Halo!

Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 27

Memuat...

“Ong Siong Li, harap sebut saja Siong Li, paman,” kata Siong Li dengan ramah. Diapun langsung menyebut paman tanpa ragu lagi, melihat sikap hartawan itu yang ramah dan akrab.

Ui Cun Lee tersenyum, senang mendengar pemuda itu menyebutnya paman. Dia adalah seorang yang biarpun kaya raya, berwatak sederhana dan tidak suka disanjung-sanjung dengan penghormatan yang sifatnya menjilat dan bermuka-muka.

“Baik, Siong Li, dengan begini kita dapat bicara leluasa dan akrab. Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau yang semuda ini menjadi wakil keluarga Lim Sun di So-jiu. Sudah lama sekali kami tidak pernah berhubungan, bahkan aku mendengar bahwa keluarga itu tertimpa malapetaka. Kabarnya Lim Sun tewas di tangan penjahat dan isterinya beserta anaknya telah hilang. Sejak itu aku tidak pernah mendengar apa-apa lagi dari mereka dan kini tahu-tahu engkau muncul dan mengaku sebagai wakil mereka. Bagaimana ceritanya? Aku tertarik sekali!”

“Ceritanya panjang, Paman Ui. Kabar yang paman dengar itu memang benar. Paman Lim Sun belasan tahun yang lalu, ketika melakukan perjalanan dengan isteri dan puteri tunggalnya, di tengah perjalanan dihadang seorang perampok. Paman Lim Sun dan para pengawalnya terbunuh. Isteri dan puterinya dilarikan perampok yang kemudian memaksa Bibi Lim Sun menjadi isterinya, dan puterinya menjadi anak tiri perampok yang berjuluk Kauw-jiu Pek-wan itu.”

Siong Li lalu menceritakan tentang Bwee Hwa yang dilarikan Sin-kiam Lojin, kemudian menjadi muridnya dan betapa akhirnya Bwee Hwa berhasil membunuh Kauw-jiu Pek-wan, bertemu ibu kandungnya yang meninggal karena sakit. “Ketika hendak menghembuskan napas terakhir, ibu kandung nona Lim Bwee Hwa meninggalkan pesan kepada puterinya itu bahwa nona Lim Bwee Hwa sejak kecil sudah dijodohkan dengan putera Paman Ui Cun Lee di Ki-lok. Karena hendak memenuhi pesan terakhir ibu kandungnya, maka Nona Lim Bwee Hwa mencari ke sini dan saya menjadi wakil keluarga Lim atau wali nona Lim Bwee Hwa untuk menemui paman dan menceritakan ini semua.”

Ui Cun Lee mengangguk-angguk dan memandang pemuda itu dengan mata penuh selidik. “Dan ada hubungan keluarga apakah kalian dengan nona Lim Bwee Hwa?”

“Ah, saya hanya seorang sahabat, paman. Secara kebetulan saja saya bertemu dengannya dalam perjalanan dan bersama-sama menentang kejahatan. Karena melihat ia tidak mempunyai sanak keluarga, maka saya memberanikan diri menjadi walinya.”

Kembali Ui Cun Lee mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang jarang.

“Ibunya anak-anakku juga sudah meninggal dunia. Walaupun begitu aku tidak ingin mengingkari janji yang sudah dikeluarkan mendiang isteriku dan aku setuju saja kalau janji itu dipenuhi dan seorang puteraku menikah dengan puteri mendiang sahabatku Lim Sun. Akan tetapi ada satu hal yang tidak dapat dipaksakan, yaitu orang yang bersangkutan sendiri. Kedua orang puteraku itu memiliki watak yang aneh. Mereka sudah berusia duapuluh empat dan duapuluh satu tahun, akan tetapi selalu menolak bujukanku untuk berumah tangga. Sekarang, menghadapi janji ikatan perjodohan ini, tentu saja aku harus menanyakan pendapat mereka yang bersangkutan. Dan tentu saja yang harus menikah lebih dulu adalah puteraku yang tertua, Ui Kiang. Dan untuk mengetahui pendapatnya, tentu saja jalan satu- satunya adalah mempertemukan Ui Kiang dengan Lim Bwee Hwa. Kalau Ui Kiang setuju untuk menikah dengan Lim Bwee Hwa, tentu saja akupun tidak keberatan sama sekali. Bagaimana pendapatmu sebagai wakil keluarga Lim, Siong Li?”

Siong Li mengangguk, kagum akan kebijaksanaan hartawan itu. “Pendapat paman itu baik sekali. Akan tetapi Nona Lim Bwee Hwa adalah seorang pendekar wanita dan ia memiliki harga diri yang tinggi. Kiranya akan sukar membujuknya untuk datang ke rumah paman. Sebagai seorang gadis terhormat tentu saja ia merasa malu kalau harus datang ke rumah calon jodohnya.”

“Hemm, aku mengerti dan itu menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang menjaga tinggi kehormatannya. Bagus sekali.”

“Lalu bagaimana sebaiknya diatur agar mereka berdua dapat saling bertemu, paman?”

“Begini saja. Di sebelah timur kota ini, sekitar sepuluh li (mil) dari sini, terdapat sebuah kuil, yaitu Ban- hok-si. Besok pagi kami sekeluarga akan melakukan sembahyang di sana. Nah, engkau ajaklah Lim Bwee Hwa ke sana sehingga kalian dapat bertemu dengan kami dan perkenalkan Bwee Hwa kepada kami. Dengan demikian, pertemuan ini seolah secara kebetulan dan bukan berarti Bwee Hwa mendatangi kami.”

Siong Li mengangguk. “Usul paman itu baik sekali. Saya akan mengajak ia ke kuil Ban-hok-si besok pagi.”

Siong Li lalu berpamit dan keluar dari gedung itu. Di pekarangan di mana masih terjadi kesibukan membagi beras, dia berpapasan dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali. Dari pakaiannya saja, walaupun pakaian itu tidak terlalu mewah, dapat diduga bahwa pemuda itu adalah seorang kongcu (tuan muda) yang kaya. Pandang mata pemuda itu tajam sekali dan ketika berpapasan, dia memandang Siong Li penuh selidik. Siong Li mengangguk dan pemuda itu membalas dengan anggukan.

Setelah pemuda itu memasuki ruangan tamu, Ui Cun Lee masih duduk termenung di atas kursinya. Orang tua ini terkenang kepada mendiang isterinya yang mengikat janji dengan mendiang isteri Lim Sun. Teringatlah dia kepada Lim Sun yang menjadi sahabat baiknya dan isteri Lim Sun yang cantik jelita dan ramah. Dia menghela napas panjang. Betapa buruk nasib Lim Sun dan isterinya. Juga isterinya sendiri yang meninggal dunia dalam usia yang masih terhitung muda, baru empatpuluh tahun usianya.

Alangkah akan senang hatinya kalau seorang puteranya, dalam hal ini Ui Kiang sebagai putera pertama, dapat menikah dengan puteri tunggal Lim Sun dan isterinya. Dia merasa yakin bahwa gadis bernama Lim Bwee Hwa itu tentu cantik jelita karena ibunya juga seorang wanita jelita dan ayahnya, Lim Sun, juga seorang pria yang tampan. Akan tetapi ada sedikit hal yang membuat alisnya berkerut.

Menurut cerita Ong Siong Li tadi, Bwee Hwa adalah seorang pendekar wanita, seorang ahli silat! Sedangkan putera pertamanya, Ui Kiang adalah seorang siucai yang lemah lembut. Agaknya Ui Kong, puteranya yang kedua lebih cocok menjadi suami Bwee Hwa karena Ui Kong juga seorang ahli silat yang pandai. Akan tetapi, menurut aturan, Ui Kiang yang harus menikah lebih dulu! Semua ini membuat Ui Cun Lee duduk termenung dalam ruangan tamu.

Ui Kong memasuki kamar tamu itu dan melihat ayahnya duduk termenung, dia langsung bertanya sambil duduk di atas kursi di depan ayahnya.

“Ayah, siapakah pemuda yang membawa pedang di punggungnya dan yang baru keluar dari rumah kita tadi?”

Ui Cun Lee sadar dari lamunannya dan memandang wajah puteranya yang kedua. “Namanya Ong Siong Li dan dia membawa berita yang teramat penting.”

“Berita apakah itu, ayah? Ayah tampak termenung ketika aku masuk, tentu berita itu penting sekali.” “Kong-ji (Anak Kong), panggil dulu kakakmu ke sini. Berita ini harus didengar kalian berdua.”

“Baik, ayah,” Pemuda itu dengan tangkas lalu bangkit dan keluar dari kamar tamu.

“Kalian temui aku di kamar dalam,” pesan Ui Cun Lee yang juga bangkit dan pindah ke kamar dalam, kamar yang merupakan kamar keluarga dan lebih tertutup, karena tidak ada pelayan berani masuk kamar atau ruangan itu tanpa dipanggil.

Tak lama kemudian Ui Cun Lee sudah duduk di atas kursi berhadapan dengan dua orang puteranya. Ui Kiang yang berusia duapuluh empat tahun berpakaian sebagai seorang sasterawan, pakaiannya sederhana walaupun terbuat dari sutera halus dan tampak bersih sekali. Sampai ke kuku-kuku jari tangannya, pemuda ini merawat dirinya bersih dan gerak geriknyapun lembut, tubuhnya sedang saja dan wajahnya yang halus tanpa kumis dan jenggot itu tampak sehat dan tampan.

Adapun adiknya yang bernama Ui Kong, berusia duapuluh satu tahun, tubuhnya tinggi tegap membayangkan kekuatan yang kokoh. Wajahnya tampan dan sikapnya sesuai dengan kegagahannya, terbuka jujur dan agak keras. Wajahnya juga tampan dan bersih, sepasang matanya seperti mata burung rajawali, tajam dan berwibawa.

“Ayah memanggil saya? Ada perintah apakah yang, ayah ingin berikan kepada saya?” tanya Ui Kiang duduk di sebelahnya.

Dari ucapan dan sikapnya, Ui Kiang bersikap lebih merendah dan hormat kepada ayahnya dibandingkan Ui Kong yang sikapnya agak kasar terbuka, namun ada kemesraan dalam suaranya terhadap ayahnya. Cara kedua orang anak ini berbakti dan bersikap terhadap ayah mereka untuk menyatakan kasih sayang mereka, berbeda sesuai dengan watak mereka yang terbentuk sesuai dengan keahlian mereka.

Ui Kiang seorang sasterawan dan kutu buku yang mempelajari banyak filsafat dan agama, sedangkan Ui Kong tidak begitu maju dalam pelajaran sastra, akan tetapi memilih ilmu silat sebagai kegemarannya dan ilmu ini dia pelajari sampai mendalam. Untuk memperdalam ilmu silatnya, Ui Kong bahkan pernah berguru kepada Beng-san Cin-jin yang bertapa di pegunungan Beng-san sampai lima tahun lamanya.

“Aku tidak ingin menyuruh kalian melakukan sesuatu, hanya ingin memberitahu akan peristiwa yang penting dan minta pertimbangan kalian.”

“Peristiwa apakah itu, ayah? Tentu ada hubungannya dengan orang yang bernama Ong Siong Li tadi, bukan? Sudah kuduga bahwa dia tentu datang membawa urusan yang penting,” kata Ui Kong.

“Kong-te, siapakah itu Ong Siong Li? Jangan mengambil kesimpulan dulu dan biarkan ayah menceritakan kepada kita,” tegur Ui Kiang dengan halus.

Ui Cun Lee menggerakkan tangan kanannya. “Dengarkan kalian baik-baik. Tadi datang seorang tamu yang mengaku bernama Ong Siong Li. Karena dia mengatakan bahwa dia menjadi wakil keluarga Lim Sun dari kota So-jiu dan hendak bicara denganku, maka kuajak dia ke ruangan tamu dan kami bicara.”

“Nanti dulu, ayah. Siapakah itu keluarga Lim Sun dari So-jiu? Kurasa Kiang-ko (kakak Kiang), seperti juga aku sendiri, belum pernah mendengar tentang keluarga itu!”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment