Halo!

Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 22

Memuat...

Bwee Hwa menengok dan ia melihat dua sosok bayangan hitam berlari-lari di atas genteng. Gerakan mereka cukup gesit dan tentu saja Bwee Hwa menjadi curiga dan menduga bahwa mereka tentu dua orang penjahat yang dimaksudkan itu. Karena dua sosok bayangan itu berlari menuju ke arah mereka, maka Bwee Hwa tetap mendekam dan berkata perlahan, “Maling-maling kecil, sekarang tiba saatnya kalian binasa!” Ia dan Siong Li bersiap siaga dan ketika dua bayangan itu telah melompat ke atas genteng wuwungan gedung di mana ia berada, Bwee Hwa melompat keluar dan membentak.

“Maling-maling kecil busuk! Menyerahlah untuk kutangkap!”

Dua orang itu terkejut bukan main dan mereka berdiri menghadapi Bwee Hwa dengan sikap menantang. Bwee Hwa memperhatikan dan melihat bahwa dua orang itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang berusia kurang lebih tigapuluhan tahun. Pakaian mereka serba hitam dan keduanya mempunyai pedang yang tergantung di punggung. Ketika melihat bahwa yang mereka hadapi hanyalah seorang dara muda yang berpakaian serba merah, wanita itu lalu balas membentak.

“Anak kecil kurang ajar! Siapakah kamu berani menghalangi kami?” Sambil berkata begini ia mencabut pedangnya hendak menyerang, akan tetapi kawannya yang laki-laki mencegah, lalu menoleh ke arah wuwungan di mana Siong Li masih bersembunyi dan berkata mengejek.

“Sobat yang berada di belakang wuwungan, keluarlah menemui kami, tidak perlu bersembunyi di situ!”

Siong Li kagum akan ketajaman penglihatan orang itu. Dia meloncat keluar sambil tersenyum. Melihat gerakan Siong Li demikian ringan dan cepat, kedua orang berpakaian hitam itu terkejut juga. Siong Li memang mempergunakan jurus Le-hi Ta-teng (Ikan Le Meloncat) dan loncatannya cepat dan indah karena dia membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali sebelum kedua kakinya hinggap di atas genteng tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Laki-laki itu agaknya maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka dia bersikap ramah ketika menegur. “Dua orang sobat yang baik, siapakah kalian dan mengapa menghadang kami?”

Bwee Hwa yang masih marah segera menjawab ketus. “Mau tahu, siapa kami? Aku adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) dan kawanku ini adalah Kim-kak-liong (Si Naga Tanduk Emas). Kalian berdua sungguh kurang ajar dan sengaja mencemarkan nama kami!”

Laki-laki berkumis tipis itu terbelalak heran. “Bagaimana engkau dapat berkata demikian, lihiap (pendekar wanita)? Kita baru saja bertemu, bagaimana kami dapat mencemarkan nama kalian?”

Bwee Hwa menudingkan telunjuknya ke arah muka orang itu. “Kami adalah pendekar-pendekar pembela keadilan dan kebenaran, akan tetapi baru saja kami memasuki kota ini orang-orang telah menyangka bahwa kami adalah kalian berdua! Mana bisa kami disamakan dengan segala maling kecil seperti kalian?”

Laki-laki berkumis tipis itu tersenyum mengejek. “Sungguh engkau aneh dan tidak adil, lihiap. Kalau kalian berdua disamakan dengan aku dan adikku ini, siapakah yang menyamakan? Pasti sekali bukan kami. Kami tidak pernah bermusuhan dengan kalian, maka harap jangan mengganggu kami.”

Bwee Hwa tidak dapat menjawab, sehingga Siong Li yang maju dan berkata, “Harap ji-wi (kalian berdua) maafkan jika kami terpaksa mengganggu pekerjaan ji-wi. Akan tetapi, sebagai orang-orang yang menentang kejahatan, kami tidak suka dengan perbuatan kalian yang mengacau penduduk kota ini dan melakukan pencurian. Pula, kami telah berjanji kepada Jaksa Kwee untuk menangkap orang-orang yang menjadi pengacau kota ini. Terpaksa kami harus menangkap kalian.” “Bangsat sombong!” maling wanita itu berteriak dan cepat ia sudah menggerakkan pedang di tangannya dan menyerang Bwee Hwa.

“Singgg……!” Pedang itu menyambar lewat di atas kepala Bwee Hwa karena pendekar wanita ini sudah mengelak dari sambaran pedang ke arah lehernya dengan merendahkan tubuhnya dan dari bawah, pedang Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) ia tusukan ke arah perut lawan.

Maling wanita itu terkejut bukan main, tidak menyangka bahwa gadis yang diserangnya itu sedemikian cepat gerakannya. Nyaris perutnya tertusuk pedang. Ia cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik tiga kali. Kini dengan hati-hati sekali ia menghadapi Bwee Hwa dan segera terjadi pertandingan pedang antara dua orang wanita itu.

Sementara itu, maling pria yang melihat rekannya atau lebih tepat adiknya telah bertanding melawan Bwee Hwa, segera menyerang Siong Li dengan pedangnya pula. Siong Li menyambut dengan pedangnya dan terjadi perkelahian yang seru antara kedua orang ini.

Akan tetapi, baru saja lewat belasan jurus, sepasang maling ini sudah kewalahan dan terdesak hebat. Mereka maklum bahwa mereka tidak mampu menandingi sepasang pendekar itu. Akan tetapi karena tidak mampu melarikan diri, mereka lalu melawan dengan nekat dan mati-matian. Di lain pihak, Bwee Hwa dan Siong Li tidak terlalu menekan kedua orang lawan itu karena sepasang pendekar ini tidak ingin membunuh mereka, melainkan ingin menangkap mereka hidup-hidup untuk diserahkan kepada Jaksa Kwee dan agar semua orang mengetahui maling-maling yang sesungguhnya.

“Hyaaaaatttt……!” Bwee Hwa membentak nyaring dan kaki kirinya berhasil menendang pergelangan tangan maling wanita sehingga pedang di tangan wanita itu terlepas dan terlempar, jatuh berkerontangan di atas genteng. Sebelum maling itu dapat menghindarkan diri, Bwee Hwa sudah menotok pundaknya dan lawannya terkulai dengan tubuh lemas tak berdaya.

Pada saat yang hampir bersamaan Siong Li juga sudah berhasil merobohkan lawannya dengan mematahkan pedang lawan ketika pedang mereka bertemu dan merobohkannya dengan sebuah tendangan lalu menyusulkan totokan yang membuat maling pria itupun tidak mampu bergerak. Kedua orang pendekar itu lalu membawa dua orang maling itu turun dari atas genteng dan hendak membawa mereka ke gedung Jaksa Kwee.

“Kalian akan membawa kami ke mana?” tanya maling wanita itu kepada Bwee Hwa yang memanggul tubuhnya.

“Ke mana lagi?” jawab Bwee Hwa dengan suara mengejek. “Tentu saja hendak kami serahkan kepada Jaksa Kwee agar kalian diadili dan dihukum berat.”

“Bebaskan kami!” kata maling wanita itu. “Kalau tidak, kalian tentu akan ber-hadapan dengan Kauw-jiu Pek-wan yang pasti akan membalas dendam kepada kalian!”

“Apa……?” Tiba-tiba Bwee Hwa dan Siong Li berhenti. Mereka sudah tiba di depan gedung Jaksa Kwee. Bwee Hwa menurunkan maling wanita itu dari pundaknya dan bertanya, “Kau tadi menyebut nama…… Kauw-jiu Pek-wan. ?” Maling wanita itu merasa girang karena mengira bahwa nama besar itu membuat Bwee Hwa takut. “Benar, Kauw-jiu Pek-wan adalah guru kami!”

Bukan main kagetnya hati Bwee Hwa mendengar bahwa kedua orang maling itu adalah murid ayahnya! Siong Li juga terkejut dan dia juga menurunkan maling pria itu dari atas pundaknya.

“Li-ko, ternyata mereka ini…… muridnya……!” kata Bwee Hwa kepada Siong Li.

“Apakah ji-wi mengenal guru kami?” tanya maling pria yang masih rebah di atas tanah di samping rekannya, tidak mampu bergerak karena keduanya masih dalam keadaan tertotok.

“Mengenalnya? Hemmmm……” Bwee Hwa meragu. “Kalau kalian murid Kauw-jiu Pek-wan, mengapa kalian menjadi maling?”

Mendengar pertanyaan ini, kedua orang itu tertawa dan Bwee Hwa baru teringat bahwa Kauw-jiu Pek- wan, ayahnya itu adalah seorang kepala perampok besar! Tidak aneh kalau murid-muridnya menjadi maling! Maka pertanyaannya itu tadi tentu saja terdengar bodoh sekali sehingga kedua orang maling itu tertawa.

“Di mana adanya Kauw-jiu Pek-wan?” tanyanya kepada kedua orang maling itu. Dua orang itu masih menganggap bahwa Bwee Hwa jerih kepada suhu mereka, maka maling wanita itu menjawab dengan terus terang, mengharapkan bahwa akhirnya Bwee Hwa akan membebaskan mereka.

“Guru kami masih tetap tinggal di Twi-bok-san yang tidak jauh dari sini dan kini sedang menghadapi perayaan besar. Kami berdua di sini sedang mengumpulkan biaya atas perintahnya untuk keperluan perayaan itu. Kalau kalian membebaskan kami, beliau tentu akan memaafkan kalian dan akan memberi hadiah besar. Karena itu, bebaskanlah kami sekarang juga dan kami akan melaporkan kebaikan kalian kepada suhu.”

Bwee Hwa memandang kepada Siong Li dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu, Li-ko? Apa yang akan kita lakukan terhadap dua orang ini?” Gadis itu bagaimanapun juga merasa ragu dan serba salah. Dua orang itu adalah maling yang harus dihukum, akan tetapi mereka juga murid-murid ayahnya!

Siong Li merasa sungkan juga kepada Bwee Hwa. Akan tetapi dia harus jujur dan setelah menghela napas panjang dia menjawab. “Dulu guruku pernah berkata bahwa seorang gagah harus teguh dalam pendiriannya, yaitu menentang kejahatan tanpa memperdulikan siapapun yang melakukan kejahatan itu.”

Bwee Hwa mengangguk-angguk. “Tepat sekali, aku juga berpikir begitu, Li-ko. Terima kasih, pendapatmu menghapus keraguanku. Mari kita serahkan dua orang maling ini kepada Jaksa Kwee!”

“Kalian mencari mampus!” teriak kedua orang maling itu. “Ingat, suhu pasti akan membalas dendam, akan menyiksa kalian lalu membunuh kalian seperti dua ekor tikus!”

Akan tetapi Bwee Hwa dan Siong Li tidak perduli dan menyeret kedua orang itu memasuki gedung yang pintu gerbangnya dijaga beberapa orang perajurit. Siong Li menyerahkan dua orang maling itu kepada para penjaga. “Awas, ikat kedua tangan mereka jangan sampai mereka meloloskan diri dan serahkan kepada Jaksa Kwee. Inilah dua orang pencuri yang mengacau kota Tung-kwang.”

Setelah berkata demikian, Siong Li mengajak Bwee Hwa melanjutkan perjalanan pada malam hari itu juga. Mereka kembali ke kamar mereka untuk mengambil buntalan pakaian lalu meninggalkan kota Tung-kwang menuju ke Gunung Twi-bok-san.

Karena hatinya merasa penasaran dan ingin sekali dapat cepat bertemu orang tuanya, Bwee Hwa mengajak Siong Li melakukan perjalanan secepatnya. Dua hari kemudian mereka berdua telah tiba di kaki Bukit Twi-bok-san. Mereka melihat banyak orang mendaki bukit itu. Ada yang menggunakan kuda, ada pula yang berjalan kaki dan kebanyakan dari mereka tampaknya seperti orang-orang dunia persilatan. Agaknya mereka adalah para tamu yang hendak ikut merayakan pesta perayaan itu.

Bwee Hwa hanya tahu bahwa ayahnya hendak mengadakan pesta perayaan, akan tetapi ia belum tahu perayaan apakah itu, maka ketika melihat seorang petani tua sedang mencangkul ladang di kaki bukit, ia mengajak Siong Li untuk berhenti dan menghampiri kakek itu.

“Selamat pagi, paman,” kata Bwee Hwa kepada petani yang sedang mencangkul itu. Petani itu menengok dan merasa heran ada seorang gadis cantik memberi salam.

“Selamat pagi, nona,” katanya hormat dan dia menghentikan pekerjaannya, lalu menghampiri Bwee Hwa dan Siong Li yang berdiri di tepi ladang yang sedang digarapnya.

“Paman, maafkan kalau kami mengganggu pekerjaan paman,” kata Bwee Hwa. “Aku hanya ingin bertanya kepada paman. Ada apakah di puncak bukit ini maka demikian banyak orang mendaki ke atas?”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment