“Ah ... ! Mana Ong-suheng tega mencuri barang-barang Lai-siocia yang cantik jelita itu!” Siok Lan ikut menggoda.
Ong Kai tak dapat menjawab godaan ini dan hanya tertawa malu.
“Ha ..., ha ..., ha ... ! Kalau aku tidak salah lihat, sebaliknya bahkan Ong-sute yang kecurian!”
“Apa maksudmu?” tanya Ong Kai dengan heran, akan tetapi Tan Hong hanya tertawa sambil melanjutkan perjalanannya menuju ke kampung untuk membagi-bagi hasil curiannya dan hasil curian Siok Lan. Juga Siok Lan merasa tidak mengerti lalu bertanya, “Hong-ko, apa maksudmu? Ong-suheng kecurian apa?”
“Ha, ha! Ong-sute memiliki apa yang pantas dan berharga untuk dicuri selain hatinya? Ia telah kecurian hatinya dan pencurinya tidak lain tentu Lai-siocia!”
Siok Lan juga tertawa gelid an Ong Kai pura-pura marah. “Sudahlah! Kalau kalian tetap menggodaku, aku takkan ikut ke desa-desa. “
Siok Lan dan Tan Hong tetap tertawa dan demikianlah, malam hari itu mereka bekerja membagi-bagi uang pendapatan mencuri dengan tertawa-tawa dan dalam suasana gembira.
Pada keesokan harinya, mereka memenuhi permintaan Lai Kin Tek dan mengunjungi rumah keluarga Lai yang kaya itu. Mereka disambut dengan gembira dan disuguhi masakanmasakan lezat dan mahal. Berkali-kali tuan rumah menyatakan kekaguman dan terima kasihnya dan Lai Hwa Eng sendiri bahkan turut menyambut tamu-tamunya karena di situ terdapat Siok Lan. Kedua orang gadis ini cepat dapat bergaul dengan mesra bagaikan dua orang sahabat lama. Siok Lan suka kepada Hwa Eng yang selain peramah, juga tidak malumalu dan pandai bercerita serta mempunyai pengertian ilmu surat yang membuatnya kagum. Sebaliknya, tiada habisnya Hwa Eng bertanya tentang ilmu silat yang dikaguminya kepada pendekar wanita ini.
Pada suatu saat Hwa Eng disuruh ibunya mengajak Siok Lan ke dalam kamar. Ibu Hwa Eng lalu menyuruh anaknya pergi meninggalkannya dengan Siok Lan berdua! Baik Siok Lan maupun Hwa Eng merasa heran sekali, melihat sikap orang tua ini. Setelah Hwa Eng meninggalkan kamar, nyonya Lai lalu berkata kepada Siok Lan, “Nona, harap kau tidak menganggap kami terlalu sembrono. Akan tetapi sayapun hanya mendapat perintah dari suamiku, yakni dapatkah kau memberi keterangan berapa usia Ong- enghiong dan apakah ia telah mempunyai tunangan?”
Siok Lan diam-diam merasa geli dan juga girang karena pertanyaan ini saja ia dapat menduga bahwa nyonya rumah ini ingin mengambil menantu Ong Kai si muka hitam yang telah menolong puterinya! Untung ia mengetahui tentang diri Ong Kai yang seperti kakaknya sendiri, maka ia lalu menuturkan segala hal ichwal pemuda itu, bahkan menuturkan pula betapa tunangan pemuda itu telah terbunuh hingga mereka bertiga sekarang melakukan perjalanan untuk mencari pembunuh dan membalas dendam. Nyonya Lai makin tertarik dan merasa kasihan, maka ia lalu minta kepada Siok Lan untuk suka menjadi perantara dalam hal ini. Siok Lan menyanggupi dan hendak menyampaikan hal ini kepada ayahnya yang menjadi guru dan wali pemuda yang telah kehilangan kedua orang tuanya itu, dan hendak menyampaikan pula kepada orang yang berkepentingan sendiri. Ia menyatakan bahwa sekembali mereka bertiga dari perantauan, hal ini akan segera diselesaikan. Tentu saja nyonya rumah menjadi girang sekali dan meyatakan terima kasihnya.
Ketika ketiga orang anak muda itu hendak minta pamit, keluarga Lai lalu menawarkan bantuan berupa uang untuk bekal mereka. Ong Kai mewakili kawan-kawannya menjawab, “Tak usah, Lai-lopeh, kami bertiga tidak perlu uang bekal. Kalau lopeh suka mengorbankan sedikit uang untuk menderma kepada rakyat miskin yang menderita korban banjir, itu sudah berarti sama dengan memberi sumbangan kepada kami.”
Bukan main heran hati Lai Kin Tek mendengar ucapan ini dan ketika melihat wajah ketiga orang pendekar muda ini kesemuanya tersenyum sebagai tanda bahwa ucapan Ong Kai ini memang cocok dengan suara hati yang lain, ia menjadi kagum dan timbullah perasaan hormatnya kepada ketiga orang itu. Bukan saja mereka ini masih muda dan gagah perkasa, akan tetapi juga berhati mulia dan dermawan! Pikiran ini makin mendorong keinginan hatinya untuk mengambil menantu Ong Kai!
***
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lagi, akhirnya ketiga orang pendekar muda itu tiba di kaki Gunung Pek-hoa-san yang tinggi dan penuh dengan hutan belukar dan liar. Bukit ini sukar sekali dinaiki karena tidak terdapat jalan maupun lorong menuju ke atas. Akan tetapi berkat ginkang mereka yang sempurna, Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan dapat juga mendaki ke atas.
Ketika mereka tiba di pinggir sebuah hutan liar, tiba-tiba ketiga orang muda ini terkejut dan heran melihat dua orang kakek duduk berhadapan di bawah sebatang pohon siong besar. Ketika mereka mendekat ternyata kedua orang kakek itu sedang enak-enak bermain catur!
Keadaan kedua kakek ini aneh sekali. Yang seorang adalah seorang tua berusia sedikitnya tujuh puluh tahun, bertubuh kurus tinggi dan rambutnya yang masih hitam itu beriap-riapan sampai ke pundak. Akan tetapi pakaiannya terbuat dari kain yang ditambaltambal hingga nampak aneh sekali, karena pakaian ini seperti terbuat dari bahan yang puluhan macam hingga berkembang-kembang aneh dan ramai! Kedua kakinya telanjang hingga ia nampak seperti seorang pengemis jembel. Sambil memperhatikan biji-biji catur, ia sering kali menggaruk-garuk rambut di kepalanya seakan-akan di atas kepalanya banyak terdapat kutu rambut yang gatal!
Juga kakek yang seorang lagi tak kalah aneh. Usianya juga sudah sangat tinggi, mungkin lebih dari tujuh puluh tahun. Rambut di kepalanya sudah putih berkilat bagaikan benang-benang perak, akan tetapi mukanya yang penuh dan gemuk itu seperti muka kanakkanak, begitu segar dan kemerah-merahan! Kepalanya bundar dan rambutnya diikalkan ke atas, diikat dengan tali terbuat dari kulit pohon yang kasar. Tubuhnya gemuk pendek dan bajunya tebal sekali, berwarna biru dan sudah luntur. Sepasang kakinya memakai sepatu yang bawahnya terbuat daripada besi dan kelihatan sangat berat. Seperti lawannya bercatur, kakek ini menatap biji-biji catur dengan penuh perhatian dan dengan kening dikerutkan seakan-akan ia menghadapi persoalan yang amat rumit!
Kedua orang kakek itu sama sekali tidak memperdulikan ketiga orang muda yang datang mendekati mereka. Tan Hong dan kedua orang kawannya yang berpandangan tajam dapat menduga bahwa kedua orang kakek ini tentu orang-orang berilmu tinggi yang mengasingkan diri di situ.
Baik Tan Hong maupun Ong Kai, keduanya adalah penggemar permainan catur yang pada masa itu sedang populer dan banyak digemari orang. Bahkan kedua pemuda ini boleh disebut ahli-ahli yang pandai bermain catur. Pernah kedua orang muda itu di waktu senggang bermain catur di sebuah rumah penginapan dan keduanya mempunyai kepandaian seimbang. Maka tak mengherankan apabila mereka kini lalu mendekati kedua kakek itu untuk menonton pertandingan catur di tempat sunyi ini. Sebaliknya, Siok Lan yang tidak mengerti akan permainan ini, setelah memandang sebentar dengan tak mengerti, lalu menjadi bosan dan oleh karena semenjak pagi mereka belum makan hingga merasa lapar sekali, gadis ini lalu masuk ke dalam hutan untuk mencari buah-buahan yang dapat dimakan.
Tanpa disengaja dan secara otomatis, kedua orang pemuda itu lalu berdiri di belakang kedua kakek itu, Tan Hong berdiri di belakang kakek yang berbaju tambal- tambalan dan Ong Kai berdiri di belakang kakek yang berambut putih. Baru saja kedua orang kakek itu menggerakkan biji-biji catur mereka dua kali, maklumlah kedua anak muda ini bahwa kedua kakek itu adalah pemain-pemain catur yang baru saja dapat bermain dan permainan mereka amat lemah sekali! Gerakan-gerakan yang mereka buat adalah gerakan yang ngawur dan lemah, akan tetapi oleh karena kepandaian mereka yang dangkal itu berimbang, maka pertandingan itupun berjalan lama dan ramai juga. Agaknya oleh karena berada di pegunungan dan jarang melihat ahli-ahli catur di kota, kedua kakek ini tidak mendapat kemajuan dalam permainan mereka.
Pada saat itu tiba giliran kakek berambut putih yang harus menggerakkan biji caturnya. Akan tetapi sampai lama ia tidak dapat mengambil keputusan harus menggerakkan yang mana, oleh karena agaknya Raja biji caturnya terancam oleh Gajah lawan. Kakek ini menggigit jari telunjuknya dan memandang ke arah papan catur dengan bingung.
Melihat keraguan dan kebingungan kakek di depannya itu, Oang Kai menjadi tidak sabar dan tanpa disengaja ia berkata, “Gerakkan Kuda ke kiri menjaga serangan Gajah dari depan Raja!” Ong Kai sebetulnya tidak sengaja hendak menasehati kakek itu, akan tetapi jalan pikirannya telah menggerakkan lidahnya hingga tanpa disengaja ia mengeluarkan suara hatinya melalui mulut!
Untuk sesaat kedua kakek itu tak bergerak, juga tidak memandang kepada pemuda yang berkata-kata tadi. Kemudian, kakek berambut putih itu berkata, “Ha, benar juga! Gerakan bagus!” Ia menengok dan memandang kepada Ong Kai dengan kedua mata berseri, lalu ia menggerakkan Kudanya menghadang di depan Rajanya hingga Gajah lawannya tak dapat menyerang!
Sebaliknya, kakek yang seperti pengemis jembel itupun mengangkat kepala memandang ke arah Ong Kai. Pemuda ini terkejut sekali dan dadanya berhenti berdetak untuk sesaat ketika melihat betapa dari kedua mata si jembel tua itu bersinar pandangan tajam yang seakan-akan menembusi kepalanya! Kakek jembel ini menjadi marah dan sikapnya tiada ubahnya seperti seorang anak kecil yang diganggu permainannya hingga menjadi kalah! Tan Hong juga melihat kemarahan kakek ini kepada Ong Kai, maka ia buru-buru berkata, “Majukan Prajurit di kiri mengancam Kuda!”
Kini kakek jembel itu menatap kembali ke atas papan catur, dan tak lama kemudian ia tertawa terkekeh dengan girang, lalu mengangkat muka memandang Tan Hong dengan girang dan menggerakkan biji caturnya menurut petunjuk Tan Hong! Tiba giliran kakek berambut putih itu yang menatap wajah Tan Hong dengan tajam dan marah hingga Tan Hong menjadi tercengang dan kaget! Ia maklum bahwa nesehatnya kepada kakek jembel tadi telah membuat kakek berambut putih itu marah sekali kepadanya! Memang kakek berambut putih itu marah oleh karena ia tidak tahu bagaimana harus menolong Kudanya yang kini terancam bahaya maut!
Ong Kai dan Tan Hong yang berdiri berhadapan di belakang kedua kakek itu saling pandang dan dari sinar mata mereka yang berpandangan, mereka lalu membuat persetujuan untuk melanjutkan bantuan masing-masing oleh karena sudah kepalang tanggung dan agar jangan sampai kedua kakek itu menjadi marah kepada mereka! Maka Ong Kai lalu cepat berkata, “Balas mengancam Gajah dengan majukan Prajurit kanan ke depan!”