Halo!

Nona Berbunga Hijau Chapter 22

Memuat...

Wang Sin hendak mencegah sudah tidak keburu lagi. Apalagi ia sedang terkejut mendengar datangnya suara kaki kuda dan kaki orang yang banyak sekali, disertai teriakan-teriakan marah. Tiba-tiba angin besar bertiup dan api unggun yang sudah kehabisan umpan itu padam, tinggal bunga apinya yang berterbangan ke sana sini mendatangkan penglihatan yang amat indah. Keadaan menjadi gelap sekali dan angin bertiup makin keras sampai hampir tidak tertahan lagi.

Wang Sin bertiarap dan di lain saat ia meraba muka Ci Ying yang ternyata juga sudah bertiarap dekat sekali dengannya. Muka gadis itu begitu dekat sampai ia dapat merasai napas yang hangat dan bau yang harum. Hatinya berdebar lagi seperti tadi ketika gadis itu tertidur di atas pangkuannya. Benar aneh, ganas dan lihai sekali, pikirnya.

“Hi-hi, kanda Wang Sin. Bagaimana kau melihat jurus-jurusku tadi?” Gadis itu berkata kuat-kuat karena suara angin membuat orang sukar bicara dan takkan terdengar kalau tidak berteriak. “Kau mau tahu namanya? Ketika aku robohkan orang pertama, itulah jurus Hek-mo-to-sim (Iblis Hitam Menyambar Hati), ketika aku menendang perut kerbau gemuk itu aku menggunakan jurus tendangan Toat-beng-twi (Tendangan Merenggut Nyawa) dan yang terakhir tadi sabuk merahku bergerak merampas golok dengan jurus Iblis Terbang Mencari Mayat. Bagus, bukan?”

Wang Sin bergidik. Sudah banyak ia mendengar ilmu-ilmu silat di dunia Kang-ouw dari suhunya, juga dari Ong Hui, akan tetapi belum pernah ia melihat jurus-jurus yang demikian ganas dan lihai, malah juga nama jurus-jurus itupun mengerikan.

“Memang lihai......” jawabnya, “akan tetapi. terlalu ganas. Ci Ying, kenapa kau

bunuh orang-orang itu, malah kau membunuh secara demikian mengerikan?” Iapun harus bicara keras untuk melawan riuhnya suara angin ribut.

“Apa kau bilang? Bicara dekat telingaku sini!” Ci Ying mendekatkan mukanya sehingga mulut Wang Sin sampai menempel di pipinya, dekat telinga. Jantung Wang Sin berdebar dan mukanya terasa panas saking jengahnya.

“Eh, bibirmu kok panas amat?” Ci Ying berseru.

Wang Sin menjauhkan mukanya akan tetapi, Ci Ying menempelkannya lagi. “Biarlah, panaspun tidak apa. Lekas kau bilang, apa yang kaukatakan tadi.” Wang Sin mengulangi kata-katanya. “Hi-hi, kau bilang ganas? Kau anggap aku keji membunuh tiga ekor kadal busuk itu? Kanda Wang Sin, tahulah kau siapa mereka itu? Mereka adalah sebangsa srigala- srigala hitam.”

Wang Sin kaget. Pernah ia mendengar tentang orang-orang yang berkeliaran di daerah itu, orang-orang jahat sekali yang tidak segan melakukan kejahatan macam apapun juga. Kadang-kadang menjadi saudagar-saudagar, bisa juga menjadi pencuri kuda, perampok atau penculik. Orang-orang begini disebut srigala hitam.

Ia sekarang mengerti mengapa Ci Ying membunuh mereka, akan tetapi kalau ia ingat akan cara keji yang dipergunakan gadis itu, ia berkata perlahan. “Membunuh orang- orang jahat memang tugas orang gagah, hanya cara kau membunuh mereka itu terlalu ganas.”

Rambut Ci Ying terlepas dari sanggulnya karena tiupan angin yang amat keras. Rambut itu menyambar-nyambar muka Wang Sin, mendatangkan rasa geli dan gatal. Sia-sia saja ia mencoba untuk menyingkirkan rambut itu karena amat banyak dan panjang. Di saat itu juga ia mencium bau harum yang keluar dari rambut panjang itu. Ci Ying di dalam gelap cepat mengetahui ini, dengan tertawa kecil ia menyingkap rambut dan membetulkan lagi.

“Kau tahu apa yang terjadi dengan diriku kalau sampai aku terjatuh ke dalam tangan kadal-kadal itu? Lebih ganas lagi mereka!”

Wang Sin tadinya tidak mau melayani gadis ini berbicara, hatinya sudah tak senang dan marah menyaksikan gadis ini begitu ganas dan kejam. Akan tetapi suara gadis ini menimbulkan ingin tahunya.

“Bagaimana?” tanyanya singkat.

Suara Ci Ying berubah dingin ketika menjawab. “Hemm, kalau mereka tidak kubunuh dan sampai aku dapat tertawan, mereka itu bertiga, mungkin dengan konco-konconya yang lebih banyak lagi, akan mempermainkan diriku sampai mereka merasa bosan, kalau sudah bosan mereka akan menjual diriku kepada siapa juga yang berani membayar. Huh!”

Merah muka Wang Sin dan kembali ia bergidik. Sebagai seorang gadis, bagaimana Ci Ying bisa bicara tentang hal ini demikian terang-terangan terdengarnya tanpa malu- malu. Ia makin tak puas.

Angin ribut masih terus mengamuk sehingga kedua orang muda itu belum berani bangun, masih bertiarap di atas rumput. Sampai lama mereka diam saja. Kemudian Wang Sin yang mengetahui keadaan gadis itu mengajukan pertanyaan.

“Ci Ying, dulu kau pergi membawa anak kecil itu, di mana sekarang?” Gadis itu menghela napas. “Kau maksudkan Wang Tui? Ah, dia telah mati.” “Mati?” Suara Wang Sin mengandung iba, “Bagaimana dia sampai mati?” “Aku ditangkap anjing-anjing hina dan anak itu hanyut terus dalam perahu. Bagaimana lagi kalau tidak mati?”

Wang Sin dapat menduga apa yang terjadi kemudian. “Lalu kau ditolong oleh orang yang menjadi gurumu, bukan? Orang macam apakah gurumu itu Ci Ying.

“Orang macam apa? Guruku adalah Cheng Hoa Suthai, ratu dari Heng-toan-san. Siapa tidak mengenalnya?” kata Ci Ying bangga. Wang Sin diam saja, ia anggap ucapan gadis ini sombong. Mana ada ratu di Heng-toan-san?

“Kanda Wang Sin, masih ingatkah kau ketika dahulu kau suka bernyanyi untukku ketika kau menggembala domba-domba? Sekarang angin ribut masih mengganas, tidak dapat kita duduk dengan enak. Supaya tidak membosankan dan mengusir hawa dingin, maukah kau bernyanyi untukku seperti dulu lagi?”

Hati Wang Sin sebetulnya sudah dingin, akan tetapi ia merasa tidak enak juga kalau ia bersikap terlalu kaku kepada bekas tunangannya ini. Apalagi bau rumput di bawa mukanya dan keadaan di situ mengingatkan dia akan penghidupan masa lalu, lalu membuka mulut bernyanyi.

Nyanyian yang merupakan keluhan para budak yang hidupnya tertindas. Suaranya keras dan nyaring. Nyanyian ini membangkitkan kembali semangatnya dan membuat ia merasa lebih dekat dengan Ci Ying malah menghidupkan lagi cinta kasih terhadap gadis itu.

“Wahai, Himalaya yang tinggi. Ahoi, Yalu-cangpo yang panjang. Dapatkah kalian memberi jawaban? Kedua tanganku kuat bekerja berat. Tapi tiada seperseratus hasilnya.

Menjadi bagianku!

Aku punya mulut.

Tak dapat mengeluarkan suara hati. Telingaku disusur tuli.

Mataku disusur buta.

Aku punya nyawa.

Tak lebih berharga seekor domba! Wahai, Himalaya sembunyikan aku dipuncak-puncakmu!

Ahoi, Yalu-cangpo, lenyapkan aku di muaramu!”

Setelah selesai bernyanyi, Wang Sin melihat gadis itu telah merebahkan kepala di atas dadanya sambil memeluknya. Ia makin terharu dan mengira bahwa gadis itu tentu menangis. Di dalam gelap itu mana ia tahu bahwa Ci Ying sama sekali tidak menangis malah tersenyum? Agaknya bagi gadis ini yang sudah menjadi keras hati, tidak ada lagi watak untuk menangis. Karena terharu dan mengingat akan nasib gadis yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai seorangpun di dunia yang dapat memikirkannya kecuali dia sendiri, Wang Sin mengelus-elus kepala Ci Ying, cinta kasih yang lama terpendam sekarang timbul kembali. “Ci Ying, jangan berduka, jangan kau menangis. Aku kan sudah berada di sampingmu?” katanya perlahan.

Ci Ying tidak menjawab, agaknya memperhatikan sesuatu. Tiba-tiba terdengar suara berbisik, sama sekali di dalam suara ini tidak ada tanda-tanda bekas menangis. “Kanda Wang Sin, tahukah kau bahwa telah datang banyak orang?”

“Aku tahu. Tadi sebelum datang angin ribut aku mendengar suara kaki orang dan kuda.”

“Kita telah dikurung oleh belasan orang.”

Wang Sin terkejut dan tubuhnya bergerak hendak bangun. Angin ribut telah mereda. Akan tetapi Ci Ying menahannya untuk rebah terus.

“Perlu apa ribut-ribut ? Kita perlu mengaso, lebih baik kita tidur dulu. Di dalam gelap mereka takkan menyerang. Andaikata menyerang juga, dengan kepandaian kita berdua, apa yang kita takuti? Kau lihat, besok terang tanah aku akan menghajar mereka dan kita merampas dua ekor kuda.” Gadis itu tertawa perlahan.

Terpaksa Wang Sin rebah kembali, akan tetapi dia tidak bisa tidur. Musuh mengepung, jumlah mereka belasan orang, Inilah berbahaya! Bagaimana Ci Ying bisa enak-enak tidur? Ia bangun duduk dan melihat gadis itu benar-benar sudah pulas dengan kepala rebah di pangkuannya.

Napas gadis itu perlahan dan rata, tanda sudah pulas. Dia sendiri tidak dapat tidur dan duduk diam melakukan siulan (samadhi) seperti yang ia pelajari dari gurunya untuk mengumpulkan semangat dan tenaga.

Menjelang pagi ia sudah dapat melihat bayangan-bayangan orang dan benar seperti ucapan Ci Ying malam tadi, ada belasan orang yang berdiri merupakan pagar mengurung mereka. Dia menghitung. Enam belas orang dan di tangan tiap orang terlihat golok besar. Tiga orang yang malam tadi dibunuh Ci Ying sudah tidak kelihatan mayatnya lagi. Mungkin diambil oleh kawan-kawannya.

Agak jauh dari situ tampak segerombolan kuda diikat pada pohon. Dia tidak dapat melihat jelas muka belasan orang itu, hanya dari bayangan mereka ia tahu bahwa mereka semua adalah laki-laki yang bertubuh tinggi besar.

Sementara itu, enam belas orang yang mengurung ketika melihat gadis tidur pulas dengan kepala di pangkuan seorang pemuda, mengeluarkan seruan marah. Mereka mulai bergerak maju dan mengurung makin rapat.

Wang Sin melihat ini menjadi khawatir. Ia hendak menurunkan kepala Ci Ying dari atas pangkuannya agar ia dapat melompat berdiri untuk menghadapi keroyokan mereka itu. Akan tetapi hebatnya ketika ia mengangkat kepala gadis itu, ternyata tidak bergeming. Kepala itu terasa amat berat olehnya dan tak dapat didorong turun.

“Ci Ying..... Ci Ying...... bangunlah! Mereka mulai mengancam. !” katanya di dekat

telinga gadis itu. Gadis itu mengeluarkan suara lirih, menggeliat dan mengangkat dua lengannya ke atas. Dengan belakang tangan kiri ia menutupi mulutnya yang menguap kecil. “Aiiihhh, enaknya aku tidur. ” katanya lirih, matanya disipitkan dan mulutnya

tersenyum. Bertahun-tahun baru kali ini aku tidur nyenyak.” Ia lalu mengulur tangannya mengusap dagu Wang Sin yang licin.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment