Setelah berkata demikian, Siong Li memungut sepasang sumpit kayu yang berada di atas meja. Yang sebatang dia lemparkan ke atas dan ketika sumpit itu meluncur turun, dia menggerakkan pedangnya dengan amat cepat. Yang tampak hanya sinar menyambar ke arah sumpit yang melayang turun itu dan sumpit itu telah terbelah memanjang menjadi dua potong. Belum habis rasa heran dan kagumnya mereka yang tadinya hendak mengeroyok Bwee Hwa melihat kehebatan gerakan pedang itu, Siong Li mengayun sumpit kedua ke atas meja. Sumpit kayu itu bagaikan sebatang anak panah baja menancap dan menembus meja kayu yang tebal itu!
Menyaksikan pameran ilmu pedang dan tenaga sakti sehebat ini, semua orang yang hendak membantu Kauw-jiu Pek-wan menjadi terkejut dan jerih. Mereka maklum bahwa ilmu kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi daripada tingkat mereka, maka mereka menjadi ragu untuk melanjutkan niat mereka mengeroyok Bwee Hwa.
Siong Li bukan orang bodoh. Ketika melihat Bwee Hwa bertanding melawan ayah tirinya, dari gerakan mereka dia dapat memperhitungkan bahwa gadis itu tidak akan kalah. Karena itu ketika melihat beberapa orang hendak maju mengeroyok Bwee Hwa dia cepat mencegah mereka dan memamerkan kelihaiannya agar mereka menjadi gentar. Andaikata dia melihat bahwa Bwee Hwa akan kalah, tentu dia akan membantu gadis itu menghadapi Kauw-jiu Pek-wan!
Kini semua orang menonton dengan penuh perhatian dan hati tegang. Anak dan ayah tirinya itu bertanding mati-matian dan berusaha saling merobohkan. Sepak terjang Bwee Hwa dahsyat sekali. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi mendengung. Tubuhnya berkelebatan menjadi bayang-bayang merah.
Ia mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu pedang Sin-hong-kiam-sut (Ilmu Pedang Tawon Merah) dengan hebatnya sehingga Kauw-jiu Pek-wan yang banyak pengalaman itupun menjadi bingung. Namun, jagoan tua ini memang lihai, bertenaga besar dan menang dalam pengalaman bertanding sehingga biarpun ilmu silatnya kalah tinggi, dia masih dapat bertahan sehingga pertandingan berlangsung hampir seratus jurus masih belum dapat juga Bwee Hwa merobohkan lawannya.
Bwee Hwa yang merasa marah, dendam sakit hatinya memuncak, menyerang dengan semangat bernyala-nyala sehingga Kauw-jiu Pek-wan makin terdesak dan datuk ini mulai mengeluarkan keringat di seluruh tubuhnya dan napasnya mulai memburu. Dia merasa heran melihat betapa anak tirinya itu kini telah menjadi seorang lawan yang amat tangguh.
Diam-diam dia mengeluh dan merasa menyesal mengapa tidak dulu-dulu dia membunuh saja anak ini yang sekarang merupakan musuh besar yang amat lihai dan mengancam keselamatannya. Karena tidak ada jalan untuk keluar dari desakan ini, dia menjadi nekat dan melawan sekuat tenaga, bahkan beberapa kali sengaja melakukan serangan tanpa memperdulikan pertahanan dirinya sehingga serangan itu merupakan tantangan mengadu nyawa atau mengajak mati bersama. Ia meloncat ke belakang, kemudian ia melompat ke atas dan memainkan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat) pedangnya berputar dan menyambar bagaikan kilat ke arah leher dan dada lawan.
“Singgg....... crattt !”
Kauw-jiu Pek-wan mengeluh. Serangan gadis itu cepat bukan main sehingga biarpun dia sudah mengelak, tetap saja ujung pundaknya tercium ujung pedang sehingga baju dan kulit bahunya pecah dan berdarah. Hanya dengan melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan dia dapat terbebas dari maut.
Bwee Hwa tidak ingin melepaskannya dan mengejar. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa ketika bergulingan itu, Kauw-jiu Pek-wan diam-diam mempersiapkan tiga batang piauw, senjata rahasianya yang berwarna hitam. Ketika Bwee Hwa mengejarnya, kakek itu melompat bangun dan begitu tangan kirinya bergerak, tiga sinar hitam menyambar ke arah Bwee Hwa. Gadis itu terkejut, cepat memutar pedangnya menangkis. Dua batang piauw dapat ditangkisnya, akan tetapi yang sebatang lagi menancap di paha kirinya!
Dengan mengertak gigi Bwee Hwa mencabut piauw itu dan ia merasa lega karena senjata rahasia itu tidak mengandung racun. Pahanya hanya terluka saja dan mengeluarkan darah. Ia tidak memperdulikan lukanya dan menyerang lagi dengan pedangnya sehingga sekali lagi mereka bertanding mati-matian. Akan tetapi, biarpun luka di pahanya itu tidak berbahaya namun amat menganggu sehingga gerakannya menjadi kaku dan Bwee Hwa kehilangan kegesitannya. Rasa nyeri pada pahanya membuat kakinya tidak leluasa bergerak. Bwee Hwa menjadi marah dan iapun mengambil jarum-jarumnya dengan tangan kiri.
“Bangsat rendah lihat jarumku!” bentaknya. Tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar merah lembut menyambar ke arah Kauw-jiu Pek-wan sambil mengeluarkan suara berdengung seperti serbuan ratusan ekor lebah. Itulah Hong-cu-ciam (Jarum-jarum Tawon).
Senjata rahasia Bwee Hwa ini hebat dan sukar sekali dielakkan. Pertama karena kecil lembut dan cepat sekali luncurannya. Kedua karena suara berdengung halus seperti tawon itu menutupi suara desir angin terbangnya senjata rahasia itu sehingga sukar diduga arah dan jaraknya. Setelah tiga kali tangan kiri Bwee Hwa bergerak dan tangan kanan yang memegang pedang masih tetap menyerang, Kauw-jiu Pek- wan menjerit karena mata kanannya terkena jarum merah. Dia terhuyung ke belakang sambil mendekap mata kanannya dengan tangan kiri dan pada saat itu, Bwee Hwa menyerang dahsyat sambil membentak.
“Kau ikutlah ibuku!” pedangnya berkelebat cepat sekali dan menembus dada Kauw-jiu Pek-wan yang roboh terjengkang, berkelojotan dan tewas.
Keadaan menjadi kacau dan gempar. Semua orang memandang dengan wajah pucat. Bwee Hwa melompat ke atas sebuah meja, melintangkan pedang di depan dada lalu berkata lantang, air matanya mengalir di atas kedua pipinya.
“Saudara-saudara sekalian, ketahuilah! Aku adalah anak kandung dari nyonya tua yang sekarang telah meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Dan anjing rendah ini.......” ia menuding ke arah mayat Kauw-jiu Pek-wan, “dia dulu membunuh ayah kandungku dan merampas ibuku menjadi isteri paksaan. Sekarang kembali dia menyakiti hati ibuku dengan menyia-nyiakannya dan menikah lagi, tidak memperdulikan keadaan ibuku yang sakit parah sampai meninggal dunia seorang diri dalam kamarnya. Kini aku telah membalas dendam sakit hati ayah dan ibu kandungku, aku telah membunuh musuh besarku ini. Jika di antara kalian ada yang merasa penasaran dan hendak membelanya, boleh maju melawanku!”
Setelah gadis itu berhenti bicara, suasana menjadi sunyi sejenak, kemudian disusul suara gaduh karena para tamu itu saling bicara sendiri. Agaknya tidak ada seorangpun yang berani mencoba-coba menentang Bwee Hwa, apalagi setelah mereka ketahui bahwa gadis yang lihai itu masih mempunyai teman seorang pemuda yang juga lihai sekali.
Kemudian, para tamu meninggalkan tempat perayaan itu dan akhirnya tempat itu ditinggal sunyi, hanya terdapat para pelayan yang tampak ketakutan. Mempelai wanita yang tadinya berada di dalam kamar pengantin, ternyata juga telah pergi dengan diam-diam, dilarikan keluarganya.
Bwee Hwa yang merasa menjadi ahliwaris tunggal, atas nama ibunya lalu memerintahkan semua pelayan untuk mengurus jenazah Kauw-jiu Pek-wan dan ibu kandungnya. Setelah ia mengurus kedua jenazah itu sampai pemakamannya dibantu oleh Siong Li, ia lalu membagi-bagikan semua harta benda Kauw-jiu Pek-wan kepada para pelayan dan kepada para penduduk dusun yang miskin di sekitar pegunungan itu.
Kemudian ia menunjuk seorang pelayan laki-laki berusia limapuluh tahun untuk menjaga rumah gedung dan semua prabotnya. Dari semua harta kekayaan yang dibagikan, ia menyisakan sebagian karena dianggapnya itu hak ibu kandungnya dan ia berhak pula mewarisi milik ibunya. Setelah membagi- bagikan harta kekayaan Kauw-jiu Pek-wan, ia mengusir semua pelayan.
Seluruh penduduk dusun di pegunungan Twi-bok-san kebagian harta dan mereka merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Setelah semua beres, Bwee Hwa dan Siong Li bercakap-cakap di taman belakang gedung yang kini telah sepi itu.
“Hwa-moi, semua harta kekayaan itu adalah milikmu. Engkau berhak mewarisi-nya karena engkau adalah puteri kandung ibumu yang telah meninggal dunia. Ayah tirimu juga telah meninggal dunia dan mereka berdua tidak mempunyai sanak keluarga lain. Kenapa engkau bagi-bagikan kepada para pelayan dan para penduduk dusun sekitar sini?” tanya Siong Li, ingin tahu apa yang mendorong gadis itu melakukan hal itu.
Bwee Hwa menghela napas panjang. “Li-ko, aku hanya berhak memiliki sebagian kecil saja harta itu yang menjadi hak ibuku. Aku tidak berhak memiliki harta peninggalan Kauw-jiu Pek-wan karena harta itu dia dapatkan dari hasil kejahatannya. Harta kekayaan itu lebih berguna bagi mereka yang miskin dan membutuhkan daripada aku.”
Siong Li mengangguk-angguk. “Bagus sekali, Hwa-moi. Aku setuju sepenuhnya dengan pendapatmu itu.”
Keduanya lalu terdiam dan melihat gadis itu diam saja dan seringkali menghela napas panjang dengan wajah sedih, Siong Li merasa iba. “Hwa-moi, tenangkanlah hatimu. Ibu kandungmu sudah meninggal, hal itu bahkan baik sekali baginya daripada hidup dalam keadaan berpenyakitan. Pula, hidup matinya seseorang ditentukan oleh kekuasaan Thian (Tuhan).”
“Engkau benar, Li-ko. Engkau sungguh seorang kawan yang baik sekali dan aku tidak tahu bagaimana dapat membalas budi kebaikanmu. Sekarang aku telah menjadi sebatang kara di dunia ini ”
“Hwa-moi, mengapa seorang gagah seperti engkau dapat mengucapkan kata-kata seperti itu? Bukankah di mana-mana terdapat banyak orang gagah dan mulia hatinya, yang pantas menjadi saudara kita? Selain itu....... bukankah di dunia ini masih.......ada aku. ?”
Bwee Hwa menatap wajah kawannya itu dan sepasang matanya basah air mata ketika ia melihat betapa mata pemuda itu memandangnya dengan begitu lembut dan mesra, pandang mata penuh kasih sayang. Ia maklum akan perasaan hati pemuda itu kepadanya.
“Li-ko, engkau adalah seorang enghiong (pendekar) yang gagah perkasa dan budiman. Hidupmu berbahagia. Kau tinggalkanlah aku, Li-ko, karena nasibku yang sial akan menyeretmu ke arah kesialan pula. Kaulanjutkanlah perjalananmu sendiri dan tinggalkan aku dalam kemalangan.”
Siong Li mengerutkan alisnya. “Hwa-moi, agaknya engkau masih ragu dan tidak percaya kepadaku. Aku....... harus kuakui bahwa sumber kebahagiaanku terletak di telapak tanganmu. Berpisah darimu berarti derita bagiku. ” Pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah muram dan sedih.
“Li-ko, engkau seorang yang berhati mulia. Alangkah akan senangnya hatiku mendengar ucapanmu tadi kalau saja....... kalau saja ” Bwee Hwa menghentikan ucapannya dan menundukkan muka.
“Kalau saja apa, Hwa-nioi? Engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak dapat mengimbangi perasaanku? Katakanlah saja terus terang, tidak usah ragu-ragu, karena orang yang mengutamakan kegagahan seperti kita tidak perlu berpura-pura lagi dan sebaiknya bersikap terbuka.”
Bwee Hwa menghela napas panjang, lalu mengangkat muka menatap wajah pemuda itu. “Li-ko, ketika ibuku hendak menghembuskan napas terakhir, ia meninggalkan pesan padaku.”
“Pesan apakah itu kalau aku boleh mengetahui, Hwa-moi?” tanya Siong Li, menenangkan hatinya yang berdebar tegang. “Pesan itu....... adalah....... bahwa aku semenjak kecil telah telah. dijodohkan dengan putera keluarga
Ui Cun Lee di kota Ki-lok!”
Siong Li cepat menatap wajah Bwee Hwa yang begitu bertemu pandang segera menundukkan mukanya. Wajah pemuda itu tiba-tiba menjadi pucat, akan tetapi segera dia dapat menguasai perasaan hatinya. Mulutnya tersenyum, senyum biasa yang ramah dan gembira, hanya saja sekali ini senyumnya tidak disertai seri matanya. Mata itu muram dan terselubung awan duka.
“Hemm, begitukah? Lalu bagaimana sekarang kehendakmu, Hwa-moi?” Akhirnya pemuda itu bertanya, suaranya terdengar biasa saja sehingga Bwee Hwa berani mengangkat mukanya perlahan-lahan dan memandang pemuda itu. Hati gadis itu merasa lega melihat pemuda itu masih dapat tersenyum walaupun senyumnya itu seolah mengiris jantung Bwee Hwa karena ia merasa betapa pemuda di dekatnya itu seperti bukan lagi Siong Li yang biasa.
“Aku....... aku tidak dapat menolak....... aku harus menaati pesan terakhir ibuku itu, Li-ko. aku tidak
sempat menolak karena begitu meninggal pesan itu, ibuku menghembuskan napas terakhir ”
Siong Li mengangguk-angguk. “Memang demikianlah seharusnya, Hwa-moi. Seorang anak yang berbakti harus menaati pesan orang tuanya, dan aku percaya sepenuhnya bahwa ibumu tentu tidak salah pilih.”