Wang Sin menjadi kaget dan jengah sendiri. Bagaimana gadis ini begitu tak tahu malu, di depan banyak orang asing membelai-belainya? Perlahan ia mendorong tangan gadis itu dan berkata. “Ci Ying, orang-orang mulai mengurung rapat dan hendak menyerang. Kita harus siap sedia!”
Akan tetapi gadis itu malah meramkan matanya kembali lalu berkata sambil tersenyum. “Sepagi ini sudah banyak kadal berkeliaran, sungguh menjemukan!”
Ketika tiga orang malam tadi terbunuh, keadaan hanya remang-remang, maka semua orang itu tidak melihat jelas bagaimana kawan-kawan mereka terbunuh dan siapa di antara dua orang muda itu yang membunuh. Sekarang mendengar gadis itu memaki kadal kepada mereka, tentu saja mereka menjadi marah sekali.
Seorang di antara mereka, yang berkumis panjang, mengangkat golok dan berseru memberi komando. “Tangkap yang betina, bikin mampus yang jantan!”
Wang Sin mendongkol sekali. Sikap dan kata-kata semua orang itu seakan-akan sedang mengurung dua ekor atau sepasang binatang hutan saja. Ia kembali hendak melompat, akan tetapi tetap saja ia tidak kuat menurunkan kepala Ci Ying yang masih meramkan mata sambil tersenyum manis.
Pada saat itu, belasan orang itu sudah mendesak maju dan di antara mereka sudah mengangkat golok hendak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan kedua tangan Ci Ying bergerak. Sinar perak berkelebat dan tahu-tahu terdengar jerit- jerit kesakitan.
Lalu empat orang di antara para penyerbu itu roboh terjengkang, berkelonjotan dan diam tak bergerak lagi. Ternyata di tenggorokan mereka sudah menancap sebatang jarum perak.
Selagi semua pengeroyok tertegun, Ci Ying sudah melompat bangun sambil tertawa mencabut sabuk suteranya.
“Kanda Wang Sin, kau lihat baik-baik ujung sabukku!” kata Ci Ying tertawa dan tiba- tiba sinar merah berkelebat ke depan. Tahu-tahu ujung sabuknya yang kanan kiri sudah menyerang. Dua orang yang diserang mencoba untuk menyabet sabuk itu dengan golok mereka. Akan tetapi gerakan sabuk ini terlalu cepat bagi mereka sehingga yang nampak hanya sinarnya. Sabetan golok mereka meleset dan tanpa dapat dicegah lagi, kedua ujung sabuk itu telah menotok jalan darah di dekat leher.
“Auukkk!” Dua orang itu melepaskan golok dan memuntahkan darah segar, tubuh mereka terguling dan napas mereka empas-empis. Kagetnya para penyerang itu bukan kepalang. Dalam dua kali gerakan saja berkuranglah mereka dengan enam orang anggauta. Si Kumis Panjang tahu bahwa wanita cantik di depannya ini bukan sembarangan orang maka sambil melintangkan golok ia berseru menahan kawan-kawannya jangan maju, kemudian ia merangkapkan kedua tangannya ke dada sambil menghadapi Ci Ying dan bertanya.
“Nona muda yang gagah siapakah dan dari partai mana? Harap sudi memberi tahu agar kami tidak salah tangan menyerang orang segolongan!”
Ci Ying mengeluarkan suara mengejek, “Apa matamu buta dan kau tidak melihat ini?” Ia menunjuk ke arah kepala sendiri di mana terdapat sebuah penghias rambut terbuat dari perak dan batu permata hijau, merupakan setangkai bunga berwarna hijau.
Terdengar seruan-seruan kaget dan si kumis panjang itupun pucat. “Cheng-hoa-pai
....!” Memang Cheng Hoa Suthai, guru Ci Ying, adalah pendiri dari partai yang ia beri nama Cheng-hoa-pai (Partai Bunga Hijau) yang ia ambil dari namanya. Tak seorangpun sebetulnya mengetahui siapa nama asli Cheng Hoa Suthai.
Ia mendapat panggilan Cheng Hoa Suthai adalah karena rambutnya selalu dihias bunga hijau, biarpun ia sudah menjadi seorang pendeta. Karena banyak pengikut dan anak muridnya, maka ia mendirikan Cheng-hoa-pai yang berkedudukan di Heng-toan- san.
Cheng-hoa-pai ini terkenal sekali di dunia kang-ouw, anak-anak murid Cheng-hoa-pai adalah wanita-wanita yang selalu berwatak ganas dan berilmu tinggi, maka nama partai itu ditakuti orang. Apalagi oleh para penjahat karena biarpun ganas dan kejam, harus pula diakui bahwa yang dimusuhi oleh Cheng-hoa-pai memang sebagian besar adalah penjahat-penjahat. Hal ini bukan berarti bahwa partai ini, adalah partai bersih.
Bagi Cheng-hoa-pai, tidak ada istilah baik maupun buruk, pendeknya yang menghalangi dan menentang, mereka ganyang semua, baik maupun buruk. Adanya nama ini ditakuti sebagian besar oleh kalangan penjahat, mudah pula dimengerti, Cheng-hoa-pai adalah perkumpulan wanita dan banyak di antaranya yang cantik- cantik, tentu saja membuat orang-orang jahat suka datang mengganggu. Maka banyaklah orang jahat yang sudah menjadi korban keganasan Cheng-hoa-pai.
Demikianlah, tidak mengherankan apabila si kumis panjang itupun menjadi pucat ketika mengenal bunga hijau di rambut Ci Ying. Akan tetapi ia kelihatan bersangsi. Dia sudah banyak mendengar tentang Cheng-hoa-pai.
Anak-anak murid atau anggauta-anggauta Cheng-hoa-pai biasanya mempunyai hiasan kembang hijau yang hidup dan yang memakai kembang hijau dari batu kumala hanyalah Cheng Hoa Suthai sendiri dan beberapa orang anak murid yang bertingkat tinggi, yang sudah berusia tua. Masa gadis remaja ini sudah memakai kembang tiruan? Jangan-jangan gadis ini hanya mendapatkan di jalan lalu dipakai dan dipergunakan untuk menggertak.
“Nona..... nona dari Cheng-hoa-pai ....? Akan tetapi. ” Ia menggagap. Ci Ying belum lama turun gunung. Ia tahu bahwa orang belum mengenalnya, maka menjadi sangsi dan mengira dia membohong. Sambil tertawa sabuk merahnya bergerak, meluncur ke depan, ke arah si kumis panjang. Orang ini kaget sekali dan melangkah mundur, namun tiba-tiba golok di tangannya terbetot secara tiba-tiba sehingga terlepas dari pegangannya. Ia melihat ujung sabuk merah yang membetot goloknya itu membawa goloknya terbang.
Sekali menggerakkan tangan gadis itu membuat golokanya terlempar ke udara, kemudian gerakan kedua menggetarkan ujung sabuk yang menyambar ke arah golok ditengah-tengah. “Krakk!” Golok itu patah menjadi dua kena dipecut oleh sabuk.
“Hebat !” seru si kumis panjang. Ia sudah mendengar akan kelihaian Cheng Hoa
Suthai bermain kebutan atau hudtim, dan permainan sabuk inipun menunjukkan bahwa gadis ini luar biasa lihainya. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh kawan-kawannya, yang kesemuanya dengan dia tinggal sepuluh orang itu.
“Siauwjin (hamba yang rendah) mempunyai mata tapi tidak melihat Gunung Thaisan di depan mata. Hamba sekonco telah membikin marah lihiap (pendekar wanita), mohon lihiap sudi memberi ampun.” Kata si kumis panjang dengan muka ketakutan.
Kembali Ci Ying mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. “Hemmm, sebelum dihajar mana kalian bisa melihat orang. Kalian sudah kurang ajar, sekarang aku mau membunuh kalian semua. Kalian mau apa?” Sambil berkata demikian, nona ini melangkah maju, sikapnya mengancam.
“Ampun, lihiap.... ampun. !” Suara minta ampun dari sepuluh orang ini riuh rendah.
Benar-benar hebat dan mengherankan sekali. Sepuluh orang ini adalah bangsa kasar yang biasanya tidak takut pada setan sekalipun, dapat membunuh orang tanpa berkedip, dapat menyiksa orang sampai mati sambil tertawa-tawa. Akan tetapi menghadapi Ci Ying mereka minta ampun.
Melihat ini Ci Ying kelihatan gembira sekali. “Hi-hi-hi-hi, aku mau bunuh kalian. Akan kubeset kulit dadamu seorang demi seorang, kucabut jantungmu untuk diberikan kepada srigala-srigala liar. Hi-hi-hi!”
Seperti ayam-ayam makan padi di tanah, sepuluh orang itu mengangguk-anggukkan kepala sampai jidat mereka berdarah membentur batu, minta ampun dengan suara mohon dikasihani.
Wang Sin melompat bangun. “Ci Ying kauampunkan mereka!” Suaranya keren, ia menahan kemarahannya karena tidak tahan melihat sikap Ci Ying yang amat ganas itu.
Ci Ying menengok kepadanya dan wajah yang tadinya keren itu berubah lembut. “Kau menghendaki demikian kanda Wang Sin? Baiklah, aku ampuni jiwa sepuluh ekor kadal ini, akan tetapi aku tidak bisa mengampuni matanya yang tidak melihat orang.” Ia memutar tubuh dan membentak. “Bekas-bekas bangkai! Hayo kalian copot mata kirimu dan berikan kepadaku. Baru aku mau ampuni kalian!”
Wang Sin hendak mencegah, akan tetapi terlambat. Sepuluh orang itu terlalu girang kalau hanya menerima hukuman seperti itu, dianggap amat ringan. Dengan cepat mereka hampir berbareng menggunakan telunjuk menusuk mata kiri masing-masing, mencokelnya keluar dan berganti-ganti menyerahkan biji mata mereka itu kepada Ci Ying. Gadis ini sambil tertawa-tawa menerima sepuluh buah biji mata itu dan memasukkannya ke dalam kantong jarum rahasia.
“Kalian boleh pergi. Bawa pergi bangkai-bangkai yang bau ini dan tinggalkan dua kuda terbaik lengkap dengan perbekalan jalan!”
Sepuluh orang itu sambil menggunakan tangan kiri menutupi mata kiri yang sudah bolong dan mengalirkan darah, tergesa-gesa pergi dari situ membawa mayat sembilan orang dan meninggalkan dua ekor kuda besar yang paling baik. Sebelum pergi, tidak lupa mereka menjura menghaturkan terima kasih kepada Ci Ying.
Hebat pemandangan ini. Wang Sin sampai merasa betapa kedua kakinya menggigil. Orang lain boleh takut setengah mampus kepada Ci Ying, akan tetapi dia tidak.
Dalam pandangannya, gadis itu masih tetap Ci Ying yang dahulu, tunangannya yang lincah jenaka. Mengapa sekarang berubah begini?
“Ci Ying, kau benar-benar mengerikan. Untuk apa kau simpan sepuluh mata itu?” tanyanya, suaranya masih gemetar.
Ci Ying tertawa, lalu mengambil sebotol minyak dari sakunya. Dengan muka tersenyum ia menuang isi botol ke dalam kantong sehingga sepuluh buah mata itu terendam minyak yang berwarna merah.
“Kau tidak tahu. Dengan obat ini kesepuluh buah mata itu menjadi keras seperti gundu-gundu beling yang indah. Selain indah untuk permainan, juga berguna untuk dijadikan senjata am-gi (senjata gelap). Bukankah lebih bagus dari segala macam pelor besi ? Hi-hi-hi!”
“Kau terlalu ganas, Ci Ying, terlalu kejam kepada mereka. ”