“Kong-te (adik Kong), kembali engkau memotong pembicaraan ayah. Kenapa engkau begitu kasar?” tegur Ui Kiang.
Ui Kong mengangguk kepada ayahnya dan berkata, lebih halus, “Maafkan aku, ayah.”
“Sudahlah, kalian dengarkan saja baik-baik. Lim Sun adalah seorang sahabat karibku di So-jiu, juga isterinya menjadi sahabat mendiang ibumu. Kami suami isteri bergaul dengan akrab. Kami saling berpisah ketika aku dan ibumu pindah ke Ki-lok ini. Akan tetapi sebelum kami berpisah, ibumu dan isteri Lim Sun telah saling berjanji bahwa mereka berdua kelak akan menjodohkan anak masing-masing. Mereka mempunyai seorang anak perempuan.”
Kakak beradik itu terkejut dan otomatis mereka menoleh dan saling berpan-dangan. Ui Kong sudah menggerakkan mulutnya, akan tetapi baru saja bibirnya terbuka, belum sempat bersuara, kakaknya sudah memberi isyarat dengan telunjuk menekan mulut agar adik itu tidak memotong cerita ayah mereka. Ui Kong teringat dan menutup bibirnya rapat-rapat! “Tadinya aku hanya mendengar bahwa Lim Sun telah tewas terbunuh penjahat dan anak isterinya hilang entah ke mana. Akan tetapi kemudian muncul Ong Siong Li itu dan dialah yang bercerita banyak tentang keluarga Lim Sun. Dia bercerita bahwa Lim Sun terbunuh oleh seorang kepala perampok berjuluk Kauw- jiu Pek-wan dan isterinya dipaksa menjadi isteri perampok itu, sedangkan anaknya juga menjadi anak tiri si perampok.”
Tiba-tiba Ui Kong melompat berdiri dari kursinya. “Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok! Jahanam busuk itu memang jahat sekali. Pernah aku bersama beberapa orang suheng (kakak seperguruan) mencari untuk membasminya, akan tetapi dia menghilang dan tak seorangpun tahu di mana dia berada! Sungguh keji dan biadab! Sudah membunuh suaminya, memaksa isterinya untuk menikah dengannya pula!”
“Kong-te, tidak bisakah engkau diam sejenak agar ayah dapat melanjutkan ceritanya?” tegur Ui Kiang marah.
Ui Cun Lee menghela napas panjang. Dua orang anaknya itu memiliki sikap yang demikian jauh berbeda, akan tetapi keduanya memiliki kebenaran masing-masing. Kalau Ui Kiang mengutamakan sikap baik bersusila, Ui Kong lebih mengutamakan sikap gagah menentang kejahatan.
“Menurut cerita Ong Siong Li, anak perempuan yang bernama Lim Bwee Hwa itu kemudian menjadi seorang gadis yang lihai ilmu silatnya. Kemudian, seorang sakti yang entah siapa namanya aku lupa lagi, merampas Lim Bwee Hwa dari tangan ayah tirinya kemudian dijadikan murid orang sakti itu. Nah, setelah dewasa, Lim Bwee Hwa itu mencari ibunya yang setelah bertemu dengannya, mati karena sakit dan terlantar, sedangkan Kauw-jiu Pek-wan menikah lagi. Lim Bwee Hwa lalu membunuh ayah tiri yang juga pembunuh ayah kandungnya dan menyia-nyiakan ibunya itu!”
“Bagus! Hebat……!” Ui Kong bersorak, akan tetapi teringat akan teguran kakak-nya, dia melirik kepada kakaknya dan duduk.
“Sebelum ibunya mati, Nyonya Lim Sun memesan kepada Lim Bwee Hwa bahwa gadis itu telah dijodohkan dengan puteraku seperti telah dijanjikan oleh mendiang ibu kalian. Maka, gadis itu lalu mencari sampai di kota ini dan ia me-nyuruh Ong Siong Li, yang menurut cerita pemuda itu menjadi sahabat baiknya, untuk menjadi walinya, menemuiku dan membicarakan urusan perjodohan ini. Nah, bagaimana menurut pendapat kalian? Karena ibumu sudah tidak ada, terpaksa hanya dengan kalian aku dapat berunding. Akan tetapi, akupun tidak ingin mengingkari janji yang sudah diucapkan ibumu.”
Kembali Ui Kiang dan Ui Kong saling pandang. Mulut mereka tidak mengatakan sesuatu, akan tetapi pandang mata mereka menyatakan berbagai macam perasaan. Terkejut, heran, ragu, cemas dan bimbang, bahkan seolah takut kalau-kalau dirinya terpilih oleh ayah mereka harus menikah dengan gadis yang sama sekali tidak mereka kenal itu!
“Ui Kiang, engkau lebih dulu mengatakan, bagaimana menurut pendapatmu menghadapi persoalan ini?” tanya Ui Cun Lee kepada anak sulungnya.
Ui Kiang terkejut, lalu memandang kepada ayahnya dan berkata dengan tenang dan lembut.
“Tidak dapat disangkal lagi, ayah. Pesan ibu yang sudah meninggal merupakan pesan wasiat yang sama sekali tidak boleh diabaikan dan harus dilaksanakan. Janji mendiang ibu harus dipenuhi, tidak boleh diingkari karena hal itu menyangkut kehormatan keluarga ibu, yaitu ayah, saya dan Kong-te. Karena itu, sayapun setuju kalau ayah hendak memenuhi janji ibu itu. Adapun siapa di antara saya dan Kong-te yang harus memenuhi janji itu dan menjadi jodoh Nona Lim Bwee Hwa, hal itu saya kira harus dipertimbangkan dengan penuh kebijaksanaan. Menurut cerita ayah tadi, nona itu adalah seorang ahli silat yang pandai, seorang gadis pendekar. Keadaannya itu sama benar dengan keadaan Kong-te, maka saya kira mereka berdua akan lebih cocok dan serasi untuk menjadi suami isteri. Begitulah pendapat saya, ayah. Maafkan kalau ada kesalahan dalam kata-kata saya tadi.”
Ui Cun Lee mengangguk-angguk senang. Pendapat putera sulungnya itu memang cocok sekali dengan pendapatnya sendiri. Memang, kalau dilihat dari keadaannya, gadis itu lebih cocok menjadi isteri Ui Kong, sama-sama ahli silat dan berjiwa pendekar!
Kini orang tua itu memandang kepada anak bungsunya. “Dan sekarang aku minta pendapatmu, Ui Kong!”
Ui Kong juga terkejut. “Aku, ayah? Ah, aku sih setuju dengan pendapat Kiang-ko bahwa janji mendiang ibu harus ditepati. Itu merupakan keharusan! Kalau tidak, berarti kita mengkhianati ibu. Akan tetapi aku sama sekali tidak setuju dengan pendapat Kiang-ko bahwa akulah orangnya yang tepat menjadi suami gadis itu. Mana ada aturan seperti itu? Kiang-ko adalah saudara tua, anak sulung! Masa kakak sulung belum menikah, adik bungsu harus menikah lebih dulu melangkahi kakaknya? Tidak mungkin ini, ayah. Aku tidak mau menjadi terkutuk karena kesalahan ini. Kiang-ko yang tepat untuk menaati pesan ibu dan menikah dengan Nona Lim Bwee Hwa itu. Dia seorang siucai (sastrawan) dan Nona Lim Bwee Hwa seorang lihiap (pendekar wanita). Alangkah sudah serasinya ini. Kelak anak mereka tentu menjadi bun- bu-cwan-jai (ahli sastra dan silat)! Ayah akan mempunyai cucu-cucu yang hebat!”
Mendengar ini, Ui Kiang cemberut dan mengerutkan alisnya, akan tetapi Ui Cun Lee tertawa. Pendapat putera bungsunya itu pun cocok dengan pendapatnya. Akan tetapi dia teringat akan kericuhan ini dan menghela napas panjang.
“Inilah yang membuat hatiku bingung. Memang, kalau mengingat kepatuhan, seharusnya Ui Kiang yang menikah lebih dulu, akan tetapi kalau mengingat keahlian yang sama, agaknya Ui Kong lebih tepat menjadi jodoh gadis itu.”
“Akan tetapi, apakah ayah sudah memutuskan?” kedua orang kakak beradik itu bertanya, suara mereka hampir berbareng.
“Belum. Biarpun terkadang aku gelisah dan jengkel memikirkan betapa sampai sekarang, setelah Kiang-ji (anak Kiang) dan Kong-ji (anak Kong) berusia duapuluh empat dan duapuluh satu tahun belum juga mau menikah, akan tetapi dalam urusan ini aku tidak mau memaksa kalian. Kalian harus menentukan jodoh kalian masing-masing. Akan tetapi, aku telah mengambil keputusan agar janji mendiang ibu kalian tidak kita ingkari, dan kalian berdua juga menyetujui hal itu, maka aku telah mengambil suatu keputusan.”
“Keputusan yang bagaimanakah itu, ayah?” tanya Ui Kong dan kedua orang pemuda tampan itu menanti jawaban ayah mereka dengan jantung berdebar tegang.
“Keputusanku ini telah kusampaikan kepada Ong Siong Li dan diapun sudah menyetujuinya. Besok pagi- pagi, kita bertiga akan pergi sembahyang untuk arwah ibumu di Kuil Ban-hok-si di sebelah timur kota itu dan pada waktu itu, Ong Siong Li akan mengajak Lim Bwee Hwa ke kuil itu, melihat orang-orang yang melakukan upacara sembahyang. Dengan demikian kalian dapat bertemu dan berkenalan dengan Lim Bwee Hwa dan kita lihat saja nanti, siapa di antara kalian yang suka dan bersedia menjadi calon suaminya.”
“Akan tetapi, ayah. Bagaimana kalau pilihan itu jatuh kepadaku? Aku tidak mau, tidak berani melangkahi Kiang-ko dan menikah lebih dulu.”
“Kong-te (adik Kong), jangan hiraukan hal itu. Aku tidak apa-apa walau engkau melangkahiku dan menikah lebih dulu. Aku rela sepenuhnya!”
“Akan tetapi aku yang akan celaka, kualat! Arwah ibu juga tentu akan marah besar kepadaku kalau ia melihat aku melangkahimu dan menikah lebih dulu!”
“Sudahlah jangan ribut. Kalian berdua harus mau saling mengalah sedikit. Begini saja. Kalau yang merasa suka itu Kiang-ji, maka tidak ada masalah dan dia boleh menikah dengan Bwee Hwa, akan tetapi seandainya yang cocok dan suka itu Kong-ji, maka dia akan bertunangan dulu dengan Bwee Hwa dan baru akan dilangsungkan pernikahan kalau Kiang-ji sudah mendapatkan jodohnya. Nah, ini merupakan perintah yang tidak boleh kalian bantah lagi!”