perasaan, akan tetapi sekali berhadapan dengan lawan berat, darah panasmu akan merugikan gerakan-gerakanmu. Kenapa kau begitu bernafsu dalam gerakan-gerakanmu?”
Tiba-tiba Bi Hong menangis. “Maaf, suhu. Teecu terlalu bernafsu karena selalu teringat akan musuh-musuh besar yang belum terbalas. Teecu ingin segera turun gunung untuk membalas sakit hati, ingin membasmi orang-orang yang telah membunuh Kong-kong dan membikin ibu mati karena duka.”
To Gi Couwsu menarik napas panjang, terbayanglah semua peristiwa enam belas tahun yang lalu. Peristiwa yang membuat tosu tua ini terpaksa menerima lagi seorang murid, padahal tadinya sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri karena terlalu tua.
Gadis itu Wang Bi Hong, bukan lain adalah puteri dari Ong Hui. Seperti telah diceritakan di bagian depan setelah bersama suaminya menyerbu ke Loka dan bertemu dengan Ci Ying yang membencinya.
Ong Hui mengalah dan pergi meninggalkan suaminya, kembali ke rumah ayahnya di Kun-lun-san. Sambil menangis sedih, ia menuturkan semua pengalamannya kepada ayahnya dan supeknya, Cin Kek Tosu. Ayahnya menghela napas panjang.
“Hui-ji, semua ini kesalahanku. Sudah tahu Wang Sin mempunyai seorang tunangan, aku setengah memaksanya untuk menjadi mantuku. Biarlah, aku akan mencari dia dan tentu dia bisa menerima usulku untuk disamping tunangannya itu, mempunyai isteri kedua.”
“Tidak usah, ayah. Enci Ci Ying tidak rela melihat dia mempunyai isteri lain,” kata Ong Hui sambil menyusut air matanya.
Cin Kek Tosu membanting kakinya, “Kurang ajar anak itu! Mana bisa dia menyia- nyiakan isterinya yang sudah hampir mempunyai anak? Pinto yang akan menghajarnya, kalau kelak dia tidak mau kembali kepadamu.”
Demikianlah, Ong Hui melewatkan hari-hari yang sunyi di atas gunung dengan hati selalu mengandung kedukaan hebat. Beberapa bulan kemudian ia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Wang Bi Hong. Semenjak melahirkan anak, tubuhnya menjadi lemah dan sering kali sakit. Ini semua disebabkan oleh penderitaan batinnya yang amat berat.
Beberapa bulan kemudian, terjadilah serbuan hebat ke gunung itu. Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya, dikawani oleh Thu Bi Tan Hwesio sendiri yang berilmu tinggi menyerbu ke situ.
Hwesio-hwesio Tibet ini datang untuk membalas dendam atas kematian Thouw Tan Hwesio dan karena mereka tahu bahwa Wang Sin adalah murid Cin Kek Tosu.
Mereka lalu mencari ke gunung itu dan terjadilah pertempuran hebat antara hwesio- hwesio Tibet itu melawan Cin Kek Tosu yang dibantu oleh sutenya, Ong Bu Khai, ayahnya Ong Hui. Ong Bu Khai dan Cin Kek Tosu adalah jago-jago Kun-lun-san yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, Cin Kek Tosu sudah amat tua dan pula enam orang lawannya adalah hwesio-hwesio Tibet yang berilmu tinggi, maka keduanya tidak dapat menandingi mereka. Biarpun melakukan perlawanan mati-matian dan dengan gagah, akhirnya dua orang jago tua ini tewas di tangan Thu Bi Tan dan keponakan- keponakan muridnya.
Untung bagi Ong Hui yang sakit-sakitan ia terlalu lemah untuk melakukan perlawanan. Andaikata dia tidak sedang sakit, tentu nyonya muda ini tidak akan melihat saja ayah dan supeknya menghadapi para penyerbu itu dan tentu iapun akan mengalami nasib serupa, tewas di tangan para hwesio Tibet. Karena tubuhnya lemah, ia tidak membantah ketika ayahnya menyuruh dia melarikan diri bersama puterinya yang baru berusia beberapa bulan itu.
Sambil menangis sedih, nyonya muda ini membawa anaknya melarikan diri naik seekor keledai. Tujuannya adalah puncak Kun-lun di mana berdiri pusat Kun-lun-pai, tempat tinggal susiok-couwnya, yaitu To Gi Couwsu yang masih terhitung supek dari ayahnya.
Baru tiga empat jam ia melarikan keledainya, ia mendengar suara teriakan-teriakan dari belakang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat enam orang hwesio itu berlari-lari cepat sekali melakukan pengejaran.
“Bunuh dia! Dialah isteri Wang Sin si pemberontak. Bunuh saja anaknya!” demikian teriakan Ga Lung Hwesio dan jarak antara dia dan para pengejarnya makin dekat.
Ong Hui adalah puteri seorang pendekar. Dia tidak takut mati, juga tidak jerih menghadapi lawan betapa kuatpun. Apabila lawan yang sudah membunuh ayahnya. Hanya ia mengkhawatirkan nasib puteranya yang baru berusia empat bulan itu.
Terpaksa Ong Hui mencambuk keledainya dan membalapkan binatang itu.
Usahanya sia-sia belaka. Para pengejarnya sudah datang dekat sekali. Empat buah kaki keledai itu tidak dapat berlari lebih cepat dari pada enam orang hwesio yang berilmu tinggi.
“Perempuan busuk, kau hendak lari ke mana?” bentak Ga Lung Hwesio.
Tahu bahwa ia tidak akan dapat lolos, timbullah kegagahan Ong Hui. Nyonya muda ini melompat turun, menghunus pedangnya. Dengan anak dipondongan tangan kiri dan pedangnya di tangan kanan, ia menanti dengan sikap gagah. Mukanya pucat akan tetapi sepasang matanya memancarkan sinar berapi.