Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak bisa marah kepada pemuda ini, dan sebetulnya ia senang mendengar pengakuan itu. Akan tetapi ia tidak ingin selamanya berada di samping Hauw Lam. Ia ingin menyendiri.
"Hauw Lam, ada hal yang lebih penting bagimu. Engkau harus pergi kepada Ibu kandungmu."
Terbelalak mata Hauw Lam memandang.
"Apa..? Apa yang kau maksudkan..?"
"Bukankah Ayahmu bernama Tang Sun dan Ibumu bernama Phang Bi Li?"
Hauw Lam melangkah maju dan memegang tangan Kwi Lan.
"Mutiara, Bicaralah yang jujur. Bagaimana kau tahu akan nama Ayahku? Memang Ayahku bernama Tang Sun. Nama Ibu aku tidak pernah dengar, akan tetapi engkau.. bagaimana bisa tahu?"
Kwi Lan yang kini melihat betapa wajah Hauw Lam menjadi pucat dan agaknya amat tertarik tersenyum.
"Kau pantas menjadi kakakku. Ibumu adalah Bibi Bi Li yang menganggap aku anak sendiri. Ayahmu.. Ayahmu telah tewas, aku melihat sendiri. Ibumu masih hidup, namanya Phang Bi Li dan kini tinggal di Hutan Iblis."
Makin pucat wajah Hauw Lam.
"Di Hutan Iblis..? Ayahku mati..?"
Ia merasa mimpi mendengar keterangan ini dan tentu ia tidak akan percaya kalau saja ia tidak yakin bahwa gadis yang baru dikenalnya beberapa hari ini tak pernah membohong seperti juga tak pernah merasa takut.
"Pergilah, carilah Ibumu dan kau akan mendengar semua. Ibumu hanya tahu bahwa puteranya bernama Tang Hauw Lam. Kau pergilah ke Lembah Air Hijau, di kaki Pegunungan Pek-liu-san sebelah utara, di sana terdapat hutan yang oleh orang-orang disebut Hutan Iblis. Nah, Ibumu tinggal seorang diri di dalam pondok di hutan itu, menanti-nanti kedatanganmu. Selamat tinggal, kelak kita berjumpa pula."
Setelah berkata demikian, Kwi Lan membalapkan kudanya pergi dari tempat itu, meninggalkan Hauw Lam yang masih berdiri seperti arca dengan muka pucat.
"Ibuku.. Ibu kandungku.. Ibuku.."
Pemuda yang biasanya periang itu kini hanya berbisik-bisik dengan sepasang mata basah. Pandang matanya mengikuti bayangan Kwi Lan di atas kudanya. dan semangatnya serasa terbawa terbang pergi.
Kwi Lan menjalankan kudanya sambil melamun. Begitu berpisah dari Hauw Lam ia merasa betapa ia kehilangan seorang teman seperjalanan yang selalu mendatangkan suasana gembira. Akan tetapi kalau ia teringat akan pernyataan cinta kasih Hauw Lam, ia menjadi kecewa. Hal ini melenyapkan rasa gembiranya dan membuatnya menjadi tak enak, hatinya berdebaran dan ia menjadi malu, tak ingin bertemu kembali dengan pemuda itu. Ada hal lain yang sejak tadi ia pikirkan. Siapakah orang yang menolongnya ketika ia bersama Hauw Lam berada dalam sumur jebakan? Apakah orang gagah she Ciam yang telah menolong dua belas orang gadis tawanan? Rasanya tidak mungkin karena biarpun gagah beran, orang she Ciam itu tidak begitu tinggi kepandaiannya. Penolong tadi tentu orang yang sudah kenal akan keadaan dan rahasia Thian-liong-pang. Kwi Lan yang tidak mengenal jalan, tidak tahu bahwa kudanya itu berlari menuju ke arah Sungai Kuning yang mengalir di sebelah timur Yen-an. Ia juga tidak tahu bahwa jalan ini pula yang diambil oleh rombongan Sin-seng Losu pagi tadi, menuju ke Tai-goan.
Hari telah menjelang senja. Ia segera membalapkan kudanya ketika melihat sebuah dusun jauh di depan. Perkampungan ini cukup besar dan Kwi Lan bermalam di rumah penginapan dusun itu. Semua orang kagum melihat gadis yang cantik jelita dan yang menunggang seekor kuda hitam yang indah ini, namun Kwi Lan tidak ambil peduli. Setelah pengalamannya di Thian-liong-pang, Kwi Lan bersikap hati-hati dan tidak mau mencari perkara. Mulailah ia tahu bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang yang berilmu tinggi. Ia ingin bertemu dengan ibu kandungnya dan menurut penuturan Hauw Lam, di Khitan banyak terdapat orang-orang pandai sehingga seorang tokoh hitam seperti Jin-cam Khoa-ong itu pun menjadi buronan Khitan. Ia akan menemui Ibu kandungnya dan kalau mungkin, memperdalam kepandaiannya.
Pada keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan dan hari telah lewat senja ketika ia menghentikan kudanya di tepi Sungai Kuning yang airnya melimpah-limpah dan amat lebar. Ia duduk di atas kudanya sambil termenung. Bagaimana ia dapat melanjutkan perjalanan? Tidak ada jembatan, tidak ada perahu, dan tempat itu amat sunyi, tak tampak seorang pun manusia. Hanya dapat dilihat dari situ perahu-perahu nelayan jauh sekali dan ada di antara mereka yang sudah menyalakan lampu penerangan. Ia lalu menjalankan kudanya menyusuri sungai menuju ke kiri untuk mencari perahu yang kiranya akan dapat menyeberangkannya atau kalau tidak, ia akan mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam dan besok baru berusaha menyeberang.
Tiba-tiba dari jauh ia melihat sebuah perahu kecil meluncur cepat ke pantai. Itu tentu seorang nelayan, pikirnya. Mungkin dia bisa menolongku mencarikan sebuah perahu besar untuk menyeberang. Perahu kecil macam itu mana dapat menyeberangkan kudanya? Kwi Lan mempercepat larinya kuda ke arah pantai. Akan tetapi ia terlambat karena dari dalam perahu itu meloncat keluar bayangan hitam yang kemudian berlari amat cepatnya ke darat. Kwi Lan terkejut. Terang itu bukan nelayan biasa, pikirnya. Nelayan biasa mana bisa memiliki gin-kang yang sedemikian baiknya. Ia pun cepat membelokkan kudanya, mengikuti arah larinya orang itu.
Cuaca sudah mulai gelap dan Kwi Lan yang merasa tertarik, melanjutkan kudanya ke depan sambil mencari-cari dengan pandang matanya. Bayangan itu lenyap sudah. Gerakannya terlalu cepat dan melakukan pengejaran sambil menunggang kuda amat sukar. Selain itu, juga Kwi Lan meragu untuk mengejar secara sungguh-sungguh. Ia tidak tahu siapa orang itu dan mengapa berlari-lari dengan
cepatnya. Terang bukan nelayan dan ia tidak mempunyai keperluan sesuatu dengan orang itu. Hanya ia tadi ingin bertanya kalau-kalau orang itu dapat menunjukkan di mana ia dapat menyewa perahu untuk menyeberang bersama kudanya.
Sinar terang yang keluar dari kumpulan batu-batu gunung di pantai sebelah depan menarik perhatiannya. Sinar yang bergerak-gerak besar kecil itu tentulah sinar api unggun yang dinyalakan orang. Ada api unggun tentu ada orang dan kalau ada orang berarti ia akan bisa mendapatkan keterangan dan petunjuk yang diharapkan. Kini kuda hitam yang ditungganginya sudah mendekati deretan batu-batu padas yang tinggi dan dijalankan perlahan. Ternyata api unggun itu dinyalakan orang di dalam sebuah guha batu yang amat lebar. Ketika Kwi Lan yang masih duduk di atas kudanya tiba di depan mulut guha, ia melihat lima orang laki-laki di dalam guha.
Kedatangannya agaknya sudah dinanti mereka karena mereka sudah berdiri dan tangan kanan mereka sudah meraba gagang senjata masing-masing. Yang paling depan adalah seorang pemuda yang berambut panjang, berpakaian hitam dan berwajah tampan sekali. Kepalanya diikat tali dan di dahinya besinar sebuah batu permata kuning, Tiga orang yang lain juga sudah siap dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak kaget dan marah. Adapun orang ke lima adalah seorang pendeta yang jenggotnya kasar dan jarang seperti kawat, tubuhnya tinggi besar dan di belakang punggungnya tampak gagang sebatang pedang.
"Siauw-ya (Tuan Muda), dia adalah Mutiara Hitam yang mengacau di Thian-liong-pang.."
Seorang di antara tiga orang di belakang pemuda tampan itu berseru. Pemuda itu memandang dengan mata bersinar tajam, lalu membentak ke arah Kwi Lan, suaranya nyaring.
"Mau apa engkau datang ke sini?"
Kwi Lan tersenyum. Ia tidak memandang mata kepada orang-orang Thian-liong-pang ini dan melihat batu permata di dahi Si Pemuda Tampan, Ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu seorang tokoh pula. Akan tetapi ia sedikit pun tidak takut dan karena ia kemarin tidak melihat pemuda ini di antara yang mengeroyoknya, ia pun tiada nafsu untuk melayani mereka.
"Aku tidak butuh kalian, aku hanya perlu seorang nelayan yang dapat menyeberangkan aku dan kudaku."
Jawabnya, suaranya dingin. Biarpun ia tidak mengharapkan bantuan mereka ini, namun siapa tahu mereka dapat memberi keterangan tentang nelayan yang ia butuhkan. Sebelum pemuda dan tiga orang anggauta Thian-liong-pang itu menjawab, pendeta sai-kong yang berdiri paling belakang itu mengangkat tangan kiri ke atas, dan berkata.
"Siangkoan-kongcu, biarkan lohu menghadapinya"
Dengan langkah lebar pendeta ini maju. Setelah berhadapan dengan Kwi Lan, ia menjura dengan hormat, tersenyum-senyum dan jenggotnya yang kaku bergerak-gerak, matanya berkejap-kejap.
"Nona, sungguh Nona yang masih begini muda amat mengagumkan. Tadi lohu sudah mendengar penuturan saudara-saudara Thian-liong-pang akan sepak terjang Nona yang berani menghadapi Cap-ji-liong. Ha-ha-ha, sungguh gagah. Seorang muda segagah Nona ini patut dikagumi dan sama sekali tidak pantas dimusuhi. Orang gagah mengutamakan persahabatan sesama orang gagah, maka terimalah rasa kagum lohu"
Kwi Lan yang melihat kakek ini merangkapkan kedua tangan, membawa kedua tangan ke depan dada sambil bergerak memberi hormat, tersenyum mengejek. Dengan gerakan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat turun dari atas punggung kudanya, menghadapi kakek itu dan menjura sambil berkata.
"Kau orang tua terlalu merendah"
Biarpun kelihatannya seperti orang menjura dan memberi hormat, namun kedua tangan sai-kong itu bergerak ke depan dan menyambarlah angin pukulan dahsyat ke arah dada Kwi Lan. Gadis itu hanya menjura dengan bibir tersenyum, agaknya seperti tidak tahu akan penyerangan orang, akan tetapi kakek itu merasa betapa tenaga dorongan kedua tangannya tadi seakan-akan membentur api dan membalik, menimbulkan rasa panas pada dadanya. Ia kaget sekali, akan tetapi masih merasa penasaran dan sambil tertawa dan berkata,
"Nona benar-benar hebat.."
Kedua tangannya membuka jari-jari tangan dan bergerak ke depan, yang kiri menotok ke arah pundak dan yang kanan menotok ke arah pergelangan tangan. Hebat serangan ini, namun masih saja tampak seakan-akan orang yang memuji dan menyentuh karena sayang dan kagum, sama sekali tidak kelihatan seperti orang menyerang. Padahal serangan itu kalau tepat mengenai sasaran, akan membuat tubuh Kwi Lan seketika lumpuh dan lemas.
"Totiang (panggilan pendeta) mengapa sungkan-sungkan"