Mendengar ucapan dan melihat sikap Bwee Hwa yang keras dan melawan, kawanan polisi itu segera memberi isyarat ke belakang mereka dan muncullah tiga belas orang polisi lain sehingga jumlah mereka kini menjadi duapuluh orang yang semuanya mencabut pedang masing-masing!
“Nona, harap jangan mencoba untuk melawan dengan kekerasan. Kami hanya menjalankan tugas. Kami diperintah atasan kami untuk menangkap kalian berdua. Soal urusannya boleh kalian bicarakan sendiri dengan jaksa yang akan memeriksa kalian nanti di kantor.”
Bwee Hwa hendak mencabut pedangnya, akan tetapi Siong Li memberi isyarat dengan matanya untuk mencegah gadis itu mengamuk. Melihat ini Bwee Hwa menahan kemarahannya dan Siong Li lalu menghampiri kepala regu polisi itu dan berkata dengan sikap halus.
“Baiklah, kami akan menurut. Akan tetapi engkau harus menerangkan dulu kepada kami, tuduhan apakah yang dijatuhkan kepada kami? Kami minta penjelasan agar tidak menjadi penasaran.”
Kepala rombongan petugas keamanan itu tersenyum mengejek.
“Ah, kalian masih pura-pura bertanya lagi? Seluruh kota telah gempar karena perbuatan-perbuatan kalian pada malam hari, sekarang masih berpura-pura tanya mengapa kalian hendak ditangkap? Jangan main-main kalian!”
“Siapa yang main-main? Kalian telah salah sangka dan salah tangkap. Kami bukanlah orang-orang yang melakukan pelanggaran dan perbuatan jahat, kami bukan orang-orang yang kalian maksudkan. Kami baru saja datang di kota ini sore tadi. Nah, marilah antar kami ke kantor jaksa agar ada penjelasan tentang hal ini semua.
Dengan sikap tenang Siong Li dan Bwee Hwa keluar dari rumah penginapan itu, dikawal oleh duapuluh orang penjaga keamanan. Tentu saja hal ini menarik perhatian orang banyak dan dua orang muda itu menjadi tontonan. Para petugas keamanan membentak orang-orang yang saling berdesakan hendak melihat wajah Siong Li dan Bwee Hwa yang dikabarkan sebagai sepasang pencuri yang telah sebulan lebih menggemparkan kota itu. Tadinya pemimpin regu polisi itu hendak memasang borgol pada kedua tangan Siong Li dan Bwee Hwa, akan tetapi Bwee Hwa membentak, “Kalau engkau berani menyentuh tanganku, kepalamu akan kubikin pecah lebih dulu!”
Siong Li cepat berkata kepada kepala regu itu, “Sobat, percayalah kepada kami. Kami tidak akan lari, kecuali kalau kalian bertindak kasar dan sewenang-wenang tentu kami akan bertindak keras pula. Bawalah saja kami kepada jaksa dan kami akan menghadap secara baik-baik.”
Kepala regu itu agaknya dapat menduga bahwa kedua orang muda ini tentu lihai sekali dan diapun melarang anak buahnya bersikap kasar. Maka Siong Li dan Bwee Hwa tidak diborgol, juga diperlakukan dengan sopan sehingga mereka yang menonton menjadi heran. Di sepanjang perjalanan menuju ke kantor jaksa, banyak orang nonton seregu petugas keamanan yang mengawal dua orang muda itu.
Berita bahwa sepasang maling yang selama ini meresahkan penduduk kota Tung-kwang telah tersebar luas dan semua orang ingin melihat bagaimana wajah para maling itu. Mereka yang sempat melihat Siong Li dan Bwee Hwa merasa heran bukan main. Sepasang maling itu sama sekali tidak berwajah menyeramkan sebagaimana yang mereka bayangkan, seperti wajah para penjahat pada umumnya. Sama sekali sebaliknya, wajah kedua orang maling ini tampan dan cantik, sepasang orang muda yang elok!
Tak lama kemudian tibalah pasukan itu di kantor jaksa dan ternyata Jaksa Kwee telah diberi laporan tentang tertangkapnya dua orang muda yang dicurigai sebagai maling, maka diapun sudah siap untuk memeriksanya. Jaksa Kwee adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun, bertubuh gemuk dengan wajah kekanak-kanakan dengan sepasang mata yang tajam dan cerdik. Dia sudah duduk di atas kursi kebesarannya, berpakaian jaksa lengkap. Lima orang perajurit pengawal berdiri di belakangnya, dengan golok mengkilap di tangan.
Lima orang anggauta polisi termasuk pemimpinannya yang berkumis panjang mengawal dua orang muda itu memasuki ruangan sidang. Mereka berlima menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Jaksa Kwee, akan tetapi Siong Li dan Bwee Hwa tetap berdiri. Si kumis panjang yang melihat ini segera membentak.
“He, kalian sungguh tidak tahu aturan. Lekas berlutut!”
Bwee Hwa menjawab ketus. “Mengapa berlutut? Kami bukan pesakitan!”
Pemimpin polisi itu hendak marah, akan tetapi Jaksa Kwee memberi isyarat dengan tangannya untuk mencegah, kemudian berkata kepada dua orang muda itu.
“Ji-wi bernama siapa dan datang dari manakah?”
Siong Li mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat, diturut oleh Bwee Hwa lalu berkata lantang. “Saya bernama Ong Siong Li dan nona ini adalah seorang pendekar wanita bernama Bwee Hwa berjuluk Ang-hong-cu. Kami berdua adalah pengembara dan sama sekali tidak mengerti mengapa tanpa sebab kami dipaksa menghadap ke sini. Harap taijin (pembesar) suka memberi penjelasan mengapa kami ditangkap?”
Jaksa Kwee mengangguk-angguk dan menghela napas panjang. “Aku sendiri tidak dapat percaya bahwa orang-orang berdosa dapat bersikap seperti kalian. Tentu ada salah sangka dalam hal ini. Ketahuilah, telah sebulan lebih kota ini terganggu oleh sepasang maling yang sangat. berani dan yang tiap malam mendatangi rumah-rumah penduduk lalu mencuri barang-barang berharga. Ji-wi adalah orang-orang asing dan merupakan muka-muka baru, juga merupakan sepasang, lebih-lebih jiwi membawa pedang dan pasti memiliki kepandaian silat karena mengenakan pakaian perantauan yang ringkas itu, maka mudah dimengerti mengapa para petugasku menjadi curiga kepada ji-wi.”
Siong Li dan Bwee Hwa saling pandang dan mengangguk-angguk. Di dalam hati mereka memuji sikap Jaksa Kwee ini sebagai seorang pembesar yang tegas, jujur, dan bijaksana. Untung tadi mereka tidak mempergunakan kekerasan. Kalau sampai terjadi demikian, tentu mereka berdua akan merasa malu sekali menghadapi pembesar yang bijaksana dan bersikap terbuka ini.
“Sekarang kami mengerti mengapa kami berdua ditangkap, taijin,” kata Siong Li. “Kami tidak menyalahkan para perajurit ini.”
Jaksa Kwee menghela napas panjang lalu berkata, “Ji-wi adalah orang-orang gagah. Melihat sikap ji-wi yang gagah dan tenang, aku dapat menduga bahwa ji-wi tentulah dua orang pendekar budiman yang gagah perkasa. Akan tetapi sayang sekali nama baik ji-wi telah dicemarkan oleh sepasang penjahat yang mengacau kota Tung-kwang ini.”
Siong Li hanya tersenyum dan dia merasa semakin kagum kepada pembesar ini. Ucapan pembesar itu mengandung maksud tertentu dan membuktikan kelihaian pembesar itu mempergunakan akalnya. Akan tetapi Bwee Hwa mengerutkan alis dan rrterasa tidak senang.
“Hemm, mengapa nama kami tercemar oleh mereka? Kami tidak mempunyai hubungan apapun dengan mereka. Apa yang mereka lakukan tidak ada sangkut pautnya dengan kami!”
Kwee-taijin menjawab dengan suara yang mengandung penyesalan besar. “Bukankah ji-wi tadi telah terlihat oleh semua penduduk kota ini ketika digiring oleh para petugas keamanan ke kantor ini? Tentu saja orang-orang itu mengambil kesimpulan termudah, yaitu bahwa jiwi tentulah sepasang penjahat yang telah mengacau di kote ini. Bukankah itu berarti bahwa kedua penjahat itu makan dan menikmati buahnya, akan tetapi ji-wi yang terkena getahnya?”
Tahulah kini Bwee Hwa akan maksud kata-kata Kwee-taijin tadi dan ia menjadi marah sekali kepada kedua orang penjahat itu.
“Baiklah, taijin. Kalau demikian halnya, aku berjanji akan menangkap kedua orang penjahat itu dan menyeretnya ke hadapanmu agar semua penduduk mengetahui bahwa kami berdua bukanlah penjahat- penjahat keparat itu, melainkan pendekar-pendekar yang membela kebenaran dan keadilan!” kata gadis itu marah.
Wajah Jaksa Kwee kini tampak cerah berseri-seri. Senyum lega dan penuh harapan mengembang di wajahnya yang gemuk, berkali-kali dia berkata, “Bagus, bagus!” dan dengan ramahnya dia mengundang Bwee Hwa dan Siong Li untuk tinggal di gedungnya dan mengajak mereka makan bersama! Malam bulan purnama! Langit bersih, tak tampak ada mendung sehingga cahaya bulan bersinar tanpa halangan, menerangi permukaan bumi mendatangkan suasana yang indah gemilang menggembirakan. Namun, penduduk kota Tung-kwang yang dihantui rasa takut dan ngeri dengan adanya dua orang penjahat yang hampir setiap malam berkeliaran di kota itu, lebih merasa aman untuk mengeram diri di dalam kamar rumah mereka.
Semenjak sore tadi, Siong Li dan Bwee Hwa sudah bersiap-siap. Sehabis makan malam, mereka lalu keluar dari gedung Jaksa Kwee, melakukan perondaan keliling kota. Mereka berpakaian ringkas dan bersikap waspada. Setelah kota menjadi sepi karena semua penduduk memasuki rumah dan menutup daun pintu dan jendela, keduanya lalu melompat ke atas genteng dan melakukan penjagaan di atas rumah-rumah penduduk.
Malam terang bulan itu dingin sekali. Kesunyian kota menambah dingin. Setelah menanti sampai tengah malam, belum ada tanda-tanda sepasang pgnjahat itu menampakkan diri.
Siong Li dan Bwee Hwa merasa marah dan kecewa sekali. Mereka beristirahat dan duduk di atas wuwungan sebuah gedung tertinggi sehingga dari situ mereka dapat melihat ke empat penjuru. Bwee Hwa hampir kehabisan kesabarannya.
“Penjahat-penjahat gila!” ia bersungut-sungut. “Kenapa belum juga muncul? Tidak kusangka malam ini kita akan makan angin di sini.”
Melihat gadis itu cemberut dan marah, Siong Li tertawa kecil sehingga Bwee Hwa memandangnya dengan heran. “Mengapa engkau tertawa, Li-ko?”
“Aku merasa lucu melihatmu, Hwa-moi.”
“Hemm, apanya yang lucu sampai engkau menertawakan?” gadis itu menge-rutkan alisnya.
“Engkau kelihatan lucu karena sekarang engkau marah-marah sedangkan tadi engkau begitu bersemangat untuk menangkap penjahat. Kalau saja engkau tidak terbujuk kata-kata manis dari Jaksa Kwee yang cerdik itu, tentu sekarang kita sudah semakin dekat dengan tempat tujuan kita. Memang pembesar gendut itu lihai sekali memainkan kata-kata.”
Bwee Hwa tertegun dan setelah berpikir sejenak, baru ia menyadari bahwa tadi ia telah diakali pembesar gendut bermuka kekanak-kanakan itu. Ia mendongkol sekali.
“Kalau begitu, marilah kita turun dan temui Jaksa Kwee! Aku tidak sudi diper-kuda olehnya dan setelah bicara terus terang kepadanya, kita lanjutkan perjalanan malam ini juga. Perjalanan kita lebih penting daripada segala usaha menanti-nanti munculnya maling-maling kecil seperti sekarang ini. Aku benar tolol sehingga menderita kedinginan seperti ini!”
Bwee Hwa sudah bersiap hendak melompat turun ketika tiba-tiba Siong Li memegang lengannya dan berbisik, “Sstt, lihat di sana itu……!”