Halo!

Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 33

Memuat...

“Wah, pernah aku mendengar julukan itu! Menurut kabar yang pernah kudengar, adalah seorang tokoh Thai-san-pai yang lihai? Benarkah itu, Li-ko?” kata Ui Kong.

Siong Li tersenyum. “Untuk menjawab pertanyaan Kiang-ko tadi, mungkin yang dimaksudkan orang- orang yang memberi julukan Naga Bertanduk Satu kepadaku, yang dimaksudkan dengan tanduk itu adalah pedangku ini. Dan apa yang kaudengar itu, Kong-te, memang benar. Aku adalah seorang murid Thai-san-pai (Aliran Persilatan Thai-san).”

“Kiang-ko dan Kong-ko, biarkan Li-ko menceritakan tentang asal usulnya dari semula, tidak dipotong- potong begitu!” cela Bwee Hwa.

Ong Siong Li lalu terpaksa menceritakan tentang dirinya.

“Dia berasal dari sebuah dusun di kaki pegunungan Thai-san sebelah timur, yaitu dusun Ban-ki-cung. Ketika dia berusia sekitar lima tahun, dusun Ban-ki-cung dilanda wabah yang amat ganas. Hampir separuh penduduk dusun itu, berjumlah ratusan orang tewas karena penyakit menular yang ganas. Untung bahwa pada saat wabah itu mengganas, kebetulan Cheng-han Tojin, seorang pertapa yang menjadi ketua dari Thai-san-pai di Thai-san yang sakti dan pandai ilmu pengobatan, lewat di dusun itu. Biarpun dia hanya seorang diri dan kebetulan saja lewat di situ, namun melihat penderitaan rakyat, Cheng-han Tojin bekerja keras dan cepat bertindak.

Setelah memeriksa dan mengetahui jelas jenis wabah penyakitnya, dia lalu mencari akar-akar dan daun- daun obat, kemudian dia mengobati mereka dan ratusan orang dapat diselamatkan. Betapapun juga, sudah ratusan orang mati, termasuk ayah dan ibu Ong Siong Li.

Melihat keadaan anak itu, Cheng-han Tojin merasa kasihan dan dia lalu membawa Siong Li ke Thai-san. Di Thai-san dia dan murid-murid tertuanya menggembleng Siong Li dengan ilmu-ilmu silat Thai-san-pai, juga mengajari ilmu membaca menulis. Cheng-han Tojin sendiri yang lebih banyak duduk diam bersamadhi, lebih banyak mengajarkan tentang filsafat, budi pekerti dan keagamaan kepada Siong Li.

Setelah berusia duapuluh tahun dan menjadi seorang pemuda dewasa, Cheng-han Tojin yang seolah merupakan pengganti orang tuanya, menyuruh dia turun gunung untuk merantau dan mencari pengalaman. Dalam waktu hampir setahun saja Siong Li telah melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa, menentang penjahat-penjahat besar sehingga dia memperoleh julukan It-kak-liong (Naga Tanduk Sakti).

Ketika perkumpulan Hwe-coa-kauw merajalela di Tit-le, Siong Li bersama beberapa orang suhengnya dan para pendekar dari aliran lain, bersatu menentang perkumpulan sesat yang amat kuat itu dan akhirnya setelah terjadi pertempuran besar, para pendekar dapat membasmi sarang Hwe-coa-kauw di Title. Akan tetapi seorang suheng dari Siong Li tewas dalam pertempuran itu. Hal ini membuat pemuda itu sakit hati dan mulailah dia melakukan penyelidikan dan dalam perjalanan ini dia bertemu dengan Bwee Hwa dan bersama-sama membasmi sisa-sisa anggauta Hwe-coa-kauw.”

“Nah, demikianlah riwayat hidupku. Tidak ada yang menarik,” Siong Li meng-akhiri ceritanya.

“Menarik sekali, Li-ko. Ternyata engkau seorang pendekar sejati, aku kagum sekali padamu!” kata Ui Kong.

“Dan bagaimana engkau dapat menjadi suheng eh, susiok dari Hwa-moi, Kong-te?” tanya Siong Li.

“Sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat dan ketika aku berusia sepuluh tahun, secara kebetulan aku bertemu dengan Pek-mau Sanjin (Orang Gunung Rambut Putih). Karena aku melihat dia melompati sebuah jurang di luar kota, aku lalu mohon menjadi muridnya. Dia mengunjungi ayah dan setelah berbicara, ayah mengijinkan aku belajar silat dari Pek-mau Sanjin. Aku lalu diajak ke rumahnya yang berada di puncak Bukit Cemara. Di sana aku digembleng ilmu silat. Akan tetapi karena suhu Pek-mau Sanjin sudah tua renta, aku lalu dilatih oleh dua orang muridnya, yaitu Sin-kiam Lojin dan Beng-san Cinjin. Suhu meninggal dua tahun kemudian dan setelah toa-suheng Sin-kiam Lojin pindah ke Heng-san, aku selanjutnya dilatih oleh ji-suheng (kakak seperguruan kedua) Beng-san Cinjin. Setelah tamat belajar aku pulang.”

“Hemm, menarik juga ceritamu,” puji Siong Li.

“Yang lebih menarik lagi ternyata kita semua ini orang-orang yatim piatu, tidak punya ayah ibu lagi,” kata Bwee Hwa.

Ucapan wajar ini ternyata bagi Ui Kiang yang amat perasa dan peka merupakan tikaman pada jantungnya. Tak tertahankan lagi dia menutupi mukanya dengan kedua tangan. Walaupun dia menahan isak tangisnya, namun kedua pundaknya bergoyang-goyang dan ada juga air mata menetes dari celah- celah jari tangannya.

Sejak perkenalan pertama, Bwee Hwa merasa kasihan kepada Ui Kiang. Ia tahu bahwa Ui Kiang tidak mempelajari ilmu silat, akan tetapi dia seorang sastrawan, juga seniman. Wataknya yang lembut, sikapnya yang penuh sopan santun, perasaannya yang peka mendatangkan rasa kagum tersendiri dalam hatinya.

Melihat keadaan pemuda itu demikian terpukul oleh ucapannya, Bwee Hwa menyadari kesalahannya. Ia teringat bahwa kakak beradik Ui itu baru saja beberapa hari kehilangan ayah mereka. Maka iapun segera bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Ui Kiang dan menyentuh pundak pemuda itu.

“Kiang-ko, ah, maafkan kata-kataku tadi. Aku tidak bermaksud menyakiti ha-timu, Kiang-ko.”

Mendengar ucapan gadis ini dan merasakan sentuhan pada pundaknya, Ui Kiang cepat mengeluarkan saputangan dan menghapus air matanya sampai bersih, lalu berusaha tersenyum dan memandang kepada Bwee Hwa.

“Terima kasih, Hwa-moi. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Akulah yang harus minta maaf karena aku terlampau cengeng. Engkau benar dengan kata-katamu tadi, kita semua ini yatim piatu. Setidaknya kebersamaan ini mengurangi rasa sakit di hati karena mendapat sahabat senasib sependeritaan.” Bwee Hwa tersenyum girang dapat menghibur hati Ui Kiang dan ia duduk di atas kursinya.

Ui Kong bangkit berdiri, kedua tangannya terkepal. “Kiang-ko, jangan bersedih. Hari ini juga aku akan berangkat mencari musuh besar kita, pembunuh ayah kita! Baik-baiklah saja di rumah, aku tidak akan kembali sebelum berhasil membunuh Pek-bin Moko itu!”

Siong Li kembali merasa cemas. Dia tahu bahwa secara diam-diam kedua orang kakak beradik Ui itu sedang bersaing untuk menjadi suami Bwee Hwa. Dia dapat melihat api cemburu bersinar di mata Ui Kong melihat sikap lembut Bwee Hwa terhadap kakaknya tadi! Maka diapun cepat berkata kepada Ui Kong yang masih berdiri.

“Kong-te, kuharap engkau suka tenang dan bersabar. Silakan duduk. Ketahuilah bahwa Hwa-moi dan aku sendiri sudah mengambil keputusan untuk membantumu mencari Pek-bin Moko dan kawan-kawannya, selain untuk membalas kematian Paman Ui, juga untuk merampas kembali patung Dewi Kwan Im dari Kuil Bak-hok-si.”

“Benar, Kong-ko. Duduklah dan mari kita rundingkan dulu bagaimana baiknya,” Bwee Hwa ikut membujuk Ui Kong yang masih berdiri dengan muka merah dan tangan terkepal.

Mendengar bujukan Bwee Hwa ini, Ui Kong lalu duduk kembali dan dia berkata, “Akan tetapi apalagi perlu dirundingkan? Kita pergi saja sekarang juga dan melakukan pengejaran dan pencarian, habis perkara,” kata Ui Kong yang masih belum hilang kemarahannya karena teringat kepada Pek-bin Moko yang telah membunuh ayahnya.

“Ingat, Kong-te, musuh kita tidak boleh dipandang rendah. Engkau menyaksikan sendiri bahwa Hek-bin Moko yang tewas itu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw, jelas tampak dari pakaian sebelah dalam, di mana terdapat gambar teratai putih. Tentu pasangannya, Pek-bin Moko juga seorang tokoh Pek-lian- kauw. Jadi yang kita hadapi bukan perorangan, melainkan perkumpulan pemberontak golongan sesat itu. Tiga orang anak buah yang tewas itupun merupakan anggauta gerombolan sesat, yang seorang tokoh Hwee-coa-kauw dan yang dua orang lagi bekas anak buah Kauw-jiu Pek-wan. Agaknya mereka bertiga sudah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw.”

“Nah, kalau begitu kita cari sarang Pek-lian-kauw dan kita basmi mereka!” kata Ui Kong.

“Maaf, Kong-te. Agaknya engkau belum mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw. Tahukah engkau di mana sarang pusat perkumpulan Pek-lian-kauw itu?” tanya Siong Li.

Ui Kong menggeleng kepalanya. “Akan tetapi kita dapat mencari keterangan sampai dapat menemukan sarang mereka!”

“Tidak perlu susah mencarinya. Pusat Pek-lian-kauw berada di Pegunungan Teratai di Propinsi Ho-pei.” “Kalau begitu sekarang juga kita pergi ke sana!”

“Ucapanmu itu membuktikan bahwa engkau sama sekali tidak mengenal Pek-lian-kauw, Kong-te. Ketahuilah, perkumpulan itu pada pusatnya sana teramat kuat. Mereka menduduki daerah Pegunungan Teratai di Propinsi Ho-pei sebelah selatan sampai menyeberang propinsi ke lembah Sungai Kuning bagian utara. Jumlah anggauta mereka mencapai seribu orang lebih. Kaisar sendiri yang bertangan besi, beberapa kali sudah mengerahkan pasukan, namun tak pernah berhasil membasmi perkumpulan itu sampai ke akarnya. Paling-paling hanya membuat perkumpulan itu lari mengungsi, berpindah-pindah di daerah yang sulit karena penuh dengan perbukitan dan anak sungai yang curam itu.”

“Wah, kalau begitu, bagaimana kalian dapat mencari pembunuh ayah itu? Tak mungkin kalian bertiga melawan ribuan orang Pek-lian-kauw!” seru Ui Kiang gelisah.

“Aku yakin bahwa Pek-bin Moko bukan anggauta pusat, Kiang-ko. Pek-lian-kauw mempunyai banyak sekali cabang. Cabang-cabang ini tempatnya tersembunyi, dan anggautanya juga tidak berapa banyak. Kalau Pek-lian-kauw sampai mau mencuri patung emas, berarti pelakunya tentu anggauta sebuah cabang saja untuk mengumpulkan dana. Karena itu, sekarang yang harus dicari adalah di mana adanya cabang Pek-lian-kauw yang berada di sekitar daerah ini,” Siong Li menjelaskan.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment