Tiba-tiba Bwee Hwa merasa terharu sekali. Tidak disangkanya bahwa Siong Li memiliki pendirian semulia itu. Pemuda itu bicara dengan tabah, walaupun ia dapat merasakan betapa suaranya tergetar menahan perasaan. Ia amat terharu dan tak tertahankan lagi ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan terisak, menahan tangisnya.
“Hwa-moi, engkau kenapakah. ?”
“Li-ko, engkau sungguh mulia. Kuharap saja mudah-mudahan benar seperti katamu tadi bahwa ibu takkan salah pilih. ”
“Jangan khawatir, Hwa-moi. Lebih baik engkau segera berkemas dan mari kita cari keluarga Ui itu.”
Bwee Hwa mengangkat mukanya, memandang dengan mata basah, terkejut dan heran. “Apa ?
Engkau mau mengantar aku mencari mereka?”
Melihat gadis itu terheran, Siong Li tersenyum, kini senyumnya cerah seperti biasanya. “Tentu saja, mengapa tidak? Engkau yatim piatu, juga tiada sanak keluarga. Anggaplah aku sebagai kakakmu sendiri dan menjadi walimu. Kukira tidaklah pantas sebagai seorang gadis engkau harus mencari sendiri tunanganmu itu.”
Bwee Hwa menundukkan kepalanya dan mukanya berubah kemerahan. “Memang engkau benar, Li-ko. Agaknya kalau tidak kau antar, aku selamanya tidak akan sudi mengantarkan diri kepada mereka yang sama sekali tidak kukenal ”
“Kalau begitu berkemaslah. Kita berangkat sekarang juga.” Setelah meninggalkan pesan kepada A-sam, laki-laki setengah tua yang hidup sebatang kara itu untuk menjaga dan membersihkan rumah, berangkatlah Bwee Hwa bersama Siong Li turun dari Bukit Twi-bok- san menuju ke kota Ki-lok di Propinsi Hok-kian.
Bwee Hwa dan Siong Li tiba di kota Ki-lok yang besar dan ramai setelah mereka melakukan perjalanan hampir sebulan lamanya. Mereka menyewa dua buah kamar di sebuah hotel besar di kota itu dan setelah beristirahat semalam, pada keesokan harinya, pagi-pagi Siong Li berpamit kepada Bwee Hwa untuk pergi mencari keluarga Ui Cun Lee.
Ui Cun Lee adalah seorang hartawan di kota Ki-lok dan dahulu menjadi sahabat dalam perdagangan yang baik dari Lim Sun, ayah kandung Bwee Hwa. Persahabatan itu amat erat sehingga isteri merekapun menjadi sahabat baik, bahkan lebih akrab dan karib dibandingkan persahabatan antara suami mereka. Saking akrabnya, Nyonya Lim Sun dan Nyonya Ui Cun Lee bersepakat untuk menjodohkan anak mereka! Pada saat mereka bersepakat itu, puteri Lim Sun, yaitu Lim Bwee Hwa berusia enam bulan sedangkan putera Ui Cun Lee yang bernama Ui Kong berusia dua tahun.
Tidak sukar bagi Ong Siong Li untuk menemukan rumah Ui Cun Lee. Keluarga Ui ini terkenal sebagai seorang pedagang yang kaya raya dan budiman, suka menolong orang, dermawan dan baik hati. Ciut juga hati Siong Li ketika berdiri di depan gedung besar yang megah itu. Kiranya calon suami Bwee Hwa adalah seorang pemuda putera hartawan besar. Dia merasa kecil sekali.
Ketika dia mendengar suara ramai-ramai di pekarangan gedung itu, dia me-longok ke sana dan dilihatnya banyak orang berpakaian sederhana pertanda bahwa mereka orang-orang miskin sedang berdiri antri menerima bagian beras dari dua orang pegawai. Di sana tersedia beberapa karung beras.
Seorang laki-laki berusia limapuluh tahun berdiri mengawasi dan melihat pakaiannya, laki-laki itu tentulah majikan dua orang pegawai yang membagi beras. Hal ini terbukti ketika para pengantri sesudah menerima bagiannya lalu membungkuk dengan hormat kepada laki-laki tua itu dan berkata, “Terima kasih, Ui-loya (Tuan Besar Ui)!”
Berdebar rasa jantung dalam dada Siong Li. Laki-laki itu tentulah hartawan Ui Cun Lee! Dia merasa semakin kecil. Sudah kaya raya, dermawan lagi. Dia sendiri bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan keluarga Ui itu. Diam-diam ada rasa lega juga.
Bagaimanapun, hatinya dapat merasa tenteram karena Bwee Hwa mendapatkan seorang jodoh yang amat baik. Putera seorang hartawan yang dermawan! Tiba-tiba dia tertegun. Bagaimana kalau ternyata pemuda tunangan Bwee Hwa itu seorang yang cacat tubuhnya? Atau buruk sekali wajahnya? Mendapatkan pikiran ini dia cepat menghadang seorang laki-laki tua yang berjalan di jalan besar depan rumah itu.
“Maaf kalau saya mengganggu, paman. Saya hendak mohon keterangan sedikit dari paman,” katanya dengan sikap hormat.
Laki-laki itu memandang heran, akan tetapi dia tersenyum melihat bahwa pe-nanyanya adalah seorang pemuda yang bersikap sopan dan wajahnya lembut, bukan seperti seorang yang jahat walaupun di punggung pemuda itu terdapat sebatang pedang.
“Tidak mengapa, engkau tidak mengganggu, ho-han (orang gagah). Apakah yang hendak kautanyakan?” “Begini, paman. Saya bukan orang sini, akan tetapi saya sudah mendengar bahwa Hartawan Ui yang dermawan mempunyai seorang putera. Nah, saya ingin tahu keadaan puteranya itu. Bagaimana wajahnya? Apakah dia tampan? Apakah dia baik hati?”
Orang itu tersenyum. “Yang mana yang kautanyakan, ho-han? Ui-wangwe (Hartawan Ui) mempunyai dua orang putera, keduanya adalah pemuda-pemuda tampan dan berbudi luhur seperti orang tuanya, dermawan dan suka menolong orang.”
Siong Li menjadi bingung. Dua orang? Dia teringat akan cerita Bwee Hwa yang mengatakan bahwa pesan ibu kandung gadis itu hanya memberitahu bahwa gadis itu telah dijodohkan dengan putera Ui Cun Lee yang tinggal di Ki-lok, tanpa menyebutkan nama pemuda yang ditunangkan dengan Bwee Hwa itu. Akan tetapi mendengar bahwa dua orang pemuda itu, dan seorang di antaranya pasti tunangan Bwee Hwa, adalah dua orang pemuda yang tampan dan berbudi luhur, dia menjadi semakin lega. Kiranya memang tidak salah pilihan ibu kandung Bwee Hwa!
“Terima kasih, paman. Bolehkah saya bertanya satu hal lagi? Siapa nama kedua orang putera Hartawan Ui itu?”
“Nama mereka? Twa-kongcu (Tuan Muda Terbesar) bernama Ui Kiang, terkenal karena ahli sastera yang sudah mempunyai gelar siucai (pelajar lulus ujian). Adapun Ji-kongcu (Tuan Muda kedua) bernama Ui Kong, juga sama tampan dengan kakaknya, akan tetapi lebih terkenal karena tinggi ilmu silatnya.”
“Usia mereka, paman?”
“Twa-kongcu berusia duapuluh empat tahun, sedangkan Ji-kongcu berusia duapuluh satu tahun.” “Dan mereka sudah menikah?”
Laki-laki itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Dua orang kongcu itu memang aneh. Hampir semua orang yang memiliki anak gadis yang cantik jelita mengharapkan puterinya menjadi jodoh seorang di antara kongcu itu. Akan tetapi dua orang kongcu itu tetap belum mau menikah. Dan mereka adalah dua orang pemuda pilihan, tidak suka berfoya-foya dan ugal-ugalan seperti para pemuda lainnya walaupun mereka itu putera orang kaya raya.”
Siong Li tersenyum dan mengangguk-angguk. Hatinya merasa tenang. Bwee Hwa pasti akan hidup makmur dan bahagia berjodoh dengan seorang di antara mereka.
“Terima kasih, paman.”
Kini dengan tenang dia melangkah memasuki pekarangan besar gedung itu di mana terdapat banyak orang antri menerima pembagian beras. Dia langsung menghampiri dua orang yang membagi beras.
“Eh, sobat. Kalau ingin mendapatkan bagian beras, harap antri di belakang. Tidak boleh menyerobot di depan!” kata seorang di antara dua pegawai yang membagi beras.
Siong Li memberi hormat dan berkata, “Maaf, saya datang bukan untuk mendapatkan pembagian beras, melainkan untuk menghadap Hartawan Ui, untuk menyampaikan urusan yang amat penting.” Laki-laki setengah tua yang tadi menonton pembagian beras, memandang kepada Siong Li dan maju menghampiri. “Orang muda, engkau hendak bertemu dengan Hartawan Ui? Akulah orangnya dan siapa engkau? Ada urusan apakah engkau hendak bertemu denganku?”
Siong Li mengangkat kedua tangan depan dada dan menjura.
“Harap maafkan saya kalau saya mengganggu. Saya bernama Ong Siong Li dan saya datang mewakili keluarga Lim Sun di So-jiu.”
Siong Li mengetahui bahwa ayah kandung Bwee Hwa bernama Lim Sun dan dulu tinggal di So-jiu. Ibu kandung Bwee Hwa memang tidak sempat menceritakan kepada anaknya secara jelas, akan tetapi kedua orang muda itu mendengar banyak tentang orang tua kandung Bwee Hwa dari A-sam, pelayan tua yang dipercaya oleh ibu kandung Bwee Hwa. Dengan bekal pengetahuan tentang keluarga orang tua Bwee Hwa inilah Siong Li berani mewakili keluarga Lim itu.
Mendengar disebutnya Keluarga Lim Sun dari So-jiu, Hartawan Ui terkejut dan tertarik sekali. “Ah, begitukah? Mari, silakan masuk, kita bicara di dalam saja.”
Siong Li mengikuti hartawan itu memasuki ruangan tamu yang luas dan indah. Setelah dipersilakan duduk, seorang pelayan wanita muncul membawakan mi-numan.
“Nah, sekarang ceritakanlah, Ong…… siapa namamu tadi?”