Nona Berbunga Hijau Chapter 24

NIC

“Mereka orang-orang jahat!”

“Biarpun begitu, cukup kau mengancam dan menakuti mereka, agar mereka mengubah hidup menjadi orang-orang baik.”

“Heh, tidak ada orang baik di dunia ini, semuanya jahat. Yang baik hanya kita, eh, kanda Wang Sin, yang tidak hanya kau dan aku!” Inilah “filsafat” yang selalu diajarkan oleh Cheng Hoa Suthai ketua Cheng-hoa-pai. Semua anggota Cheng-hoa- pai menganggap bahwa di dunia ini hanya sendiri yang baik. Orang-orang lain semua jahat, karena harus dimusuhi, dibasmi dan kalau perlu dibunuh.

Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka. Sekarang perjalanan dapat dilakukan dengan cepat karena mereka sudah mendapatkan dua ekor kuda yang baik dan yang sudah sering kali dipergunakan orang menjelajah daerah pegunungan itu. Mula-mula Wang Sin berpikir bahwa nanti kalau dia dan Ci Ying sudah berhasil membunuh Yang Nam, ia akan menjauhkan diri dari gadis ini, untuk kembali ke Kun- lun, mencari isterinya.

Akan tetapi makin lama melakukan perjalanan dengan Ci Ying, makin tahulah ia akan sifat gadis ini dan hatinya menjadi terharu. Ci Ying sebetulnya masih seperti dulu, lincah jenaka. Hanya saja, ada pengaruh aneh yang meliputi diri gadis ini dan pengaruh ini seperti penyakit dan kadang-kadang datang kadang-kadang pergi. Kalau lagi waras, gadis ini tiada bedanya dengan Ci Ying tunangannya dulu. Akan tetapi kalau “kumat”, wah, benar mengerikan. Watak lincah jenaka berubah menjadi dingin keras, kehalusan berubah kekasaran, seorang dewi berubah menjadi seorang siluman betina.

Ia dapat menduga bahwa ini tentu akibat dari pelajarannya, akibat dari hubungannya dengan Cheng-hoa-pai dan diam-diam ia menaruh kasihan. Akan tetapi dalam keadaan bagaimanapun juga, sedang waras atau sedang gila, gadis itu tetap baik kepadanya dan selalu menunjukkan cinta kasih yang amat besar. Bagaimana ia tega untuk meninggalkan gadis ini?

Dalam hal ilmu silat, ia kalah jauh. Ia mengerti bahwa hal ini bukan sekali-kali karena ia kalah rajin belajar, melainkan karena orang yang menggembleng diri Ci Ying memiliki kesaktian luar biasa, memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada guru-gurunya di Kun-lun-pai. Diam-diam ia sering bergidik kalau memikirkan bagaimana hebatnya kepandaian dari Cheng Hoa Suthai orang yang menjadi guru Ci Ying, yang menjadi ketua Cheng-hoa-pai di Heng-toan-san

Hari masih pagi sekali ketika dua orang muda ini sudah tiba di luar kota Lasha. Dari jauh sudah nampak bangunan-bangunan yang tinggi dan megah. Mereka menjadi kagum dan terpesona. Sampai lama mereka menghentikan kuda dan memandang ke depan, merasa seperti mimpi. Sudah semenjak kecil mereka mendengar hebatnya pemandangan di kota Lasha. Kota tempat tinggal para dewa.

******

Pada masa itu, Tibet masih diperintah oleh seorang raja. Akan tetapi, biarpun Tibet merupakan kerajaan, namun sebetulnya yang berkuasa adalah para pendeta Lama. Mereka ini besar sekali pengaruhnya dan tidak ada keputusan raja dikeluarkan tanpa lebih dulu minta persetujuan dari para pendeta-pendeta kepala.

Sudah terkenal sampai ke daratan Tiongkok bahwa di Lasha ini adalah kedungnya ilmu-ilmu yang aneh dan bahwa para pendeta Tibet ini banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kabarnya Tat Mo Couwsu banyak meninggalkan kitab-kitab yang tinggi luar biasa di daerah ini yang menjadi kedungnya agama Buddha.

Tempat inilah merupakan “stasiun”, tempat agama Buddha menyeberang dari India ke Tiongkok, maka tidak mengherankan apabila di situ terdapat banyak sekali pendeta- pendeta yang pandai. Raja yang masih muda seakan-akan hanya boneka di tangan para pendeta kepala. Sudah jamak di dunia ini bahwa segala keadaan adalah dwipura. Ada tinggi ada rendah, ada besar ada kecil, ada baik ada buruk. Bukan hanya jamak, memang sudah seharusnya demikian menurut hukum Im-Yang. Tidak ada Im, mana bisa ada Yang? Tidak ada sebutan tinggi, mana bisa muncul sebutan rendah?

Kalau manusia tidak mengenal apa itu artinya buruk, mana bisa mengenal pula artinya baik? Dua sifat bertentangan, Im dan Yang inilah yang menghidupkan sesuatu yang menjadi sumber dari pada pengertian kita sehingga timbullah pengertian untuk mengenal, membedakan, dan karenanya panca indera kita dapat dipergunakan.

Demikian pula kehidupan di kalangan para pendeta Lama. Sungguhpun mereka itu semenjak kecil dijejali ajaran-ajaran agama yang selalu mengutamakan kebaikan melulu, namun dasar manusia ada yang baik tentu ada yang buruk. Kalau semua manusia baik, dunia tidak sekacau sekarang ini, tentu berubah menjadi taman sorgaloka.

Bukan hanya terdapat perbedaan-perbedaan, malah di antara pendeta-pendeta yang sudah tinggi tingkatnya, timbul bermacam aliran. Memang banyak terdapat pendeta- pendeta Lama yang betul-betul penganut agama yang amat saleh, beribadat dan taat sehingga merupakan orang-orang alim yang menyucikan diri.

Akan tetapi, tidak kurang-kurang pula banyaknya yang tersesat, menyeleweng dari ajaran agama atau lebih tegas menyelewengkan agama menjadi ilmu-ilmu setan atau ilmu-ilmu hitam. Malah banyak diantaranya yang begitu rendah sampai mau menjadi penjilat-penjilat para bangsawan untuk dapat mengecap kenikmatan duniawi sepuas- puasnya dan sekenyang-kenyangnya.

Seperti telah diketahui, putera tuan tanah Yang Can di Loka, yaitu Yang Nam, setelah menikah dengan puteri seorang berpangkat di Lasha, dia mendapat kedudukan pangkat yang lumayan. Di Lasha pada waktu itu, seperti di kota-kota besar lain di negara yang belum sempurna keadaannya, kemuliaan seseorang ditentukan oleh pangkat dan hartanya. Kalau ia berpangkat, apa pula berharta, mulialah dia. Besarlah pengaruh dan kekuasaannya.

Yang Nam adalah putera tuan tanah yang kaya raya, maka dengan menggunakan hartanya, amat mudah baginya untuk menarik bantuan para pendeta Lama yang silau matanya oleh emas untuk menjadi pelindungnya. Malah ia berhasil pula mempengaruhi Thu Bi Tan, seorang di antara “empat besar” yaitu empat orang guru besar di antara pendeta Lama yang dianggap paling pandai dan paling tinggi kedudukannya.

Memang banyak di antara para hwesio yang menyeleweng, akan tetapi selama ini, empat orang guru besar itu tetap dapat menjaga kesucian diri. Hanya setelah Yang Nam pindah ke Lasha dan diam-diam mengadakan perhubungan dengan Thu Bi Tan, hwesio kepala ini akhirnya kena dipengaruhi dan merupakan pelindung Yang Nam. Makin besarlah kekuasaan Yang Nam setelah semua orang mengetahui bahwa orang muda ini adalah “sahabat baik” Thu Bi Tan yang ditakuti orang.

Ketika Yang Nam mendengar tentang kejadian di Loka, di mana ayahnya dan antek- anteknya tewas oleh Ci Ying dan Wang Sin, ia terkejut setengah mati. Sambil berlutut ia menangis di depan Thu Bi Tan Hwesio, menceritakan malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya di Loka. Sebetulnya, Yang Nam lebih banyak merasa takut dari pada berduka, karena ia maklum bahwa tentu dua orang bekas budak itu akan mengetahui bahwa ia telah pindah ke Lasha dan mencarinya untuk membalas dendam.

“Sudahlah, Taijin, jangan berduka. Mati hidup bukan milik raga kita dan ayahmu sudah mati biarlah ia mendapat tempat yang tenteram. Adapun dua orang pemberontak itu, biar mereka berkepala tiga berlengan enam, ada pinceng yang akan menangkapnya agar kau dapat menghukumnya,” kata Thu Bi Tan menghibur.

Akan tetapi ketika mendengar dari para hwesio yang dapat melarikan diri dari Loka ke Lasha betapa banyak pula pendeta dikepalai Thouw Tan Hwesio terbinasa di Loka, Thu Bi Tan Hwesio menjadi marah sekali. Tidak hanya dia seorang yang marah, malah tiga orang pendeta kepala yang lain diam-diam merasa tak senang.

Mereka dapat mengerti kalau ada budak yang memberontak dan membunuh tuan tanah, akan tetapi membunuh pendeta-pendeta, itulah keterlaluan, pikir mereka. Tentu saja para pendeta kepala kerjanya hanya bersembahyang di dalam kelenteng ini tidak tahu akan sepak terjang murid-murid mereka yang menyeleweng itu.

Biasanya tiga orang pendeta kepala yang lain, adalah orang-orang yang beribadat dan tidak mudah marah, akan tetapi kali ini mereka tidak membantah ketika Thu Bi Tan Hwesio memberi tugas kepada seorang murid kepala yang bernama Ga Lung Hwesio untuk membawa beberapa orang saudara dan melakukan pengejaran serta menangkap dua orang muda yang telah mengamuk di Loka itu.

Ga Lung Hwesio adalah seorang pendeta gemuk yang berilmu tinggi. Kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada Thouw Tan Hwesio dan dia merupakan murid nomor satu Thu Bi Tan Hwesio, Peribahasa “guru kencing berdiri murid kencing berlari” terbukti kebenarannya di sini. Karena Thu Bi Tan Hwesio menjadi “sahabat” Yang Nam, tentu saja murid-murid ini bukan hanya sekedar bersahabat, malah boleh dibilang dia menjadi antek pembesar muda itu.

Kalau di Loka Yang Nam dahulu mengandalkan Thouw Tan Hwesio, maka di Lasha ia mempunyai Ga Lung Hwesio sebagai pengawal pribadinya. Maka terdengar perintah guru besar ini kepada muridnya. Diam-diam Yang Nam lalu cepat menghujani Ga Lung Hwesio dan empat orang sutenya dengan hadiah-hadiah dan janji-janji muluk sambil dibisiki supaya kalau sukar menangkap hidup, dua orang muda yang mengamuk di Loka itu “dibereskan” saja yang artinya dibunuh.

Demikianlah, Wang Sin dan Ci Ying yang telah tiba di luar kota Lasha, tiba-tiba melihat lima orang hwesio datang dengan langkah lebar dan cepat. Melihat gerakan kaki lima orang hwesio yang amat ringan ini, diam-diam Wang Sin dan Ci Ying terkejut dan dapat menduga bahwa yang datang ini adalah orang-orang dengan kepandaian tinggi.

“Kanda Wang Sin, kita telah disambut. Tapi jangan takut, aku akan menghadapi mereka!” kata Ci Ying, sikapnya memandang rendah sekali. “Ci Ying, musuh kita hanya Yang Nam. Jangan mencari gara-gara dengan para hwesio di sini.” Wang Sin memperingatkan akan tetapi gadis itu tersenyum mengejek.

Lima orang hwesio itu bukan lain adalah Ga Lung Hwesio yang memimpin empat orang sutenya. Baru saja hendak berangkat mencari dua orang muda yang mengamuk di Loka, mereka sudah mendengar laporan mata-mata di luar tembok kota bahwa yang mereka cari sudah datang. “Bagus,” kata Ga Lung Hwesio, anjing-anjing sudah datang tinggal menggebuk saja!”

Lalu bersama empat orang sutenya, ia berlari keluar kota untuk menghadang Wang dan Ci Ying.

Melihat bahwa pasangan muda mudi itu benar-benar masih amat mudah, Ga Lung Hwesio menjadi heran sekali. Masa Thouw Tan Hwesio sampai kalah oleh dua orang muda ini?

Posting Komentar