“Apakah kalian yang bernama Wang Sin dan Ci Ying, dua orang bekas budak yang menimbulkan huru-hara di Loka?” tanya Ga Lung Hwesio sambil mengangkat muka dengan sikap angkuh.
Dengan tenang Wang Sin menjawab. “Betul.” Akan tetapi Ci Ying tertawa dan menyambung, “Hwesio cebol, kalau nonamu yang membikin huru-hara di Loka, kau mau apa?”
Ga Lung Hwesio adalah seorang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Mendengar makian ini ia dapat menindas perasaan marahnya dan ia hanya tersenyum.
“Orang-orang muda suka besar kepala, mengira di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan mereka. Ah, anak-anak yang masih hijau, lekas kalian turun dan berlutut. Pincengan tidak akan menggunakan kekerasan, hanya akan menggiring kalian ke kota di mana kalian akan dihadili.”
“Hwesio sialan, siapa sudi dengar omonganmu yang busuk? Menyingkirlah biar kami lanjutkan perjalanan!” bentak Ci Ying, tangan kirinya bergerak dan lima benda bundar mengkilap menyambar ke arah jalan darah berbahaya di tubuh Ga Lung Hwesio dan adik-adik seperguruannya. Itulah serangan gelap yang amat cepat dan sukar dikelit. Akan tetapi dengan tenang lima orang hwesio itu menggerakkan tangan dan lima buah benda bundar itu sudah dapat mereka tangkap dengan telapak tangan.
Ga Lung Hwesio melihat benda itu dengan keningnya berkerut. Dengan tongkatnya yang kecil panjang, tongkat terbuat dari sebangsa bambu kuning, ia mencongkel tanah di depannya kakinya, melempar benda itu ke dalam tanah dan menguruknya lagi dengan ujung tongkat.
Sambil mengeluarkan seruan kaget, empat hwesio yang lain juga mengikuti perbuatan ini, lalu kelimanya mengucapkan doa-doa pendek sambil merangkap kedua tangan ke depan dada. Kemudian Ga Lung Hwesio membuka matanya, memandang Ci Ying sambil membentak.
“Bocah keji! Dari mana kau mendapatkan mata manusia itu?” “Orang-orang telah dengan suka rela. menyumbangkan sebelah matanya kepadaku, semua ada sepuluh biji. Sekarang kalian lima orang hwesio sinting membuang lima biji, harus ditukar dengan sebelah mata kalian?” jawab Ci Ying sambil mendelikkan matanya.
Dua orang hwesio mengeluarkan seruan keras, tak dapat menahan kemarahannya. Serentak mereka melompat ke depan, seorang menubruk Ci Ying dan yang seorang lagi menubruk Wang Sin untuk menyeret dua orang muda itu turun dari kuda.
Sambaran mereka ini hebat sekali, tangan kanan mencengkeram ke arah pundak dan tangan kiri dihantamkan kepada punggung kuda.
Wang Sin yang merasai datangnya angin pukulan yang amat keras, kaget bukan main. Ia melompat ke arah lain sambil menggulingkan tubuh, hampir saja ia roboh terguling kalau tidak lekas-lekas ia menggunakan tangannya mendorong tanah, sehingga ia dapat berdiri tegak lagi.
Adapun Ci Ying sambil mengeluarkan suara nyaring, dengan ringan sekali tubuhnya melompat dari atas kuda menghindarkan cengkeraman, akan tetapi tidak seperti Wang Sin, sambil melompat sabuk merahnya meluncur ke arah leher lawan merupakan serangan balasan yang sekali gus mengarah urat kematian.
Terdengar suara keras ketika tangan kiri dua orang hwesio itu mengenai punggung kuda. Dua ekor binatang itu meringkik hebat, melompat jauh dan berlari keras. Akan tetapi baru beberapa belas meter mereka lari, sekali lagi mereka meringkik dan terguling roboh berkelonjotan terus mati. Kiranya hajaran tangan kiri dua orang hwesio tadi telah meremukkan isi perut mereka.
Adapun hwesio yang menyerang Ci Ying, ketika melihat datangnya ujung sabuk mengarah jalan darah di lehernya, kembali mengeluarkan seruan keras, tangan kanannya yang luput mencengkeram tadi ditarik untuk menangkap ujung sabuk dan merampasnya. Akan tetapi, Ci Ying lihai sekali.
Sekali sendal ujung sabuknya melejit dan lolos dari cengkeraman malah dapat memecut lengan hwesio itu yang cepat mundur dengan seruan kaget. Kulit lengannya itu pecah dan biarpun tak mendatangkan luka berbahaya tetap saja terasa amat sakit.
Di lain saat Ci Ying sudah tertawa ha-ha-ha-hi-hi sambil mengobat-abitkan sabuknya. “Mari, mari, cucuku gundul, mari kalau hendak menerima hajaran nenekmu!” katanya.
Dua orang hwesio itu memuncak kemarahannya. Dengan geram mereka mengeluarkan senjata mereka, sebuah toya yang besar dan berat. Langsung mereka menerjang maju, seorang menyerang Wang Sin yang kedua menyerang Ci Ying.
Wang Sin sudah menarik pedangnya dan segera ia bertempur dengan hwesio itu.
Diam-diam ia mengeluh karena selain toya lawannya amat kuat tidak terpatahkan pedang mustikanya, juga tenaga lawannya ini besar sekali, membuat telapak tangannya sakit-sakit tiap kali senjatanya menangkis toya. Ia segera mengeluarkan semua kepandaiannya, mainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat cepat. Benar juga, setelah ia menggunakan kecepatannya, ia dapat mengimbangi lawan. Di lain pihak, sambil tertawa-tawa mengejek, Ci Ying melayani dan mempermainkan hwesio kedua. Toya adalah sebuah senjata yang kaku dan keras, maka menghadapi senjata sabuk yang amat lemas dan digerakkan dengan amat cepat secara aneh, hwesio itu segera terdesak hebat.
Harus diakui bahwa dalam hal tenaga dalam, Ci Ying masih tidak mampu menangkan hwesio ini yang sudah memiliki pengalaman dan latihan puluhan tahun. Akan tetapi Ci Ying mewarisi ilmu silat yang aneh dan ganas. Setiap pukulan merupakan tangan maut yang mengarah jalan darah-jalan darah yang paling berbahaya, tidak mengherankan apablia hwesio lawannya menjadi bingung dan kacau permainan toyanya.
“Hi-hi-hi, hwesio bau. Orang macam kau biar ada sepuluh, mana bisa melawan aku? Konco-koncomu itu apa jerih menghadapi aku? Biar mereka maju bersama!” tantangnya, sombong dalam kemenangannya.
Melihat seorang saudaranya menghadapi Wang Sin sudah cukup dan dapat mendesak, hwesio-hwesio itu tidak mau membantu. Akan tetapi melihat saudaranya yang terdesak oleh Ci Ying mereka gelisah.
Akan tetapi Ga Lung Hwesio dan empat orang adik seperguruannya ini adalah
hwesio-hwesio berkedudukan tinggi di Tibet, mana mereka sudi mengeroyok ? Hanya setelah mendengar tantangan Ci Ying, seorang di antara mereka menjadi panas hati dan mendapatkan kesempatan selagi lawan menantang, ia segera melompat maju memutar tongkatnya.
“Bocah ganas, lihat toya!” serunya sambil menyerang dengan hebat.
Ci Ying diam-diam sudah siap sedia. Melihat hwesio itu maju, ia tertawa dan sekali tangan kirinya bergerak kembali lima biji mata yang masih berada di kantongnya, ia sambitkan kepada hwesio itu, mengarah lima jalan darah di tubuhnya. Jarak antara mereka hanya tiga empat meter, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan mendesak ini.
“Makan ini!” seru Ci Ying. Sebetulnya, menurut sopan santun dunia persilatan, menyerang secara menggelap merupakan pantangan besar. Oleh karena itu, setiap kali hendak membuka serangan, orang selalu membentak dan setiap kali menggunakan senjata rahasia, selalu didahului dengan seruan agar lawan bersiap sedia. Akan tetapi Ci Ying yang licik sekali berseru setelah senjata rahasianya menyambar lawan.
Bukan main kagetnya hwesio ini. Hwesio pertama yang tahu kawannya diserang secara menggelap, hendak mencegah dengan mengirim serangan ke arah kepala Ci Ying, akan tetapi ia terlambat. Lima buah benda itu sudah dilontarkan dan dengan cekatan Ci Ying sudah dapat mengelak dari serangannya.
Hwesio yang menghadapi ancaman maut dari lima butir biji mata itu, melempar diri ke belakang untuk menghindarkan serangan, akan tetapi dua butir biji mata yang menyambar lutut kiri dan bawah pusarnya sukar dikelit dan agaknya ia akan segera mendapat celaka. Pada saat itu terdengar bentakan keras dan sebatang tongkat kecil panjang meluncur memapak dua butir biji mata itu sehingga terdengar suara “tak-tak” dan biji mata itu terlempar ke pinggir, tidak mengenai sasaran. Itulah tongkat dari Ga Lung Hwesio yang dilontarkan untuk menangkis.
Hwesio yang baru saja terbebas dari bahaya maut, melompat bangun dengan muka pucat. Keringat dingin membasahi jidatnya. Ia bersyukur bahwa suhengnya sudah bergerak cepat dan dapat menyelamatkan nyawanya.
Ia memungut tongkat itu dan menyerahkan kepada Ga Lung Hwesio dengan sinar mata terima kasih. Kemudian ia menerjang Ci Ying, memaki. “Setan licik, kau benar- benar ganas dan pantas menjadi penghuni neraka!”
Hi-hi-hi, hwesio bau. Suruh kawanmu yang dua lagi maju. Itu hwesio cebol mana berani?”
Ga Lung Hwesio hanya tersenyum biarpun hatinya mendongkol sekali dimaki oleh gadis itu. Akan tetapi sutenya seorang lagi marah lalu memutar toya dan menyerbu sehingga di lain saat Ci Ying sudah dikeroyok tiga. Tentu saja Ci Ying menjadi repot sekali.
Melawan seorang hwesio saja, ia dapat mengimbangi dan menang di atas angin hanya karena ia mengandalkan kecepatannya pada hal ia kalah tenaga. Apalagi sekarang dikeroyok tiga. Lebih-lebih lagi kegelisahannya ketika melihat Wang Sin sudah repot sekali dan dalam jurus berikutnya Wang Sin terkena serampangan kakinya. Ia mencoba untuk melompat, akan tetapi kurang cepat dan tulang keringnya terkena hajaran toya sampai patah tulangnya.
Orang muda itu mengeluh dan melompat jauh menggunakan satu kakinya yang belum terluka. Hwesio itu hendak mengejar, akan tetapi Ci Ying keburu melompat jauh menghadang di depan Wang Sin sambil berseru.
“He, hwesio tengik! Kawanku sudah terluka dan kalah, kau masih mendesak terus, apakah tua bangkotan tidak malu menghina yang muda?”
Mendengar ucapan ini, hwesio itu melengak dan otomatis ia bergerak mundur. Tentu saja, sebagai seorang yang berkedudukan tinggi ia pantang sekali dianggap “yang tua menghina yang muda”, ia ragu-ragu dan menengok ke arah Ga Lung Hwesio sambil menanti keputusan.
“Bocah ganas, apakah setelah kawanmu terluka kau masih tidak mau menyerah?” tanya Ga Lung Hwesio.
Ci Ying cerdik sekali, akan tetapi ia maklum bahwa kali ini ia tidak berdaya. Maka ia sengaja hendak mengulur waktu dan tidak mau menyerah secara mentah-mentah. “Hwesio cebol, siapa sudi menyerah? Kawanku terluka, akan tetapi, aku belum kalah, kau tahu?”
“Kalau begitu, kami akan merobohkan kau lebih dulu!” seru hwesio yang tadi hampir menjadi korban senjata rahasia dan ia melompat maju dengan serangannya, diikuti dua orang kawannya. Mereka bertiga yang tadi mengeroyoknya hendak cepat-cepat mengalahkan Ci Ying, maka begitu menerjang mereka menggunakan tongkat mereka mainkan jurus yang paling ampuh.