“Celaka. !” seru Ga Lung Hwesio sambil melepaskan tongkatnya dan menjatuhkan
diri kebelakang. “Melihat muka Su Thai Losu, aku mau mengampuni jiwa anjingmu!” terdengar ketua Cheng-hoa-pai itu berkata dengan suara dingin, gerakan tasbehnya diturunkan dan sebagai pengganti kepala hanya pundak Ga Lung Hwesio saja yang “dimakan” tasbeh, “Krakkk!” patahlah pundak kiri hwesio itu yang menjerit kesakitan terus roboh tak berdaya lagi.
Cheng Hoa Suthai menghampiri muridnya dan menotok lutut untuk membebaskan totokan tongkat Ga Lung Hwesio tadi. Ci Ying segera melompat dan berlutut di depan gurunya, girang bukan main.
“Siapa pemuda yang membantumu itu?” tanya Cheng Hoa Suthai, menunjuk ke arah Wang Sin.
Dengan muka merah akan tetapi dengan suara nyaring, Ci Ying mengaku terus terang. “Suthai, dia itulah Wang Sin tunanganku yang pernah teecu tuturkan kepada suthai dulu.”
Cheng Hoa Suthai mengangguk-angguk. “Kita pergi dari sini. Ajak tunanganmu itu bersama.”
“Tetapi Suthai, teecu belum berhasil membunuh Yang Nam, tuan tanah muda yang paling kurang ajar di dunia ini. ” bantah Ci Ying.
“Jangan membantah! Dengan kepandaianmu menghadapi ke lima ekor anjing ini saja tidak bisa menang apalagi menghadapi Su Thai Losu? Jangan mimpi. Pulang!”
Ci Ying tidak berani membantah. Kalau gurunya saja gentar menghadapi pendeta- pendeta kepala di Lasha, dia sendiri bisa berbuat apakah? Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menghampiri Wang Sin dan memondong tubuh tunangannya itu, lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Di lain saat gurunya telah berkelebatan di sampingnya dan nenek ini agaknya tidak tega melihat muridnya harus memondong laki-laki yang tentu berat, maka diulurnya tangannya dan tiba-tiba Ci Ying merasa tubuhnya ringan sekali dan kakinya bergerak maju seperti terbang.
Yang paling tidak enak hatinya adalah Wang Sin. Karena sebelah kakinya pincang dan tulangnya patah, ia terpaksa harus dipondong oleh Ci Ying. Ia mengeluh perlahan dan hal ini dikira oleh Ci Ying karena sakit di kakinya. Murid ini lalu minta gurunya berhenti untuk memeriksa luka di kaki Wang Sin.
“Hemmm, tulangnya patah,” kata Cheng Hoa Suthai. Tanpa banyak cakap lagi nenek ini lalu menyambung tulang patah itu dan memberi obat, dan lenyaplah rasa nyeri, diam-diam Wang Sin makin berterima kasih kepada Ci Ying dan gurunya.
Tanpa bantuan Ci Ying di Loka saja, dia dan isterinya sudah gagal dan besar kemungkinan akan berkorban nyawa dan tadi untuk kedua kalinya, tanpa ada Cheng Hoa Suthai kiranya tak dapat disangsikan lagi ia akan tewas di tangan hwesio Tibet. Makin tidak enak hatinya karena tahu bahwa makin sukarlah ia melepaskan diri dari ikatan Ci Ying. ******
Enam belas tahun kemudian .............................
Pegunungan Kun-lun merupakan barisan gunung yang panjang dan luas sekali. Di puncak ini tersebar tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang banyak, akan tetapi yang merupakan pusat dari pada partai persilatan Kun-lun-pai berada di puncak paling timur yang menjadi sumber atau mata air dari sungai Cin-sa dan puncak ini yang menjadi tapal batas antara pegunungan Kun-lun dan Bayangkara.
Di pusat ruangan ini pula duduk guru besar dari partai Kun-lun-pai bernama To Gi Couwsu yang sudah sangat tua. Sudah belasan tahun tosu tua ini tidak menguruskan lagi keramaian dunia dan hanya bertapa di puncak gunung. Murid-murid dan cucu- cucu muridnya cukup banyak untuk mengurus semua kewajiban dan menjaga nama baik Kun-lun-pai sehingga partai persilatan ini mempunyai nama besar yang amat harum di dunia kang-ouw, ditakuti orang jahat disegani orang gagah.
Tidak seperti biasanya pada hari itu di dalam markas besar Kun-lun-pai, di ruangan lian-bu-thia (ruang belajar silat) nampak tosu-tosu kepala berkumpul, duduk di kursi- kursi yang diatur memutari ruangan itu. Para anak murid lain berdiri di belakang, menonton sambil memanjangkan leher agar dapat melihat lebih jelas ke tengah ruangan.
Di kursi kepala duduk To Gi Couwsu yang sudah amat tua, duduknya tegak dan di tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang tak pernah berpisah dari badannya. Tosu ini sudah begitu tua sehingga untuk berjalan saja ia harus dibantu oleh tongkatnya.
Di tengah ruangan itu terdengar angin mendesir-desir dan berkelebatannya bayangan putih yang meloncat ke sana ke mari. Itulah hawa pukulan yang dahsyat, menandakan bahwa di ruangan itu ada seorang yang sedang bermain silat dengan hebatnya.
Ketika bayangan itu berhenti bersilat, baru dapat dilihat bahwa dia adalah seorang gadis muda berusia kurang lebih enam belas tahun, berpakaian serba putih, berwajah cantik berkulit putih. Pakaian gadis ini sederhana sekali, akan tetapi hal ini malah menonjolkan kecantikannya yang wajar.
Setelah ia berhenti bersilat, para tosu kepala ruangan itu mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara pujian.
“Sumoi benar-benar telah mencapai kemajuan yang pesat,” kata mereka. Akan tetapi To Gi Couwsu menggeleng-gelengkan kepalanya nampak tidak puas.
“Bi Hong, coba kau mainkan ilmu pedangmu biar dinilai oleh para suhengmu,” kata To Gi Couwsu, suaranya perlahan dan lambat seperti orang lelah.
Bi Hong, gadis cantik itu, memberi hormat kepada gurunya lalu menjurus kepada para tosu yang duduk mengitari tempat itu, belasan orang banyaknya. “Suheng sekalian harap jangan mentertawakan permainan pedang siauwmoi yang masih buruk,” katanya. Di lain saat tangan kanannya bergerak dan tampak sinar kuning emas berkelebat, disusul oleh gulungan sinar pedang yang ternyata telah dimainkan dengan amat dahsyatnya. Apalagi yang dimainkan adalah sebuah pedang pusaka dari Kun-lun-pai, yaitu Kim-Hui-Kiam (Pedang Emas Terbang) yang dihadiahkan oleh To Gi Couwsu kepada muridnya ini, cepat dan dahsyat sampai tubuh gadis itu lenyap terbungkus gulungan sinar pedang yang kuning emas.
Para anak murid Kun-lun-pai yang masih belum tinggi tingkatnya, yang menonton di belakang sambil berdiri, menjadi kabur pandangannya dan mereka memuji dengan penuh kekaguman dan kebanggaan. Bukankah gadis itu murid Kun-lun-pai yang patut mereka banggakan?
Setelah mainkan jurus-jurus yang sulit, tiba-tiba gadis itu berseru, “Suhu, teecu mohon diijinkan menggerakkan jurus terakhir!”
To Gi Couwsu menganggukkan kepalanya dan tahu-tahu sinar pedang itu melesat keluar ruangan, melampaui kepala para anak murid Kun-lun-pai yang berdiri di luar. Semua orang mengikuti sinar pedang ini dan melihat betapa dengan gerakan amat indah, gadis itu telah mainkan jurus terakhir dari Kun-lun Kiam-hoat yang disebut Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan), jurus yang amat sukar dimainkan karena banyak orang harus memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah tinggi dan kesempurnaan menggerakkan pedang.
Ketika semua orang sedang ternganga kagum, gadis itu sudah turun kembali dan di tangan kirinya ia memegang seekor burung yang kedua sayapnya telah ia sabet putus dengan pedangnya. Burung gereja itu tadi sedang terbang dan burung inilah yang menjadi sasaran jurus Hui-kiam-kan-goat tadi sehingga putus kedua sayapnya.
Burung itu kini mencicit di atas telapak tangan kiri Bi Hong, tidak dapat terbang lagi. Semua tosu kepala yang duduk di situ kembali memuji.
“Siancai. hebat ilmu pedang sumoi.”
Akan tetapi lagi-lagi To Gi Couwsu, guru kepala Kun-lun-pai, menggeleng-gelengkan kepalanya dan tanpa berkata apa-apa ia menggapai kepada Bi Hong supaya mendekat. Setelah gadis itu menghampirinya, tosu ini lalu mengambil burung gereja dari tangan gadis itu, mengelus-elusnya penuh kasih sayang, dan memeriksa kedua sayap yang sudah tidak berbulu lagi.
“Kau harus bersabar tiga puluh hari lebih, menanti sayapmu tumbuh, burung. ”
katanya perlahan lalu memasukkan burung yang tak bersayap itu ke dalam kantong bajunya yang lebar.
“Bi Hong, apa yang kauperlihatkan tadi indah dilihat, akan tetapi belum ketahuan bagaimana kalau menghadapi lawan. Coba kau minta twa-suhengmu untuk menguji,” kata pula To Gi Couwsu dengan suaranya yang perlahan dan tenang.
Gadis itu nampak gembira sekali. Cepat ia menghampiri seorang tosu, murid paling tua di Kun-lun-pai, berusia lima puluh tahun lebih. Di antara semua murid To Gi Couwsu, yaitu para tosu di Kun-lun-pai, dia inilah yang paling tinggi ilmu silatnya, juga paling alim dan selalu mengutamakan kebajikan dan berwatak sabar sekali seperti gurunya.
Gadis itu menjura kepada tosu ini dan berkata sambil tersenyum. “Twa-suheng, di antara para suheng, hanya kau yang selalu menolak untuk menguji kebodohan siauwmoi. Sekarang atas perintah suhu, siauwmoi harap twa-suheng tidak berlaku pelit lagi.”