“Apa yang dia katakan tentang kebaikan dan kejahatan, Kong-ko? Aku ingin sekali mendengarnya,” kata Bwee Hwa.
“Dia bicara tentang dua unsur yang membuat dunia ini berputar, yang membuat segala sesuatu berimbang, yaitu Im dan Yang (positive dan negative). Tanpa adanya kedua unsur yang saling berlawan an namun saling menunjang ini, segala sesuatu di alam ini akan mandeg, segala kegiatan alam akan berhenti. Karena itu, keduanya sama pentingnya, misalnya siang dan malam, terang dan gelap, pria dan wanita, dan segala sesuatu dengan kebalikkannya. Juga kebaikan dan kejahatan. Satu antara lain dia berkata begini. Kalau tidak ada kejahatan, mana bisa ada kebaikan? Sebaliknya karena ada kebaikan, maka timbul kejahatan. Yang satu tidak lebih penting daripada yang lain. Demikianlah yang dikatakan kakakku itu.”
Bwee Hwa mengerutkan alisnya. “Kejahatan tidak kalah pentingnya dari pada kebaikan? Wah, yang ini aku kurang mengerti, Kong-ko. Bukankah kejahatan itu bertolak belakang dengan pandangan kita? Bukankah kita oleh guru-guru kita selalu dianjurkan untuk menentang kejahatan? Bagaimana bisa dikatakan bahwa kebaikan tidak lebih penting daripada kejahatan?” Ui Kong mengangkat kedua pundaknya. “Begitulah yang dikatakan kakakku. Kalau engkau hendak mengetahuinya lebih jelas seharusnya ditanyakan kepada Kiang-ko. Aku sendiri juga tidak mengerti jelas.” Lalu Ui Kiong menoleh kepada Siong Li dan berkata, “Li-ko memiliki pengalaman luas, barangkali dapat menjelaskan dan menjawab pertanyaan Hwa-moi tadi?”
Siong Li tersenyum. “Ucapan Kiang-ko itu mengandung arti yang mendalam dan tak dapat dibantah kebenarannya, akan tetapi bagi yang tidak mengerti dapat menimbulkan salah-paham, apalagi bagi orang yang suka berbuat jahat, akan dapat membenarkan perbuatan jahatnya yang dianggap sama pentingnya dengan perbuatan baik.”
“Nah, itulah yang membingungkan aku, Li-ko. Kalau dianggap sama, lalu untuk apa kita membela kebenaran dan menentang kejahatan? Kalau dianggap sama pentingnya, lalu apakah kita seharusnya melakukan kejahatan seperti kita melakukan kebaikan?” bantah Bwee Hwa penasaran.
Siong Li tertawa. “Ha-ha! Bukan begitu, Hwa-moi. Kejahatan, atau keadaan apapun juga yang kita anggap tidak baik, merupakan tantangan dalam hidup ini. Misalnya kalau ada gelap kita akan berusaha untuk mengatasinya kegelapan dengan menyalakan api penerangan dan sebagainya. Kejahatan seperti juga penyakit dan kita harus mengatasinya, menentangnya. Menentang kejahatan dan melakukan kebaikan merupakan kewajiban dalam hidup ini. Melakukan kebaikan berarti membiarkan diri menjadi alat Tuhan, sebaliknya melakukan kejahatan berarti membiarkan diri menjadi alat setan.”
“Nah, kalau begitu, bagaimana dikatakan bahwa kebaikan tidak lebih penting daripada kejahatan? Dan engkau tadi mengatakan bahwa pendapat itu tidak dapat dibantah kebenarannya! Bagaimana ini, Li- ko?”
“Memang sesungguhnya, kita yang tidak mau menjadi alat setan akan selalu menentang kejahatan. Akan tetapi kejahatan itu sendiri amat penting bagi kehidupan, karena merupakan perimbangan keadaan, seperti siang dan malam tadi, yaitu Im dan Yang. Kalau tidak ada perbuatan jahat, mana ada perbuatan baik? Justeru kejahatan merupakan tantangan bagi manusia untuk memacu kebaikan. Makin hebat kejahatan merajalela, makin tekun orang memperhatikan pelajaran tentang kebaikan. Makin liar setan merajalela, manusia semakin bersemangat untuk mendekatkan diri kepada kepada Tuhan. Makin ganas si penyakit, makin tekun orang mencari obatnya. Semua itu memang harus berimbang, Im dan Yang, saling bertentangan akan tetapi juga saling menunjang. Kekuasaan Tuhan tampak jelas melalui perimbangan ini, melalui Im dan Yang. Bahkan segala yang tampak di dunia ini terjadi karena perpaduan antara Im dan Yang.”
“Wah, aku menjadi pening, Li-ko, biarpun aku dapat mengerti sedikit pen-jelasanmu itu,” kata Bwee Hwa sambil tertawa.
“Ha-ha-ha, sama dengan aku, Hwa-moi!” kata Ui Kong. “Akupun sering merasa pening kalau Kiang-ko bicara tentang semua itu. Akan tetapi dia pernah memberi perumpamaan yang lebih agak jelas. Begini katanya: Dalam batin manusiapun Im dan Yang bekerja sepenuhnya. Baik dan buruk bekerja dalam batin manusia, seolah manusia itu berbatin setengah malaikat setengah iblis. Maka setiap orang manusia itu ada baiknya dan ada pula jahatnya. Kalau dia baik sepenuhnya, maka bukan manusia namanya, melainkan malaikat. Kalau jahat sepenuhnya, diapun bukan manusia melainkan iblis. Terkadang baik dituntun malaikat, terkadang jahat dituntun iblis, itulah manusia!” Mereka bertiga tertawa. Mereka kini sudah cukup beristirahat dan tiga ekor kuda mereka juga sudah cukup mengaso dan makan rumput. Dengan hati gembira setelah bercakap-cakap tadi, Bwee Hwa tidak melamun lagi dan rasa lelah setelah melakukan perjalanan selama tiga hari rasanya hilang.
Setelah menyeberangi hutan itu, tibalah mereka di lembah sungai dan ketiganya mulai bersikap waspada karena mereka telah memasuki daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Kiu-liong-pang (Perkumpulan Sembilan Naga). Nama perkumpulan yang sesungguhnya merupakan gerombolan penjahat yang suka merampok dan mencuri ini, amat terkenal di Propinsi Hok-kian. Mereka sering melakukan perampokan ke dusun-dusun dan bahkan berani menjarah sampai ke kota.
Pada mereka yang berani melakukan perjalanan melewati lembah sungai itu, tentu akan bertemu anggauta gerombolan yang minta semacam “uang pajak”. Kalau permintaan ini ditolak, mereka akan menggunakan kekerasan, membunuh dan merampok dengan kejam. Juga mereka yang melakukan perjalanan dengan perahu di Sungai Kiu-liong, pasti akan mereka hadang pula dan mereka mintai uang, kalau menolak mereka akan membajak dan membunuh.
Ada sudah usaha para pedagang yang melakukan perjalanan, baik melalui darat maupun melalui air, menyewa para piauw-su (pengawal kiriman) untuk melindungi mereka dari gangguan para anak buah gerombolan Kiu-liong-pang itu. Namun, setelah beberapa kali piauw-su itu bahkan menjadi korban, maka para pedagang mengalah dan merasa lebih aman untuk membayar “pajak” kepada gerombolan itu.
Kiu-liong-pang dipimpin oleh tiga orang pemimpinnya yang terkenal tangguh dan amat lihai ilmu silatnya. Mereka biasa disebut sebagai Toa-liong (Naga Pertama), Ji-liong (Naga Kedua) dan Sam-liong (Naga Ketiga), merupakan tiga orang kakak beradik seperguruan yang berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun. Gerombolan Kiu-liong-pang itu memiliki anak buah yang cukup banyak, tidak kurang dari seratus orang. Karena itu kedudukan mereka amat kuat.
Pihak pemerintah sudah pula berusaha untuk membasmi gerombolan ini dengan mengerahkan pasukan yang besar jumlahnya. Akan tetapi, kalau diserbu pasukan yang besar, semua anak buah gerombolan melarikan diri dan karena daerah lembah Sungai Kiu-liong itu amat luas dan panjang, melewati hutan- hutan lebat, maka sukar sekali bagi pasukan pemerintah untuk membasmi mereka.
Bwee Hwa, Siong Li dan Ui Kong yang telah tiba di lembah sungai dan mengharapkan dapat bertemu dengan anggauta gerombolan Kiu-liong-pang, sampai menjelang senja belum juga menemukan mereka. Daerah itu sunyi bukan main karena memang merupakan daerah yang dianggap berbahaya sehingga jarang ada yang berani melakukan perjalanan lewat lembah itu.
Terpaksa ketiga orang muda itu berhenti di tepi sungai yang terbuka, melepaskan kendali kuda dan menambatkan kuda mereka pada pohon yang tumbuh dekat tempat mereka berada. Ui Kong lalu mencari dan mengumpulkan kayu kering untuk persiapan membuat api unggun. Api unggun amat penting bagi mereka dalam melewatkan malam di tempat seperti itu. Selain dapat mengusir hawa malam yang dingin, juga terutama sekali dapat mengusir nyamuk-nyamuk yang tentu akan sangat mengganggu.
Sementara itu, Siong Li mencari anak sungai yang menumpahkan airnya ke Sungai Kiu-liong. Biasanya dalam hutan terdapat banyak anak sungai kecil yang jernih airnya. Setelah mendapatkan anak sungai yang jernih airnya, Siong Li memberi tahu Bwee Hwa dan gadis ini lalu pergi mandi dan berganti pakaian bersih. Setelah ia selesai, lalu Ui Kong mandi dan yang terakhir giliran Siong Li. Mereka bertiga merasa segar sehabis mandi dan berganti pakaian bersih.
Setelah itu, kembali mereka makan roti dan daging kering yang dibawa Ui Kong sebagai bekal. Sejak siang tadi mereka tidak pernah bertemu dengan dusun atau bahkan orang lain sehingga mereka tidak dapat membeli makanan lain. Bagi Bwee Hwa dan Siong Li yang sudah terbiasa melakukan perjalanan dan mengalami makan seadanya dan tidur di tempat seadanya pula, keadaan seperti itu sama sekali tidak merupakan gangguan. Mereka dapat makan apa saja dengan lezat asalkan perut mereka lapar dan tidur di manapun asalkan mata mereka mengantuk.
Akan tetapi tidak demikian dengan Ui Kong. Biarpun pemuda ini pernah mempelajari ilmu silat sampai tingkat tinggi, namun dia tidak pernah melakukan perantauan seperti itu dan hidupnya selalu bergelimang kemewahan dan kecukupan. Makan selalu dengan lauk pauk yang serba lengkap dan mewah, tidurpun di kamar indah dengan tempat tidur yang lunak. Maka pengalaman selama tiga hari ini cukup membuat dia merasa menderita.
Ketika mereka makan roti dan daging kering, makanan yang itu-itu juga yang mereka makan selama tiga hari ini, Bwee Hwa melihat betapa Ui Kong makan dengan alis berkerut, sama sekali tidak lahap seperti ia dan Siong Li yang merasa lapar. Setelah selesai makan, Ui Kong berkata, “Biarlah malam ini aku yang berjaga di sini. Kalian mengaso dan tidurlah.”
“Ah, mana bisa begitu, Kong-te? Kita melakukan penjagaan dengan bergilir. Setidaknya kita berdua yang bergiliran dan Hwa-moi boleh mengaso dan tidur.”
“Ah, tidak bisa! Akupun harus mendapat giliran seperti dua malam yang lalu. Aku tidak mau enak- enakan sendiri tidur sedangkan kalian berdua melakukan penjagaan!” kata Bwee Hwa.
“Sebetulnya tidak perlu bergilir, biar aku saja yang berjaga semalam ini. Ba-gaimanapun, kalau tiba giliran kalian, tetap saja aku tidak dapat pulas.”
Bwee Hwa yang sejak hari pertama perjalanan sudah memperhatikan pemuda yang tampak menderita melakukan perjalanan itu, tersenyum, “Ah, engkau tidak dapat tidur pulas karena tempatnya, Kong-ko?”
Ui Kong tersenyum dan mengangguk, lalu berkata sejujurnya. “Ya, begitulah.”
“Kulihat tadi engkau makan juga tidak lahap, seperti dipaksakan. Makanannya kurang enak bagimu, ya?” tanya Bwee Hwa.
Ui Kong mengerutkan alisnya. “Sialan itu gerombolan Kiu-liong-pang! Di mana saja sih mereka itu, belum juga menampakkan diri? Membuat aku kesal!”
“Nah, inilah sebabnya mengapa dulu guruku pernah mengatakan bahwa jauh lebih baik membiasakan diri hidup sederhana daripada hidup bermewah-mewahan,” kata Siong Li.
“Akan tetapi, Li-ko, apakah orang yang keadaannya cukup atau kaya harus hidup sederhana? Lalu untuk apa semua harta yang diperolehnya dalam pekerjaannya?” bantah Ui Kong. “Tentu saja tidak begitu yang dimaksudkan suhu. Hidup sederhana bukan berarti orang kaya harus hidup serba kekurangan atau melarat. Yang dimaksudkan agar dalam kehidupan sehari-hari tidak bermewah- mewah, tidak berlebihan. Hidup sederhana berarti merasa puas dengan apa yang ada, tidak main royal- royalan memanjakan nafsu keinginan yang bersifat angkara murka.
Kalau kita sudah terbiasa dengan apa adanya, maka makanan apapun akan terasa lezat kalau kita lapar dan tempat tidur manapun akan terasa nyaman kalau kita mengantuk. Hidup sederhana merupakan pencerminan jiwa yang sederhana, dalam arti kata tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada dan dapat menerima dan menikmati apa yang ada sehingga setiap saat kita dapat bersyukur kepada Thian (Tuhan) akan apa yang diberikanNya kepada kita.”
Ui Kong mengangguk-angguk. “Aku mengerti sekarang, Li-ko. Agaknya yang kaumaksudkan adalah agar kita tidak memanjakan keinginan nafsu-nafsu kita yang selalu haus akan kesenangan. Begitukah?”
“Kurang lebih begitulah, Kong-te,” kata Siong Li.
Malam itu, ketika giliran Ui Kong untuk tidur, dia dapat tidur nyenyak di bawah pohon, di atas tanah begitu saja. Melihat ini, Siong Li tersenyum. Ternyata pemuda hartawan itu sudah dapat memetik manfaat dari percakapan mereka tadi!
Mereka tidur bergiliran dan pada keesokan harinya, setelah membersihkan badan, mereka hendak melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, tiba-tiba mereka mendengar tiga ekor kuda mereka meringkik ketakutan. Mereka cepat menengok dan tampaklah belasan orang laki-laki muncul dan tiga orang di antara mereka sudah menguasai kuda-kuda mereka yang tadinya ditambatkan pada batang pohon.
“Keparat busuk, lepaskan kuda-kuda kami!” bentak Bwee Hwa marah dan gadis ini sudah siap untuk menyerang para pencuri kuda-kuda itu dengan jarum-jarumnya.
Akan tetapi Siong Li cepat memegang lengannya. Pemuda ini khawatir kalau-kalau Bwee Hwa akan membunuh orang. Kalau hal itu terjadi, akan sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan tentang cabang Pek-lian-kauw. Diapun menghadapi belasan orang yang kini menghadang di depan mereka, lalu berkata dengan sikap bersahabat dan tersenyum ramah.