Halo!

Nona Berbunga Hijau Chapter 21

Memuat...

membunuh orang yang terluka itu satu demi satu. Ia juga melompat hendak mencegah, akan tetapi gerakan Ci Ying luar biasa cepatnya, pukulan tangannya ampuh sekali sehingga dalam beberapa menit saja tiga puluh satu orang itu telah menggeletak tak bernyawa lagi.

“Ci Ying, apa yang kaulakukan ini?” kata Wang Sin, suaranya gemetar karena ia menahan marahnya.

Ci Ying tersenyum manis padanya. “Dibawa pergi, tidak seorangpun mau melakukannya. Ditinggal di sini, akan mati kelaparan. Tertangkap tuan tanah, akan mati disiksa. Bukankah lebih baik mati begini, tidak menderita?” jawaban ini tenang saja seakan-akan membunuh tiga puluh satu orang itu hanya soal kecil tak berarti saja.

Kemudian ia berteriak kepada semua orang. “Hayo kubur mereka lalu lanjutkan perjalanan kalian!” Semua budak yang tadinya menjadi pucat karena ngeri, tidak berani membantah perintah nona yang hebat itu. Cepat mereka mengubur mayat tiga puluh satu orang kawan mereka itu, lalu mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat dan ketakutan, khawatir kalau-kalau dapat dikejar tuan tanah.

“Kanda Wang Sin, mari kita kembali, menuju ke Lasha.”

Ketika mengucapkan kata-kata, sikap Ci Ying sudah berubah lagi, lemah lembut dan manis. Sepasang mata dan senyumnya membayangkan cinta kasih mesra. Ia malah menggandeng lengan tangan Wang Sin untuk diajak pergi. Orang muda itu menurut saja, berkali-kali menarik napas panjang. Tak dapat disangkal lagi, setelah Ci Ying bersikap manis seperti ini, terbayanglah hubungan mesra di waktu mereka masih remaja dahulu dan harus ia akui bahwa sebetulnya cinta kasih pertama yang bersemi di dalam hatinya masih belum mati.

“Kanda Wang Sin, kau kenapa menghela napas?” tanya Ci Ying, bibirnya tetap tersenyum akan tetapi matanya yang jeli memandang penuh selidik.

Wang Sin tidak mau kalau disangka ia menyedihkan perpisahannya dengan isterinya. Ia tidak mau membangkitkan cemburu di dalam hati gadis ini yang sekarang berubah menjadi seorang berwatak aneh. Ia hendak menyadarkan gadis ini perlahan-lahan.

“Ci Ying, aku bingung melihat perubahan pada dirimu. Terhadap tuan tanah kau berlaku kejam, itulah sudah semestinya dan aku mengerti karena kita memang sejak lahir di dunia selalu menderita sengsara karena mereka. Akan tetapi tadi. kau

membunuh kawan-kawan sendiri yang terluka begitu saja seperti orang membunuh tikus. ah, benar-benar aku tidak mengerti!”

“Membunuh orang-orang luka yang tidak ada harapan lagi, untuk menolong banyak orang yang masih sehat, bagaimana bisa dibilang kejam? Apalagi kalau diingat pembunuhan itu untuk menolong keselamatan mereka dan diri sendiri, lebih-lebih bukan kejam namanya. Kejam adalah tuan-tuan tanah dan kaki tangannya yang membunuh orang untuk kesenangan diri sendiri.”

“Menolong diri sendiri?” tanya Wang Sin heran.

“Tentu saja. Kalau mereka tidak dibunuh, perjalanan terlambat dan kita terpaksa mengawal terus. Kalau kita mengawal terus, kita tidak akan bergerak leluasa dan bebas kalau terjadi pertempuran. Tentu kita menjadi rugi dan terancam.”

“Eh, kenapa begitu?”

Ci Ying cemberut. “Kau carilah sendiri. Hayo kita percepat jalan, sudah gatal-gatal tanganku untuk mencekik leher jahanam Yang Nam dan membetot keluar jantungnya.”

Wang Sin tidak berkata-kata lagi, melainkan mengerahkan tenaga untuk mengimbangi kecepatan larinya gadis itu yang bergerak ringan sekali. Diam-diam hatinya mengeluh. “Ganas....... ganas. ”

Ketika hari menjadi malam, dua orang muda ini tiba di sebuah padang rumput yang di sana sini ditumbuhi beberapa batang pohon. Di waktu musim salju, tempat ini penuh salju dan pohon-pohon itu gundul tak berdaun. Baiknya waktu itu musim salju sudah lewat dan biarpun tidak gemuk tanah di situ ditumbuhi rumput hijau dan pohon-pohon itu mengeluarkan daun. Mereka berhenti di bawah sebatang pohon dan duduk di atas rumput yang lunak.

Dari jauh terdengar menguaknya beberapa ekor binatang yak dan mengembiknya kambing-kambing yang berkeliaran. Itulah binatang peliharaan tuan tanah di Loka yang dalam keributan tadi telah lari cerai berai.

“Tunggu aku mencari susu dan makanan!” kata Ci Ying. Tubuhnya berkelebat dan sebentar saja ia lenyap dari dari depan Wang Sin. Orang muda ini kagum sekali. “Dia begitu hebat kepandaiannya. Benar-benar mengherankan. Aku yang berlatih siang malam dibawah pimpinan suhu yang pandai, ternyata masih kalah jauh olehnya, padahal dia dahulu seorang gadis lemah,” pikirnya.

Tak lama gadis ini pergi. Ia telah kembali lagi membawa sebuah paha domba yang gemuk dan di lain tangan memegang sebuah tempat minum yang tadi dibawanya, penuh dengan susu murni yang segar. Ia tertawa-tawa gembira dan lagaknya kembali sebagai Ci Ying lima tahun yang lalu.

“Kanda Wang Sin. Aku memanggangkan daging domba yang gemuk dan memanaskan susu yang segar untukmu.”

Timbul lagi kegembiraan Wang Sin melihat sikap gadis ini. Ah, kalau saja Ci Ying seterusnya seperti ini, seperti dahulu lagi. Mudah mengajaknya berunding.

“Aku membuat apinya,” katanya sambil tertawa. Melihat pemuda itu sudah mau tersenyum, Ci Ying makin gembira.

Wang Sin membuat api unggun sedangkan gadis itu memotong-motong daging domba. Entah dari mana dapatnya, ia mengeluarkan bumbu-bumbu dari dalam saku bajunya. Tak lama kemudian tercium bau sedap daging domba dipanggang dan segera kedua orang muda yang sudah lapar itu makan daging panggang dengan air susu.

Nikmat sekali rasanya, apalagi dimakan di bawah sinar bulan yang sudah muncul di langit yang bersih cerah.

Hawa malam itu sangat dingin. Ci Ying merebahkan diri di atas rumput dengan kepala di atas pangkuan Wang Sin. Pemuda itu tidak menolak dan membiarkan saja Ci Ying menaruh kepalanya di atas paha. Sebentar saja Ci Ying tertidur dengan senyum manis di bibirnya.Wang Sin memandang wajah manis di pangkuannya itu yang nampak luar biasa cantiknya di bawah sinar bulan. Kembali ia menarik napas panjang.

“Alangkah cantik manisnya Ci Ying sayang sekali ia berubah menjadi seorang

berhati ganas.” Kemudian ia melamun, teringat akan pengalaman-pengalaman Ci Ying dahulu. Belum sempat ia mendengarkan cerita Ci Ying semenjak mereka berpisah. Bagaimana nasib bocah kecil yang dulu dibawa oleh gadis ini? Besok akan kutanyakan dia dan perlahan-lahan akan kujelaskan tentang pernikahanku dengan Ong Hui, demikian pikir Wang Sin.

Dengan pikiran ini ia menjadi lega. Ia menyandarkan tubuhnya pada batang pohon. Dilihatnya tubuh Ci Ying bergerak seperti kedinginan ketika angin bertiup. Ia melepas baju luarnya dan menyelimuti gadis itu.

“Kanda Wang Sin. ” gadis itu berbisik perlahan tanpa membuka matanya. Kiranya

dia sedang bermimpi, Wang Sin lalu memeramkan matanya dan saking lelahnya ia tertidur sambil bersandar pada pohon. Api unggun masih menyala, lidah api mobat mabit (bergoyang-goyang) tertiup angin. Wang Sin telah menaruh sebatang cabang kering yang besar sehingga dalam waktu dua tiga jam api itu takkan padam.

Tiba-tiba Wang Sin terkejut ketika mendengar suara berisik. Ia membuka matanya dan segera melompat bangun ketika melihat Ci Ying tertawa-tawa sambil bergerak- gerak ke sana ke mari. Dia sedang dikeroyok tiga orang laki-laki tinggi besar yang wajahnya tidak kelihatan nyata dalam sinar yang suram itu. Api unggun sudah hampir padam sedangkan bulan bersembunyi di balik awan hitam yang tebal.

Sebelum ia sempat bergerak, terdengar suara “Krakkk!” disusul jerit mengerikan. Ternyata seorang pengeroyok telah kena dihantam dadanya oleh tangan kiri Ci Ying sehingga ia terjungkal roboh di dekat api unggun. Sambil melayani lawan yang dua orang lagi, Ci Ying tertawa dan kakinya menyambar. Tubuh orang itu terlempar dan

...... jatuh ke atas api yang masih marong dan merah.

Orang itu berkelojotan, Wang Sin mengkirik. Cepat ia melompat dan menggunakan kakinya menyingkirkan orang yang mulai terbakar itu dari atas api unggun. Siapa pun juga itu, tidak tega ia melihat orang dibakar hidup-hidup.

“Kanda Wang Sin, kau sudah bangun? Lihat aku robohkan dua ekor kadal busuk ini!” kata Ci Ying. Cepat sekali sabuk merahnya bergerak-gerak seperti ular dan dua orang yang bersenjata golok itu repot sekali menghadapi desakan Ci Ying yang lihai. Bagi mereka, ujung sabuk merah itu berubah menjadi belasan, membuat mata mereka kabur dan permainan golok mereka kacau.

Padahal menurut penglihatan Wang Sin, ilmu golok dua orang itu tidak lemah, bahkan cepat dan kuat sekali. Pada waktu sebuah golok menyambar leher Ci Ying dan golok kedua menusuk perutnya, gadis itu menggunakan ujung sabuknya melibat golok pertama dan kakinya menendang golok kedua yang mengancam perut. Hebat sekali gerakan gadis ini. Tangkisan golok menggunakan tendangan kaki membuktikan bahwa tingkat kepandaiannya memang sudah tinggi, kalau tidak demikian tidak nanti dia berani menendang golok yang sedang menusuk perutnya.

Golok terpental dan tendangan susulan tepat mengenai perut orang yang gemuk. “Blukkk!” Perut yang besar seperti perut kerbau itu terkena ciuman ujung sepatu Ci Ying mengeluarkan suara seperti tambur dipukul. Orangnya terjengkang dan tidak bangun lagi. Adapun orang ketiga yang goloknya terkibat, mencoba untuk membetot senjatanya, akan tetapi sia-sia. Malah tiba-tiba goloknya itu terbang terlepas dari tangannya, terayun-ayun dibelit ujung sabuk dan alangkah kaget ia melihat goloknya sendiri itu membalik dan “terbang” ke arah kepalanya. Ia mencoba untuk mengelak, akan tetapi golok itu yang dipegangi oleh libatan sabuk terus mengejarnya dan akhirnya “Crakkk!” kepalanya terbela oleh goloknya sendiri.

“Hi-hi-hi, baru kalian merasa kelihaian nonamu!” Ci Ying tertawa girang. Golok rampasan di ujung sabuknya itu ia gerak-gerakan lagi, kini menyambar kepada dua orang yang lain yang sudah ia robohkan lebih dulu. Terdengar bunyi “crakk-crakk!” dua kali dan kepala dua orang inipun terbelah dua.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment