Halo!

Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 24

Memuat...

Akan tetapi ketika ia tiba di pintu, mendengar suara ibunya mengeluh lirih, “Bwee Hwa ”

Ia menengok dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat muka ibunya kini pucat sekali dan dari mulutnya mengalir darah! Ia cepat melompat ke dekat pembaringan dan duduk di tepi pembaringan. “Ibu.......

ibu....... bagaimana rasa badanmu, ibu.......?” Baru sekarang ia menyadari bahwa ibunya sedang menderita penyakit berat dan keadaannya mengkhawatirkan sekali.

Ibu Bwee Hwa mencoba untuk tersenyum, senyum yang menusuk jantung Bwee Hwa karena senyum itu begitu menyedihkan. “Bwee Hwa aku aku telah puas....... aku telah....... bertemu denganmu. Bwee

Hwa....... kau ingatlah....... dulu ketika....... engkau masih kecil....... engkau telah dijodohkan. dengan

putera....... keluarga....... Ui Cun Lee....... di kota....... Ki-lok.......” Setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk mengatakan semua itu, tubuhnya terkulai dan setelah terbatuk-batuk beberapa kali memuntahkan banyak darah dari mulutnya, wanita itu menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Bwee Hwa!

“Ibuuuu !” Bwee Hwa mengeluarkan jerit yang keluar dari hatinya dan ia menangis sambil memeluki

jenazah ibunya.

Kemudian, tiba-tiba ia teringat kepada Kauw-jiu Pek-wan yang dianggapnya sebagai pangkal semua bencana yang menimpa keluarganya. Pembunuh ayah kandung dan kini juga pembunuh ibu kandungnya. Ia lalu melepaskan rangkulannya, berlutut di depan pembaringan, menutup wajah ibunya dengan selimut lalu berkata dengan geram.

“Ibu, tenangkanlah perasaan ibu, aku bersumpah, hari ini juga anakmu akan membunuh musuh besar kita Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok agar ibu dapat menyeretnya menghadap Giam-kun untuk membuat perhitungan!”

Setelah berlutut menyembah delapan kali, Bwee Hwa lalu melompat dari kamar dengan pedang di tangan. Ia bertemu dengan dua orang pelayan wanita tadi. Mereka memandangnya dengan terkejut dan heran. Akan tetapi begitu bertemu, Bwee Hwa menggerakkan kaki menendang dan dua orang pelayan itu terlempar dan menjerit, mengaduh-aduh.

Tanpa memperdulikan mereka, Bwee Hwa terus berlari keluar dan tiba di ruangan depan di mana para tamu duduk. Di tengah-tengah ruangan itu tampak seorang laki-laki tinggi besar dengan brewok dan rambut yang telah memutih. Dia sedang duduk bercakap-cakap dengan para tamu yang dihormati. Laki- laki ini tampak gembira sekali dan jelas bahwa dia telah banyak minum arak sehingga mukanya menjadi merah dan tampak menyeramkan.

Bwee Hwa ragu-ragu karena belum yakin betul apakah orang itu Kauw-jiu Pek-wan yang dicarinya, karena walaupun ia masih setengah ingat akan muka orang yang tadinya dianggap ayahnya itu, sekali ini ia tidak mau salah tangan. Sementara itu, semua tamu yang terdekat dengan Bwee Hwa menjadi terkejut dan heran, juga agak khawatir ketika melihat betapa tiba-tiba seorang gadis muda cantik jelita yang berpakaian serba merah dan ringkas muncul dengan pedang di tangan dan mukanya membayangkan kemarahan besar.

“Kauw-jiu Pek-wan, bangsat tua bangka, manusia iblis! Kau bersiaplah untuk mampus di tanganku!” Bwee Hwa berseru nyaring sambil memandang ke arah laki-laki tua tinggi besar itu dengan sinar mata tajam menyelidik.

Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok terkejut bukan main mendengar seruan ini dan dia segera menengok ke arah gadis yang berani mati mengeluarkan ancaman seperti itu. Ketika dia melihat wajah Bwee Hwa, dia terkejut bukan main. Bukankah itu Bwee Hwa yang dulu lenyap ketika berusia delapan tahun? Dia masih ingat benar potongan wajah gadis itu, karena mirip sekali dengan wajah isterinya yang sedang sakit.

Si Lutung Putih Tangan Sembilan ini adalah seorang datuk yang terkenal me-miliki kepandaian tinggi, maka tentu saja dia sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman seorang gadis muda, apalagi hanya Bwee Hwa, anak tirinya yang mungkin marah melihat ibunya sakit dan dia merayakan pernikahannya dengan seorang wanita lain. Sekali saja dia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu dia telah melompat ke depan gadis itu.

“Kau kau....... bukankah engkau Bwee Hwa ?” tanyanya.

“Hemm, mata tuamu masih belum lamur sehingga masih dapat mengenalku!” kata Bwee Hwa ketus. “Bwee Hwa, anakku. !” seru Kauw-jiu Pek-wan.

“Siapa anakmu? Siapa sudi mempunyai seorang ayah bangsat tua bangka rendah macam engkau?”

Marahlah Kauw-jiu Pek-wan. Dia telah dimaki dan dihina di depan para tamu. Kumis dan brewoknya seolah berdiri, kedua matanya yang bundar itu melotot lebar. Tak seorangpun di dunia ini boleh menghinanya seperti itu, apalagi di depan puluhan orang tamunya!

“Hemm, jadi engkau sudah tahu bahwa engkau bukan anakku? Jadi kalau begitu engkau sudah bertemu dengan anjing hina tua itu? Belum mampuskah ia?”

Belum habis ia bicara, Bwee Hwa sudah membentak marah dan pedangnya berkelebat menyerang dengan tusukan ke arah dada ayah tirinya yang amat dibencinya itu.

Kiu Ciang Hok adalah seorang datuk yang berkepandaian tinggi dan memiliki pengalaman bertanding selama puluhan tahun, maka tentu saja tidak mudah dia dirobohkan begitu saja. Sambil membentak nyaring dia mengelak dari tusukan pedang itu dan sambil memutar tubuh dia menyambar sebuah kursi dan memukulkan kursi itu kepada Bwee Hwa.

“Wuuuttt crakkkk!” Bwee Hwa menangkis dengan pedangnya dan kursi itupun pecah menjadi dua

potong, bahkan hampir saja lengan Kiu Ciang Hok terbabat pedang.

Datuk itu terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangkanya bahwa anak tirinya itu kini telah menjadi seorang gadis yang memiliki ketangkasan. Dia lalu melompat ke belakang dan mencabut sebatang golok besar yang tergantung di dinding. Kauw-jiu Pek-wan memang terkenal pandai memainkan senjata golok besar itu.

Sebagai pengantin ia tidak membawa golok, maka senjata itu digantungkan di dinding sebagai hiasan dan juga sebagai tanda “kebesarannya”. Kini dia telah memegang senjatanya dan sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor binatang buas diapun menyerang gadis itu. Bwee Hwa yang juga marah sekali menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Singgg.......trangggg.......!!” Bunga api berpijar dan Kui Ciang Hok menjadi semakin kaget. Pertemuan dua senjata itu membuat tangannya tergetar hebat, tanda bahwa anak tirinya itu memiliki tenaga sin- kang (tenaga sakti) yang amat kuat pula! Mereka saling serang dan terjadilah perkelahian seru di tengah ruangan yang menjadi medan pesta itu!

Untuk mendapatkan ruang yang bebas, kedua orang yang bertanding itu menendangi meja kursi. Para tamu menjadi ribut dan panik. Yang tidak pandai ilmu silat menonton dari kejauhan. Mereka melarikan diri menabrak meja kursi sehingga keadaan di situ menjadi kacau balau.

Beberapa orang tamu orang-orang kang-ouw yang menjadi sahabat baik Kauw-jiu Pek-wan sudah mencabut senjata masing-masing. Mereka hendak membantu tuan rumah dan mengeroyok gadis yang dianggap mengacau di pesta itu. Akan tetapi sebelum mereka sempat mengeroyok, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan seorang pemuda telah berdiri menghadang di depan mereka dengan pedang di tangan. Pemuda ini bukan lain adalah Siong Li yang tersenyum kepada mereka lalu berkata lantang.

“Bukan laki-laki gagah kalau mengeroyok seorang gadis muda! Mereka berdua mempunyai urusan pribadi, biarlah mereka selesaikan sendiri!”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment