Halo!

Nona Berbunga Hijau Chapter 26

Memuat...

Ci Ying cepat mengelak sambil mengebut dengan sabuknya, “Cih, tak tahu malu! Tiga monyet bangkotan mengeroyok seorang nona muda. Mana di dunia kang-ouw ada macam aturan itu? Tebal muka!”

Tiga orang hwesio itu menjadi bohwat (tak berdaya). Mereka merasa malu sekali dan terpaksa mereka menahan senjata mereka.

“Kau sendiri yang tadi menantang minta dikeroyok!” seorang di antara mereka mencoba untuk membentak.

“Celaka, aku bicara main-main, kiranya kalian kakek-kakek tua begitu tidak tahu malu menggunakan kesempatan orang muda main-main lalu mengeroyok sungguh- sungguh.”

Ci Ying memang sejak dulu berwatak lincah jenaka dan pandai bicara. Sekarang menghadapi ancaman pihak yang lebih kuat, keganasannya bersembunyi dan muncullah sifat-sifatnya dahulu yang cerdik.

Melihat tiga orang sutenya nampak bengong, Ga Lung Hwesio tertawa sambil memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah. “Sute sekalian mundurlah. Biar pinceng menghadapinya seorang lawan seorang.”

Ci Ying melihat akalnya berhasil membuat ia tidak akan dikeroyok lagi. Apa pula yang maju adalah hwesio cebol gemuk ini. Yang lain-lain boleh lihai, akan tetapi si cebol gemuk ini mana bisa main silat dengan baik?

Ia cepat menghampiri Ga Lung Hwesio dan menyerang dengan serentak. “Bagus! Siapa kalah dalam pertempuran ini berarti haknya kalah dan harus mundur. Janji orang gagah tak dapat ditarik kembali!”

Para hwesio itu melengak. Siapa yang berjanji? Benar-benar seorang bocah yang licik sekali, lihai ilmu silat dan mulutnya. Akan tetapi Ga Lung Hwesio yang sudah melihat ilmu silat Ci Ying, tanpa ragu-ragu lagi berkata, “Baiklah, siapa kalah berarti pihaknya kalah. Majulah!”

Ci Ying tidak berlaku seji (sungkan) lagi. Sabuknya menyerang cepat, mengarah jalan darah yang-goat-hiat dan kin-ceng-hiat. Anehnya Ga Lung Hwesio tidak mengelak mundur, bahkan melangkah setindak dan menyodokkan tongkatnya ke arah leher nona itu. Gerakan tongkatnya yang kecil panjang itu cepat bukan main, tahu-tahu sudah mengancam leher Ci Ying.

Gadis ini terkejut. Kalau dia melanjutkan serangannya, sebelum ujung-ujung sabuknya mengenai tubuh lawan, lebih dulu ia akan “dimakan” tongkat. Terpaksa ia mengelak sambil menggerakkan sabuknya lagi, sekali gus menotok ke arah iga dan pergelangan tangan Ga Lung Hwesio. Gerakannya indah dan cepat lagi ganas, membuat hwesio pendek gemuk itu mengeluarkan seruan memuji. Akan tetapi secepat-cepatnya Ci Ying, ia masih kalah cepat oleh hwesio murid kepala Tibet itu. Tongkat sudah diputar lagi, sekali gus menangkis dua ujung sabuk. Ci Ying menggetarkan sabuknya hendak membelit tongkat, namun lawannya sudah menarik kembali tongkatnya dan di lain saat ia sudah berjongkok dan dua kali ujung tongkatnya menusuk sambungan lutut kedua kaki Ci Ying.

Gadis itu berseru kesakitan dan roboh terguling. “Ikat gadis liar ini!” seru Ga Lung Hwesio kepada seorang sutenya. Akan tetapi sesosok bayangan berkelebat dan Wang Sin sudah berdiri dengan sebelah kaki pincang.

Orang muda ini menghadang dengan sikap gagah, pedang melintang di dada sambil berseru. “Jangan kurang ajar! Siapa berani mengganggu Ci Ying akan menjadi makanan pedangku!”

Ga Lung Hwesio tertawa dan tongkatnya digerakkan, Wang Sin menangkis dengan pedangnya, mengerahkan tenaganya.

“Tranggg. !” Pedangnya terlepas dan terlempar jauh dengan cepat, meluncur

merupakan sinar kebiruan dan dia sendiri segera roboh ketika tongkat hwesio pendek itu menotok pundaknya.

Selagi lima orang hwesio itu kegirangan karena melihat dua orang muda yang mengamuk sudah tertawan, tiba-tiba mereka kaget karena sinar biru dari pedang Wang Sin yang terlempar tadi terhenti di tengah jalan dan tahu-tahu sudah disambar oleh tangan seorang wanita yang berusia lima puluh tahun lebih.

Wanita ini berpakaian serba putih seperti seorang pendeta, tangan kirinya memegang kebutan merah dan tangan kanan memegang seuntai tasbeh. Tasbeh inilah yang tadi diputar dan “menangkap” pedang yang sedang terbang itu.

Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya melihat wanita ini menjadi kaget karena di rambut kepala wanita ini terdapat sekuntum bunga hijau yang mengeluarkan sinar gemilang. Mereka teringat akan bunga hijau yang menghias kepala Ci Ying dan tahulah mereka siapa orangnya yang telah datang ini.

Akan tetapi Ga Lung Hwesio pura-pura tidak mengenalnya dan segera menjura dengan hormat. Sebagai seorang hwesio, melihat pendeta dari aliran agama lain, ia berlaku hormat.

“Omitohud. ada saudara datang tidak keburu menyambut karena gangguan anak-

anak muda. Harap toyu sudi memaafkan pinceng berlima.”

Nenek itu mengeluarkan suara dingin sambil memandang tajam. “Hwesio-hwesio bangkotan menindas orang-orang muda, sungguh tak tahu malu!”

“Suthai, bikin mampus mereka. Mereka telah menghina muridmu!” kata Ci Ying yang girang sekali melihat kedatangan nenek itu yang bukan lain adalah gurunya, Cheng Hoa Suthai ketua dari Cheng-hoa-pai di Heng-toan-san. Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya sudah mendengar kehebatan nenek tua Cheng-hoa- pai ini, akan tetapi karena belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, mereka tidak takut. Adalah karena mendengar ucapan Ci Ying tadi mereka menjadi khawatir sekali kalau-kalau nenek itu terlalu memihak murid sendiri, maka Ga Lung Hwesio cepat menjawab.

“Kiranya Cianpwe adalah ketua dari Cheng-hoa-pai yang ternama. Harap cianpwe suka mempertimbangkan urusan ini. Semua adalah kesalahan muridmu sendiri yang telah membunuh sute Thouw Tan Hwesio dan banyak pendeta-pendeta lain. Dia memberontak di Loka dan. ”

“Ci Ying, kenapa kau membunuh keledai-keledai gundul di Tibet?” tanya Cheng Hoa Suthai kepada muridnya. Pertanyaan ini terdengar keren, akan tetapi dengan menggunakan sebutan “keledai gundul” berarti dia telah memaki para hwesio di Tibet yang agaknya tak diindahkan olehnya.

Ci Ying sudah mengenal baik watak gurunya. Nenek ini amat ganas dan kejam hatinya, akan membunuh setiap orang tanpa berkejap mata. Akan tetapi dia amat pantang untuk menodai nama baik Cheng-hoa-pai dan berlaku keras kepada murid- muridnya. Setiap orang murid harus menjunjung tinggi nama baiknya Cheng-hoa-pai. Siapa melanggar berarti mati. Maka dengan suara tetap ia menjawab.

“Suthai telah mengerti bahwa teecu pergi hendak membalas sakit hati kepada tuan tanah di Loka yang telah menyiksa teecu dan semua budak, malah sudah membunuh ayah. Manusia binatang macam tuan tanah itu sudah sepatutnya dibasmi, bukan?”

Cheng Hoa Suthai mengangguk-angguk sambil melirik tajam ke arah lima orang hwesio itu. “Memang lebih dari patut dibasmi sekeluarganya berikut antek-anteknya!”

Ci Ying tersenyum. “Nah, teecu hanya berhasil membunuh tuan tanah yang tua berikut antek-anteknya di Loka, sedangkan yang muda sudah pindah ke Lasha, para pendeta bangkotan palsu di Loka membantu tuan tanah, kiranya bangkotan ini yang berkepala gundul berpakaian pendeta, juga menjadi kaki tangan mereka. Mereka inipun pantas dibasmi!”

Terkejut hati Ga Lung Hwesio mendengar ini dan melihat wajah Cheng Hoa Suthai berubah keras, mereka siap sedia.

“Pantas. pantas sekali dibasmi. Eh, hwesio-hwesio Tibet yang tahu malu,

perbuatan kalian membantu tuan-tuan tanah jahat benar-benar tidak cocok dengan kedudukan kalian. Apakah Su Thai Losu (Empat Guru Besar Tua) di Lasha akan membiarkan saja penyelewengan kalian?”

Mendengar sebutan ini, Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya dengan girang dapat menduga bahwa nenek yang lihai ini masih gentar terhadap guru-guru besar mereka, maka Ga Lung Hwesio segera menjawab.

“Cianpwe, pinceng dan sute-suteku ini adalah murid-murid Su Thai Losu, malah guru-guru pinceng yang menitahkan pinceng menangkap dua orang pemberontak ini. Harap Cianpwe ketahui bahwa dosa mereka ini besar sekali tidak saja mengacau malah merendahkan nama besar guru-guru kami. Pinceng berjanji akan membawa dua orang muda ini supaya menerima pengadilan di Lasha.”

“Hwesio bau! Kau tidak melihat aku, ya? Kau kira aku takut kepada empat keledai tua di Lasha? Rebahlah kau!” Cepat sekali gerakan tangan Cheng hs, tahu-tahu pedang biru sudah melayang ke arah Ga Lung Hwesio sedangkan tasbeh dan kebutannya bergerak ke arah empat orang hwesio yang lain.

Ga Lung Hwesio adalah seorang hwesio yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Melihat sinar biru menyambar dadanya, ia menangkis dengan tongkat. Terdengar suara keras dan bunga api berhamburan, akan tetapi pedang itu sudah dapat ditangkisnya sehingga menyeleweng dan menancap sampai ke gagangnya di atas tanah. Sedangkan dia sendiri mundur tiga langkah dengan kedua tangan merasa tergetar hebat.

Wajahnya menjadi pucat, apalagi ketika ia melihat betapa empat sutenya berturut- turut terjungkal, tak dapat menahan serangan Cheng Hoa Suthai. Dua orang yang terpukul tasbeh patah-patah tulang iganya sedangkan yang dua orang lagi terkena sambaran kebutan, terlepas sambungan tulang pundaknya.

Ga Lung Hwesio terkejut sekali. Keempat orang sutenya itu sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi sekali serang saja Cheng Hoa Suthai sudah dapat merobohkan mereka. Dari sini saja sudah dapat dibayangkan betapa lihainya nenek ini.

Akan tetapi karena marah sekali, Ga Lung Hwesio menjadi nekad. Ia memutar tongkatnya lalu menyerbu sambil mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaganya.

Sebagai seorang berkedudukan tinggi, yaitu menjadi ketua partai, Cheng Hoa Suthai memiliki keangkuhan. Terhadap orang-orang yang tingkatnya lebih rendah, dia tidak mau terlalu mendesak. Sekali turun tangan ia harus berhasil dan tidak sudi mengulangi lagi. Kalau Ga Lung Hwesio tidak menyerangnya, dia tentu mengampuni hwesio ini karena tadi ia sudah menyerang hwesio ini dengan lontaran pedang Wang Sin dan hwesio itu sudah dapat menyelamatkan diri.

Akan tetapi sekarang Ga Lung Hwesio menyerangnya, maka bangkitlah kemarahannya. Begitu melihat tongkat Ga Lung Hwesio menyambarnya, kebutan di tangan kiri bergerak menggulung ujung tongkat. Ga Lung Hwesio adalah seorang yang sudah banyak pengalamannya bertempur. Melihat senjatanya kena terlibat, ia mengerahkan tenaga untuk membetot akan tetapi tongkat itu seakan-akan telah tertanam buluh kebutan menjadi akar-akarnya, tak dapat ditarik kembali.

Dan pada saat itu tiba-tiba Cheng Hoa Suthai mengendurkan kebutannya, sehingga oleh tenaga yang dilepas tiba-tiba ini, Ga Lung Hwesio hampir terjengkang ke belakang. Di saat itu bayangan putih berkelebatan, ialah tasbeh di tangan kanan Cheng Hoa Suthai yang menyambar ke arah kepalanya.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment