Mutiara Hitam Chapter 20

NIC

Itu lengah, sekali meloncat jauh pergi dari situ. Setelah siap, sambil memaki-maki, mendadak ia menggerakkan kakinya meloncat jauh. Girang hatinya karena akalnya ini berhasil, buktinya ketika ia meloncat, tidak ada yang menjegal kakinya lagi. Akan tetapi, selagi ia merasa girang dan tubuhnya masih melayang di atas, tiba-tiba tubuhnya itu tanpa dapat Ia kuasai lagi, tertarik ke bawah dan terbanting di atas tanah. Ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia terbanting kembali di atas gundukan tanah, ia makin kaget dan berseru,

"Celaka.. mati aku di tangan siluman.."

"Heh-heh, siapa bilang mati itu celaka? Hidup sekedar hidup itulah yang celaka, apalagi hidup menghamba nafsu, lebih-lebih celaka"

Hauw Lam terkejut sekali. Karena suara itu terdengar dari bawah, ia lalu memandang ke bawah dan.. hampir ia terjengkang roboh kembali ketika melihat sebuah kepala di atas tanah. Kepala yang berdiri sebatas leher di atas tanah yang rambutnya riap-riapan, mukanya penuh cambang bauk, matanya melotot. Dengan muka pucat Hauw Lam memandang kepala itu, mengucek-ucek kedua matanya, memandang lagi dan bergidik. Kedua kakinya terasa lemas dan lumpuh, seluruh tubuhnya menggigil. Sambil menahan kedua kakinya agar tidak roboh saking lemas, Hauw Lam menghadap ke arah kepala di atas tanah lalu menjura dan berkata, suaranya gemetar,

"Saya.., Tang Hauw Lam.. selamanya ingin menjadi orang baik-baik.., harap anda jangan mengganggu saya.."

Kepala itu bergerak, menengadah dan matanya yang melotot itu menatap tajam, kemudian terdengar suara dari balik kumis tebal yang menyembunyikan mulut,

"Tidak mengganggu, hah? Kau menginjak-injak dan melangkahi kepalaku, masih bisa bilang tindak mengganggu?"

Melihat kepala itu bergerak-gerak dan mendengar mulut di balik kumis dapat bicara seperti manusia, mulai berangsur hilanglah rasa ngeri dan takut dari hati Hauw Lam.

Ia memandang lebih teliti lagi. Kepala itu di atas tanah den lehernya tersembul keluar dari tanah, agaknya tubuhnya terpendam. Kakek tua renta ini tadi bicara tentang "kepalaku", hal ini hanya berarti bahwa kakek itu masih mempunyai bagian tubuh yang lain. Andai kata ia seorang siluman dan tubuhnya hanya kepala itu saja, tentu tidak akan menyebut kepalaku. Pula, setelah kini ia memandang penuh perhatian, biarpun muka itu buruk penuh cambang bauk dan tertutup rambut yang riap-riapan, namun jelas bahwa itu kepala manusia, hanya entah bagaimana tubuh kakek itu terpendam ke dalam tanah kuburan dan entah bagaimana pula kepala itu tiba-tiba muncul sedangkan tadinya tidak ada apa-apa di situ. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu dan berkata.

"Locianpwe (Orang Tua Gagah), mohon maaf sebanyaknya apabila boanpwe (saya yang bodoh) telah melakukan kesalahan terhadap Locianpwe karena sesungguhnya boanpwe tidak tahu bahwa Locianpwe berada di sini dan tidak sengaja.."

"Wah-wah, membekuk-bekuk lidah pun tidak ada gunanya. Masa begini caranya orang minta maaf? Mulutnya bilang minta maaf akan tetapi berlutut di sebelah atas kepalaku? Terlalu.. terlalu.."

Kepala itu mengomel panjang pendek.

Hauw Lam membelalakkan matanya. Kakek ini terlalu aneh dan agaknya seorang yang suka berkelakar. Ia sendiri adalah seorang pemuda yang jenaka dan selalu riang gembira maka biarpun ia merasa mendongkol atas sikap kakek yang tidak puas dengan permintaan maafnya itu, ia memutar otak mencari akal.

"Baiklah, Locianpwe. Saya akan mohon maaf dan memberi hormat sepatutnya. Setelah berkata demikian Hauw Lam lalu mencabut goloknya dan dengan senjata ini ia menggali tanah di depan kepala itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, cepat ia dapat menggali sampai dalam, dan ia lalu masuk ke dalam lubang itu sehingga kini yang tampak di luar tanah hanyalah kepalanya saja yang ia angguk-anggukkan sambil mengulangi permintaan maafnya. Mulut kakek itu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Kau cocok untuk menjadi muridku. Kau banyak akal, tidak mudah putus asa dan menghadapi segala rintangan hidup dengan wajah gembira. Hayo naik"

Begitu kakek ini mengeluarkan kata-kata tubuh Hauw Lam mencelat ke atas. Pemuda ini kaget sekali dan menggerakkan tenaga untuk mengatur keseimbangan tubuh. Ketika ia berhasil turun dengan berdiri di atas tanah, ternyata kakek itu sudah keluar dari dalam tanah, kini duduk bersila di atas tanah. Sekilas pandang, ia kaget dan heran. Kakek itu kepalanya besar dan seperti kepala orang dewasa, akan tetapi tubuhnya kecil pendek seperti tubuh seorang anak berusia belasan tahun"

Maklum bahwa kakek yang tubuhnya aneh ini seorang sakti, ia lalu menjatuhkan diri kembali, berlutut di depan kakek itu.

"Demikianlah, Mutiara Hitam. Semenjak saat itu aku menjadi murid Bu-tek Lo-jin selama seratus hari. Aku tidak menerima ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi semua ilmu silat yang pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak itu, baru terbuka mataku akan ilmu yang sebenarnya."

Hauw Lam mengakhiri ceritanya.

Kwi Lan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali akan semua pengalaman Hauw Lam dan diam-diam ia merasa girang bahwa putera bibinya ini benar-benar seorang pemuda yang perkasa dan juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik. Perasaan hangat memenuhi dadanya ketika is menatap wajah yang tampan dan jenaka itu. Ia sudah merasa tertarik sekali, seakan-akan ia berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri. Perasaan ini mungkin timbul karena semenjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li seperti ibu kandungnya. Betapa tidak? Bibi Bi Li yang memeliharanya semenjak ia belum mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia menangis, yang memberinya makan kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda ini adalah anak kandung Bibi Bi Li. Apa bedanya dengan kakaknya sendiri?

"Wah, kau melamunkan apa?"

Tiba-tiba Kwi Lan terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentak kaget. Ia mendongkol juga akan watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar.

"Kenapa kau membentak-bentak orang?"

Hauw Lam tertawa.

"Siapa membentak-bentak? Aku hanya bertanya. Mengapa engkau melamun sedangkan aku sudah menanti sejak tadi memasang telinga setajam-tajamnya"

"Menanti apa? Memasang telinga untuk apa?"

"Waduh, bagaimana ini? Sejak tadi sampai letih mulutku bercerita tentang riwayatku, tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku selesai, kini kau bertanya aku menanti apa dan memasang telinga untuk apa? Tentu saja untuk mendengarkan ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang riwayat hidupmu"

Jawab Hauw Lam, penasaran.

Mendengar ini, Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi Kam Sian Eng, tidak mau pula bercerita tentang ibu kandungnya, Ratu Khitan yang belum pernah dilihatnya itu. Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa belum tiba saatnya. Maka ia lalu berkata,

"Perlu apa banyak cerita? Namaku, engkau sudah tahu."

"Siapa?"

"Mutiara Hitam."

"Wah, kenapa kau suka sekali mempermainkan aku? Aku sudah menceritakan namaku sendiri, Tang Hauw Lam.."

"Tapi aku mengenalmu sebagal Berandal saja, cukup. Dan kau mengenalku sebagai Mutiara Hitam. Apa artinya nama? Nama apa pun, juga apa bedanya? Yang penting mengenal orangnya dan melihat wataknya. Nama hanya kosong belaka"

Hauw Lam menggaruk-garuk belakang telinganya dan mulutnya menggumam lirih,

"Nama itu kosong belaka"

Eh, Mutiara Hitam, semuda ini kau sudah sepandai itu berfilsafat? Ataukah.. kau pernah patah hati?"

"Patah hati? Bagaimana hati bisa patah? Apakah hati itu seperti kayu kering.. macam ini?"

Kwi Lan mematahkan sebatang ranting kayu. Melihat wajah gadis itu bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw Lam tertawa.

"Sudahlah, tidak gampang mengajak kau bicara. Tidak mau menceritakan nama ya sudah, sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang tentu menarik sekali."

"Aku tidak punya riwayat. Lebih baik kau lanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau sebatang kara. Mana Ayah dan Ibumu?"

Untuk sesaat wajah yang jenaka dan lucu itu diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya sebentar saja karena kembali wajah yang tampan itu menjadi cerah ketika menjawab,

"Ibuku telah meninggal dunia dan.."

"Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?"

"Lho, Kenapa marah?"

Hauw Lam bertanya mendengar suara pertanyaan yang membentak itu dan melihat wajah yang masam.

"Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?"

Kwi Lan mengulang. Pemuda itu melongo. Dara yang cantik jelita seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan tetapi yang anehnya bukan main, memiliki watak yang sukar sekali dijajaki, sukar diduga.

"Yang bilang? Tentu saja Ayahku. Ayahku yang bilang bahwa Ibu telah meninggal dunia."

Sudah berada di ujung lidah Kwi Lan untuk menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu bohong akan tetapi dapat ditahannya.

"Dan Ayahmu di mana dia?"

"Ayah? Ayah tidak sayang kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, Ayah meninggalkan aku di kelenteng Bukit Kim-liong-san dan semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Nah, sudah lengkap kini riwayatku, sekarang ganti engkau.."

Ucapan Hauw Lam terhenti karena tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara orang. Tak lama kemudian muncullah tujuh orang penunggang kuda. Pakaian, topi, dan bahasa mereka membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang asing. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda besar dan baik. Akan tetapi tujuh ekor kuda tunggang mereka itu seperti tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor kuda yang dituntun oleh seorang di antara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih tinggi, tubuhnya ramping dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit kecil an bulunya hitam mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan bercahaya.

"Kuda betina yang hebat"

Hauw Lam terdengar memuji dengan suara lantang, matanya memandang ke arah kuda hitam itu penuh kekaguman. Akan tetapi Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu apanya yang hebat pada kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikannya. Sebaliknya, ia tertarik kepada tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka itu rata-rata berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan tinggi, membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam oleh sinar matahari.

Sementara itu, tujuh orang ini pun menahan kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan, dan agaknya tidak ada perbedaan antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan pandang mata Hauw Lam terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman. Pandang mata mereka yang penuh getaran nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, membuat dara ini menjadi jengah dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena mereka itu tidak mengeluarkan kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti beberapa helai rumput hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik ke arah mereka. Ia masih tetap duduk di atas akar pohon. Akan tetapi Hauw Lam sudah meloncat berdiri. Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak pula pengalamannya. Melihat sikap dan pandang mata tujuh orang itu kepada temannya, ia merasa mendongkol pula. Akan tetapi wajahnya berseri dan ia tersenyum lebar ketika berkata,

"Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan"

"Salam"

Tujuh orang itu menjawab, suara mereka rata-rata besar parau.

Senyum di mulut Hauw Lam melebar dan ia melangkah mendekati kuda hitam. Setelah kini dekat dan memandang penuh perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor kuda yang hebat, pikirnya. Ketika ia mencoba untuk menepuk-nepuk leher kuda hitam itu, si Kuda hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya kalau pemuda ini tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.

"Kuda hebat.."

Ia memuji pula.

Posting Komentar