Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 29

NIC

Sejenak dua orang kakak beradik itu diam. Mereka tidak berani membantah lagi karena memang keputusan ayah mereka itu mereka anggap sudah seadil-adilnya. Tidak ada unsur paksaan, dan tidak ada masalah lagi.

“Bagaimana, kalian setujukah? Hayo katakan kalau setuju dan kalau tidak setuju juga katakan terus terang dan kemukakan alasannya,” kata Hartawan Ui itu.

“Maaf, ayah. Saya sama sekali bukan tidak setuju, bahkan mendukung keputusan ayah yang sudah adil itu. Akan tetapi, kita harus memikirkan kemungkinan ketiga. Kemungkinan ketiga yang akan menghancurkan sama sekali rencana ayah yang amat baik ini.”

“Hemm, kemungkinan ketiga yang bagaimana itu?” Hartawan Ui bertanya dengan alis berkerut. Hatinya sudah senang dengan keputusannya yang disetujui kedua orang anaknya itu dan yang dianggapnya merupakan rencana yang pasti berhasil karena tidak ada halangan apapun lagi. Maka adanya “kemungkinan ketiga” yang dikatakan Ui Kiang ini membuat dia gelisah.

“Kemungkinan itu, ayah, adalah bagaimana kalau di antara Kong-te dan saya tidak ada yang suka atau cocok dengan gadis itu? Bagaimana kalau misalnya ia cacat atau. jelek sekali wajahnya sehingga kami

berdua tidak suka sama sekali?”

“Wah, benar sekali itu, ayah! Lebih celaka lagi, kalau ia ternyata seorang gadis yang sesat dan jahat, mengingat bahwa ayah tirinya juga sesat dan jahat, tentu biar matipun aku tidak sudi menjadi suaminya!” kata Ui Kong penuh semangat.

Hartawan Ui menghela napas panjang, “Mudah-mudahan tidak begitu dan aku percaya tidak akan muncul kemungkinan ketiga itu. Aku ingat benar bahwa Lim Sun seorang laki-laki yang berwajah tampan, sedangkan isterinya juga lembut dan cantik. Suami isteri itu memiliki watak yang amat baik. Tidak mungkin kalau anak tunggalnya cacat badan dan batinnya. Kecuali kalau Thian menghendaki lain apa boleh buat, kita akan bicarakan lagi seandainya memang terjadi kemungkinan ketiga itu. Bersiaplah kalian, besok pagi-pagi kita berangkat ke kuil Ban-hok-si!” Kuil Ban-hok-si adalah sebuah kuil besar di mana dipuja beberapa tokoh dewa. Akan tetapi yang membuat Ban-hok-si (Kuil Selaksa Rejeki) terkenal adalah pemujaan terhadap Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang patungnya ter-buat dari emas terukir indah.

Patung Dewi Kwan Im emas itu merupakan hadiah dari Kaisar Yung Lo yang memindahkan kota raja dari Nan-king di selatan ke Peking di utara, setelah dia berhasil merampas singasana dari keponakannya sendiri, Kaisar Hui Ti. Kaisar Yung Lo adalah putera dari Kaisar Thai Cu atau yang tadinya bernama Cu Goan Ciang, pendiri dinasti Beng. Melihat keponakannya diangkat menjadi kaisar, dia merasa lebih berhak maka dia yang menjadi panglima berkedudukan di Peking lalu memberontak, menyerbu ke Nanking dan merampas kedudukan kaisar. Dia menjadi kaisar dan berkedudukan di kota raja Peking. Ketika kisah ini terjadi, Kaisar Yung Lo telah memerintah selama kurang lebih sepuluh tahun.

Ketika Yung Lo menyerbu ke selatan untuk merampas tahta kerajaan, dia terpisah dari pasukannya dan sudah terkepung pasukan tentara selatan. Dia melarikan diri ke kuil Ban-hok-si itu dan bersembunyi di dalam kuil. Secara aneh sekali, pasukan selatan yang melakukan pengejaran dan pencarian tidak dapat menemukannya. Padahal, Yung Lo bersembunyi di bawah meja patung Kwan-im Pouwsat yang tertutup kain. Kalau dia dapat ditemukan tentu akan dikeroyok dan tewas. Tentara musuh sudah memasuki ruangan itu, namun tiada seorangpun menyingkap kain dan menemukannya.

Peristiwa yang ganjil ini oleh Kaisar Yung Lo dianggap sebagai perlindungan Kwan-im Pouwsat kepadanya, maka dia lalu melanjutkan penyerbuannya ke selatan. Setelah dia berhasil merebut tahta kerajaan Beng dari tangan keponakannya, Kaisar Hui Ti, dia lalu memerintahkan kepada seorang ahli pembuat patung emas terpandai untuk membuatkan patung Kwan-im Pouwsat dari emas itu dan menaruhnya di Kuil Ban-hok-si sebagai pengganti patung yang sudah lama dan buruk.

Demikianlah, riwayat patung itu menambah kepercayaan penduduk, apalagi ditambah kesaksian mereka yang merasa tertolong dan terpenuhi permohonannya melalui Dewi Kwan Im, maka kini Kuil Ban-hok-si menjadi kuil yang dikunjungi banyak orang. Apalagi pada hari-hari tertentu, seperti pada hari itu yang merupakan hari sembahyangan umum, menyembahyangi arwah para leluhur, kuil itu menjadi ramai sekali.

Banyak sekali pengunjung, bukan hanya mereka yang memang hendak sembahyang, melainkan banyak di antara mereka yang sekadar melihat-lihat keramaian. Mereka yang membayar kaul karena merasa permohonan mereka terpenuhi, ada yang menyewa para pemain ba-rong-sai, liong (naga) dan po-te-hi (wayang golek). Banyak pula penjaja makanan memenuhi pelataran kuil amat luas, melayani kebutuhan para pengunjung. Bahkan kesempatan itu dipergunakan pula oleh muda-mudi untuk mencari jodoh. Siapa tahu, berkat kemurahan hati Dewi Kwan Im, mereka akan saling berkenalan dan menemukan jodohnya di tempat itu!

Sementara itu, ketika Ong Siong Li kembali dari rumah Hartawan Ui dan menceritakan pertemuan dan percakapannya dengan Ui Cun Lee kepada Bwee Hwa, berbagai macam perasaan teraduk dalam hati gadis itu. Ia merasa bersyukur bahwa calon ayah mertua pilihan ibunya itu ternyata seorang hartawan yang dermawan. Hal ini tentu saja menyenangkan hatinya. Coba andaikata ia mendengar bahwa calon ayah mertuanya itu seorang penjahat seperti mendiang ayah tirinya, tentu saja ia akan menolak perjodohan itu mentah-mentah! Ia mendengar pula bahwa Nyonya Ui telah meninggal dunia dan bahwa Ui Cun Lee mempunyai dua orang putera, keduanya belum menikah. “Karena kedua orang putera Paman Ui Cun Lee itu masih belum menikah, maka menurut dia, yang berhak menikah lebih dulu adalah putera sulungnya yang bernama Ui Kiang. Ternyata Paman Ui seorang yang bijaksana sekali, Hwa-moi. Biarpun dia setuju untuk memenuhi janji mendiang ibumu dan ibu pemuda itu, namun dia tidak mau memaksakan kehendaknya kepada kalian. Dia ingin agar engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan puteranya itu dan kalau kalian berdua setuju, barulah pernikahan dapat dilangsungkan. Bukankah itu menunjukkan bahwa dia seorang tua yang bijaksana sekali?”

Bwee Hwa mengangguk-angguk. “Memang bijaksana sekali, Li-ko. Akan tetapi bagaimana aku dan Ui Kiang itu dapat bertemu dan berkenalan? Tentu aku merasa tidak enak dan sungkan untuk berkunjung ke rumah mereka.”

“Hal itupun dimaklumi oleh Paman Ui. Karena itu, dia sudah mengambil cara yang dapat kuterima karena merupakan rencana yang baik dan sopan. Besok pagi kebetulan ada upacara sembahyangan umum di Kuil Ban-hok-si, kurang lebih sepuluh lie (mil) di sebelah timur kota ini. Nah, dia dan kedua orang puteranya akan berada di sana untuk menyembahyangi arwah isterinya dan dia minta agara engkau dan aku berkunjung pula sana. Besok kuil itu menjadi tempat perkunjungan umum sehingga tidak akan ketahuan orang bahwa pertemuan itu diatur. Kita berdua akan bertemu mereka di sana, engkau dapat berkenalan dengan mereka dan kalian berdua yang sudah dijodohkan dapat menarik kesan hati masing-masing.”

Bwee Hwa menundukkan mukanya yang berubah merah. Biarpun ia seorang gadis bebas yang tidak pernah malu-malu namun bicara tentang perjodohan dengan Siong Li membuat ia tersipu juga.

“Berapa usia pemuda bernama Ui Kiang itu, Li-ko?”

“Aku tidak tahu, Hwa-moi. Paman Ui tidak mengatakan itu. Akan tetapi aku ingat....... ketika hendak meninggalkan rumah itu, di pekarangan aku berpapasan dengan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan gagah, usianya kurang lebih duapuluh satu tahun. Kami hanya saling mengangguk. Aku tidak tahu siapa dia dan kalau dia itu putera Paman Ui, engkau sungguh beruntung, Hwa-moi. Dia tampan, gagah, dan dari gerakan langkahnya, aku yakin bahwa dia itu seorang ahli silat yang pandai.”

“Hemm, itu bukan merupakan syarat yang paling utama untuk seorang calon suami, Li-ko.” “Ehh? Lalu syarat utamanya apa, Hwa moi?”

“Syarat utamanya adalah budi yang baik, bersusila, sikap yang adil dan penentang kejahatan, seperti.......

misalnya seperti engkau, Li-ko.”

Siong Li menjadi salah tingkah wajahnya merah mendengar ini. Akan tetapi dia pura-pura tidak mendengar ucapan terakhir itu dan berkata.

“Aku yakin bahwa putera Paman Ui tentu seorang yang baik budi, mengingat betapa Paman Ui sendiri seorang dermawan. Aku telah melihat betapa dia membagi-bagikan beras kepada orang-orang miskin.”

Biarpun agak segan dan sungkan, akhirnya Bwee Hwa tidak dapat menolak rencana Hartawan Ui untuk mempertemukan ia dan putera Hartawan Ui yang telah dijodohkan sejak kecil oleh ibu masing-masing. “Pakailah pakaianmu yang paling baru dan indah, Hwa-moi,” Ong Siong Li berkata sambil tersenyum. “Di tempat keramaian itu semua orang, terutama wanitanya, pasti mengenakan pakaian baru.”

“Hemm, kenapa aku harus memakai pakaian baru, Li-ko?” tanya Bwee Hwa. “Karena biasanya, orang dihargai karena pakaiannya!”

“Hemm, aku tidak pernah menilai seseorang dari pakaiannya! Mungkin banyak sekali orang jembel yang compang-camping pakaiannya memiliki budi pekerti yang jauh lebih bersih daripada seorang hartawan atau bangsawan yang berpakaian serba indah!”

Siong Li tersenyum. “Tepat! Akupun berpendapat demikian, Hwa-moi. Akan tetapi dalam hal ini lain lagi. Engkau akan bertemu dan berkenalan dengan calon suamimu. Tidak pantas kalau pakaianmu tampak kumal dan wajahmu muram. Hayolah, kenakan pakaian yang paling baik.”

Bwee Hwa sudah mandi dan berganti pakaian, walaupun bukan pakaiannya yang terbaik, melainkan pakaian biasa yang berwarna merah, warna kesukaannya. Ia menunduk, memandang ke arah pakaian yang dipakainya.

“Apakah pakaian ini tidak patut bagiku?”

Siong Li memandang dan terpaksa dia mengatakan apa yang menjadi suara hatinya. “Patut, pantas sekali! Akan tetapi kalau ada yang lebih baru lagi ”

“Sudahlah, Li-ko, hayo berangkat. Cerewet amat sih engkau! Kaya nenek-nenek saja!”

Siong Li tertawa dan mereka berdua lalu berangkat, keluar dari kota Ki-lok menuju ke timur. Ternyata jalan menuju ke kuil itu ramai sekali. Banyak orang berjalan ke arah kuil itu, ada pula yang naik kereta atau menunggang kuda. Dan benar saja seperti yang diperkirakan Siong Li tadi, kebanyakan orang-orang itu mengenakan pakaian baru seperti hendak merayakan pesta!

Tak lama kemudian sampailah mereka di depan Kuil Ban-hok-si. Di sana sudah terdapat banyak orang. Kurang lebih duaratus orang, laki-laki dan perempuan, tua muda, telah berkerumun di situ. Ada pula yang sedang sibuk melakukan upacara sembahyang. Di luar kuil terdapat banyak orang berjualan bermacam-macam makanan.

Posting Komentar