“Jangan curi patung itu!” katanya. Akan tetapi Pek-bin Moko menyambutnya dengan bacokan pedang yang sudah dicabutnya dengan tangan kanan.
“Singgg…… carttt……!” Darah muncrat dan tubuh Hartawan Ui roboh mandi darah karena pundak dan dadanya terbacok pedang. Ui Kiang menubruk ayahnya.
“Ayahhhhhh……!” Dia berteriak dengan sedih. Ayahnya tadi sengaja menghadang serangan pedang Pek- bin Moko untuk melindunginya, dan ayahnya yang menjadi korban pedang itu!
Pek-bin Moko menggerakkan pedangnya lagi untuk membacok Ui Kiang, akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan merah berkelebat masuk.
“Trangggg……!” Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Pek-bin Moko itu bertemu dengan Sin-hong- kiam (Pedang Tawon Sakti) di tangan Bwee Hwa yang menangkisnya.
Merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, Pek-bin Moko terkejut dan marah. Dia lalu menyerang Bwee Hwa yang melompat ke belakang untuk mencari tempat yang lebih lega. Pek- bin Moko mengejar dan mereka berdua sudah terlibat dalam perkelahian pedang yang seru dan mati- matian.
Sementara itu, Sam-kauwcu atau Ban Kit, Lie Hoat dan Souw Ban Lip, setelah merobohkan tiga orang hwesio, kini diserang oleh Siong Li yang sudah mengamuk dengan pedangnya. Pemuda itu marah sekali dan merasa menyesal mengapa tadi dia dan Bwee Hwa terhalang banyak orang sehingga kedatangan mereka di ruangan itu agak terlambat dan para penjahat telah merobohkan tiga orang hwesio dan juga Hartawan Ui. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya sehingga tiga orang penjahat itu agak kewalahan dan akhirnya mereka bertiga berloncatan keluar untuk mencari tempat yang lebih luas sehingga pengeroyokan mereka akan lebih leluasa.
Ui Kong juga terkejut melihat ayahnya roboh mandi darah. Dia mencabut pedangnya dan hendak menyerang Pek-bin Moko yang telah membunuh ayahnya, akan tetapi Hek-bin Moko sudah menyerang dengan pedang sehingga terpaksa dia melayani Iblis Muka Hitam itu.
Ui Kiang tidak memperdulikan mereka yang bertempur. Dengan bantuan dua orang hwesio yang berindap-indap menghampiri dengan takut, dia mengangkat tubuh ayahnya yang mandi darah ke sebelah dalam kuil. Seorang hwesio tua yang paham akan ilmu pengobatan berusaha untuk menolong Hartawan Ui dengan memberi obat kuat untuk diminumkan, lalu obat untuk menghentikan keluarnya darah dan membalut lukanya yang parah. Hartawan Ui belum tewas, akan tetapi keadaannya payah sekali. Luka di pundak terus ke dada itu cukup dalam. Napasnya terengah-engah dan dia berada dalam keadaan tidak sadar.
Sementara itu, perkelahian di luar ruangan depan kuil itu yang kini tampak sepi karena semua pengunjung telah kabur melarikan diri, masih berlangsung seru. Melihat betapa gadis baju merah yang menjadi lawannya itu hebat bukan main memainkan pedangnya yang mengeluarkan bunyi berdengung seperti ada banyak lebah mengurungnya, Pek-bin Moko sengaja bergerak mendekati rekannya, Hek-bin Moko yang masih bertanding melawan Ui Kong. Ternyata pemuda she Ui inipun gagah perkasa karena dia mampu menandingi kehebatan ilmu pedang tokoh Pek-lian-kauw itu.
Yang agak kerepotan malah Siong Li. Biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada lawan- lawannya, akan tetapi karena mereka maju bertiga me-ngeroyoknya, dan ketiganya memang cukup tangguh, maka dia kewalahan dan Siong Li terpaksa hanya dapat memutar pedangnya sehingga gulungan sinar pedangnya menjadi perisai melindungi seluruh tubuhnya.
Ban Kit yang dulu menjadi ketua agama tingkat tiga memiliki ilmu pedang yang dasarnya adalah Go-bi- kiam-sut (Ilmu Pedang Aliran Go-bi), akan tetapi telah bercampur dengan ilmu pedang Pek-lian-kauw yang memiliki gerakan aneh dan curang sehingga cukup berbahaya. Adapuh Lie Hoat, biarpun lengan kirinya telah buntung dalam perkelahian melawan Siong Li dahulu, ternyata tangan kanannya masih ampuh dengan ilmu silat Kang-jiauw-eng (Garuda Cakar Baja) masih ampuh sekali, tidak kalah berbahayanya dibandingkan senjata tajam. Souw Ban Lip juga amat tangguh dengan goloknya yang lebar dan tipis, amat tajam.
Melihat betapa kawan-kawannya ditandingi orang-orang yang tangguh dan tampaknya tidak akan mudah menang, Pek-bin Moko menjadi khawatir. Dia khawatir kalau-kalau tugas yang mereka pikul gagal. Para pimpinan tertinggi Pek-lian-kauw tentu akan memberi hukuman berat kalau tugas tidak dapat dilaksanakan dengan hasil baik. Karena itu, paling penting adalah menyelamatkan patung emas Kwan-im Pouwsat yang sudah dikempitnya!
“Hek-te (Adik Hitam), dan tiga orang kawan-kawan, lawan terus!” katanya dan tiba-tiba dia meloncat jauh ke depan.
Ketika Bwee Hwa mengejarnya dan berseru nyaring, “Keparat, hendak lari ke mana engkau?”
Tiba-tiba Pek-bin Moko membanting sebuah benda ke atas tanah. Sebuah ledakan terdengar dan tampak asap hitam mengepul tebal. Bwee Hwa terkejut dan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun. Akan tetapi ternyata tidak dan ketika ia hendak mengejar, bayangan Pek-bin Moko telah lenyap.
Dengan marah sekali ia lalu memandang ke arah Hek-bin Moko yang masih bertanding pedang dengan hebatnya melawan pemuda tampan gagah yang lihai itu. Ia terkejut ketika melihat betapa dasar gerakan ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu sama benar dengan dasar gerakan ilmu pedangnya sendiri. Ia teringat! Itulah Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) yang juga menjadi dasar dari Sin-hong Kiamsut (Ilmu Pedang Tawon Sakti) yang sengaja dirangkai oleh gurunya, Sin-kiam Lojin untuk disesuaikan dengan gerakan seorang wanita dan diajarkan kepadanya!
Melihat betapa pemuda itu mampu mengimbangi permainan pedang Iblis Muka Hitam, bahkan mampu mulai mendesaknya, ia menoleh ke arah Siong Li dan terkejutlah ia ketika melihat betapa Siong Li yang dikeroyok tiga oleh lawan-lawannya yang tangguh itu terdesak hebat dan hanya mampu melindungi diri saja! Bwee Hwa menjadi marah sekali. Cepat ia melompat ke arah medan pertempuran itu, tangan kirinya siap dengan jarum-jarumnya. “Bangsat-bangsat rendah, mampuslah!” bentaknya dan ia telah menggerakkan tangan kirinya. Jarum- jarum lembut yang mengeluarkan suara berdengung menyambar ke arah tiga orang yang mengeroyok Siong Li.
Souw Ban Lip dapat menangkis dengan senjata mereka akan tetapi Lie Hoat yang hanya mengandalkan tangan kanan yang tak bersenjata, tak sempat mengelak dan dia roboh terpelanting ketika ada jarum mengenai pundak dan tengkuknya.
Bwee Hwa mengayun pedangnya dan tewaslah Lie Hoat! Setelah membunuh Lie Hoat, Bwee Hwa menyerang Ban Kit yang dulu sempat meloloskan diri.
Ban Kit terkejut dan juga gentar bukan main melihat kini gadis yang berjuluk Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) itu menyerangnya dengan pedang yang me-ngeluarkan bunyi seperti ratusan tawon itu. Dia melawan mati-matian, akan tetapi karena gugup dan takut, gerakannya menjadi kacau dan pedang di tangan Bwee Hwa menyambar dari samping. Lambungnya tersayat dan Ban Kit terjungkal roboh untuk tidak bangun kembali.
Pada saat itu juga, Souw Ban Lip juga roboh oleh pedang Siong Li. Setelah dia hanya menghadapi seorang lawan saja, Siong Li yang memang lebih tinggi tingkat kepandaiannya, dengan mudah mengalahkan Souw Ban Lip. Tiga orang anak buah Pek-lian-kauw itu tewas semua.
Melihat betapa tiga orang kawannya tewas dan Pek-bin Moko sudah melarikan diri sehingga dia tinggal seorang diri, Hek-bin Moko menjadi gentar dan diapun ingin melarikan diri. Dia sudah mengeluarkan sebuah alat peledak dan siap membanting alat peledak yang menimbulkan asap tebal itu. Akan tetapi sekali ini Bwee Hwa telah waspada karena tadi ia telah tertipu oleh Pek-bin Moko dengan alat peledak itu sehingga ia kehilangan lawannya yang menggunakan akal licik.
Kini ia telah siap siaga, maka begitu Hek-bin Moko mengambil sesuatu dari kantung jubahnya, ia mendahuluinya dan begitu tangan kirinya bergerak, sinar sinar lembut meluncur ke arah tubuh Hek-bin Moko. Pendeta atau anggauta pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu tidak menduga akan diserang dengan senjata rahasia yang meluncur demikian cepatnya.
Beberapa batang Hong-cu-ciam (Jarum Tawon) mengenai tenggorokan, dada dan perutnya dan robohlah Hek-bin Moko. Alat peledak itupun ikut terbanting dan terdengarlah ledakan dibarengi asap tebal mengepul. Akan tetapi setelah asap itu membuyar, tampak tubuh Hek-bin Moko terbujur kaku karena sudah tewas.
Siong Li menhampiri, menyingkap jubahnya dan di bawah jubah itu tampak lukisan setangkai bunga teratai putih di bajunya yang putih, yang membuktikan bahwa dia adalah seorang pimpinan Pek-lian- kauw.
Tiba-tiba Ui Kong berseru, “Ayah. !”
Dan tanpa memperdulikan Bwee Hwa dan Siong Li, dia melompat dan berlari memasuki kuil yang telah kosong dan sepi itu.
Siong Li memberi isyarat kepada Bwee Hwa dan keduanya juga lari memasuki kuil karena tadi Siong Li juga melihat robohnya Hartawan Ui. Ketika Siong Li dan Bwee Hwa memasuki ruangan dalam kuil itu, mereka melihat laki-laki berusia limapuluh tahun itu menggeletak di atas dipan. Bajunya telah ditanggalkan dan tampak pundak dan dadanya dibalut kain putih. Laki laki ini adalah Ui Cun Lee yang telah dikenal Siong Li. Ui Kiang duduk di atas bangku dekat dipan dan Ui Kong yang baru datang berlutut di dekat dipan. Seorang hwesio kurus tua duduk di atas sebuah kursi.
“Ayah……!” Ui Kong berseru, lalu dia memegang lengan kakaknya. “Kiang-ko, bagaimana keadaan ayah kita?”
Ui Kiang memandang adiknya dan menghela napas dengan wajah sedih. “En-tahlah, Kong-te, lo-suhu ini sudah berusaha mengobatinya, akan tetapi lukanya amat parah dan dia mengeluarkan banyak darah……”
Ui Kong lalu bangkit berdiri dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan hwesio tua itu. “Lo-suhu, tolonglah ayah kami. Obati dan sembuhkan dia, lo-suhu. !”
“Omitohud, siapa yang tidak akan suka menolong Ui-wangwe ( Hartawan Ui) yang terkenal bijaksana dan dermawan? Pinceng (saya) sudah berusaha se-mampunya, akan tetapi semua hasilnya terserah kepada Yang Maha Kuasa, Omitohud!” kata pendeta itu sambil merangkap kedua tangan di depan dadanya.
Pada saat itu, Hartawan Ui bergerak membuka matanya dan mengeluh panjang.
“Ayah……!” Ui Kiang dan Ui Kong berseru, mendekati ayah mereka. Akan tetapi Ui Cun Lee mencari-cari dengan pandang matanya, lalu bertanya, suaranya lemah.
“Mana ia.......? Mana Lim Bwee Hwa ?”
Kedua orang kakak beradik itu bingung karena mereka sendiri tidak tahu di mana gadis yang ditanyakan ayah mereka itu. Akan tetapi mendengar pertanyaan ini, Siong Li segera menarik tangan, Bwee Hwa untuk maju menghampiri pembaringan dan berkata.
“Paman Ui, inilah nona Lim Bwee Hwa!”
Ui Kiang dan Ui Kong menoleh dan terbelalak memandang gadis berpakaian merah yang tadi mereka lihat membela mereka dengan gagah perkasa. Mereka lalu bangkit dan memberi ruang kepada Siong Li dan Bwee Hwa. Gadis itu merasa terharu dan iba kepada Ui Cun Lee. Ia maju dan berlutut di dekat pembaringan sambil berkata.
“Paman, sayalah Lim Bwee Hwa dan maafkan bahwa saya terlambat menolong paman tadi.”
Hartawan Ui melebarkan matanya untuk dapat memandang gadis itu lebih jelas. Lalu dia tampak tersenyum girang. “Hemmm, engkau cantik seperti ibumu dan seperti ayahmu! Aku aku