Suami isteri itu saling pandang. Mereka telah mewariskan ilmu-ilmu mereka kepada putera tunggal mereka yang bernama Kao Cin Liong dan kini tinggal di kota Pao-teng dekat kota raja, juga mereka mengajarkan beberapa macam ilmu kepada Can Bi Lan yang kini menjadi nyonya Sim Houw. Apakah kini mereka harus mengambil seorang murid lagi ketika usia mereka sudah amat tua? Akan tetapi, ada benarnya juga pendapat Tiong Khi Hwesio tadi tentang peristiwa kebetulan yang merupakan tanda kekuasaan dan kehendak Thian. Mereka mengangguk setuju dan Wan Ceng berkata sambil tersenyum.
"Tek Hoat, kalau begitu engkau juga harus tinggal di sini untuk mewariskan ilmumu kepadanya."
"Ha-ha-ha, tentu saja! Pinceng memang suka sekali menghabiskan sisa usia pinceng di sini, kalau kalian tidak berkeberatan."
"Kenapa keberatan? Kami suka sekali!"
Kata kakek Kao Kok Cu.
"Akan tetapi kita tidak boleh melupakan hal yang terpenting, yaitu apakah Tan Sin Hong suka tinggal di sini sebagai murid kita?"
Sin Hong sejak tadi mendengarkan saja percakapan itu. Dia sedang tenggelam dalam lamunan penuh duka.
Ayah ibunya tewas secara mendadak dan dia tidak memiliki apa-apalagi. Terutama sekali, dia terkesan sekali oleh percakapan tiga orang tua itu tentang kematian ayahnya. Ayahnya dibunuh orang! Agaknya direncanakan. Tang-piauwsu mencurigakan, walaupun belum ada bukti. Dan dialah yang kelak harus menyelidiki dan membuka rahasia itu, dia perlu memiliki kepandaian yang tinggi. Ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, tidak ada artinya. Ayahnya sendiri pun tewas melawan penjahat, apa lagi dia! Kini, mendengar percakapan tiga orang tua sakti itu yang ingin mengambilnya sebagai murid, dan mendengar kakek Kao Kok Cu menyinggung apakah dia suka menjadi murid mereka atau tidak, tanpa ditanya lagi dia lalu menjatuhkan diri bertiarap di atas lantai, menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali.
"Sam-wiLocianpwe, teecu (murid) Tan Sin Hong bersumpah untuk menjadi murid yang baik kalau Sam-wi sudi mengambil teecu sebagai murid."
Berulang-ulang dia berkata demikian. Dengan suaranya yang lantang dan tegas kakek Kao Kok Cu berkata,
"Tan Sin Hong, benarkah engkau bersedia untuk mematuhi semua perintah kami kalau engkau menjadi murid kami?"
"Teecu bersumpah untuk mentaati dan mematuhi semua petunjuk dan perintah Sam-wi Locianpwe!"
Kata Sin Hong dengan setulus hatinya.
"Dan engkau tidak akan mengeluh menghadapi latihan yang amat berat?"
Sambung Tiong Khi Hwesio.
"Biar sampai mati sekalipun dalam mentaati perintah, teecu tidak akan mengeluh."
Tiga orang tua itu diam-diam menjadi girang dan mulai hari itu, Tan Sin Hong tinggal di situ, bekerja keras sebagai pelayan, membersihkan istana dan bekerja di kebun, melayani semua kebutuhan tiga orang tua itu, akan tetapi sebagai imbalannya, dia pun mulai digembleng oleh mereka bertiga! Menjadi murid seorang saja di antara tiga orangsakti ini sudah merupakan suatu keberuntungan besar, apalagi sekaligus menjadi murid mereka bertiga!
Sin Hong tidak menyia-nyiakan kesempatan yang amat baik ini dan dia pun belajar dan berlatih dengan amat tekunnya, siang malam tak pernah berhenti kecuali kalau sedang bekerja. Bahkan dalam melaksanakan pekerjaannya sekalipun, dia melatih diri sehingga dia memperoleh kemajuan pesat, kalau malam, setelah lelah berlatih, dia mencurahkan pikirannya untuk mengingat semua pelajaran yang diterimanya dari tiga orang gurunya. Tiga orang tua renta itu maklum bahwa bagi seorang murid seperti Sin Hong, tak mungkin dapat mempelajari semua ilmu mereka bertiga, akan memakan waktu terlalu lama. Mereka sudah tua sekali selain sudah merasa malas untuk banyak bergerak melatih ilmu silat, juga maklum bahwa akan sayang kalau sampai mereka mati sebelum ilmu mereka dapat diterima dengan baik oleh murid terakhir itu.
Oleh karena itulah, mereka masing-masing sengaja memilihkan ilmu-ilmu simpanan mereka saja untuk diajarkan kepada Sin Hong, setelah menggembleng pemuda itu untuk menguasai langkah-langkah dan gerakan-gerakan dasar dari ilmu mereka bertiga. Kao Kok Cu menurunkan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dan biarpun muridnya tidak berlengan buntung, dia mengajarkan juga cara menghimpun tenaga sakti melalui Ilmu Sin-liong Hok-te. Nenek Wan Ceng juga mengajarkan Ilmu Ban-tok-ciang dan melatih pemuda itu untuk menghimpun tenaga beracun agar dapat melakukan Ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dengan baik. Sementara itu Tiong Khi Hwesio menurunkan gabungan Ilmu Pat-moSin-kun dan Pat-sian Sin-kun, juga melatih menghimpun tenaga sakti lewat ilmu sinkang Tenaga Inti Bumi!
Tentu saja untuk dapat menguasai ilmu-ilmu yang sakti itu, Sin Hong harus berlatih mati-matian, menggembleng diri sehingga dia tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang kurus saking bekerja keras setiap hari dan malam untuk menguasai ilmu-ilmu itu! Dan sejak tinggal di situ, dia hanya mau memakai pakaian serba putih untuk mengabungi ayah ibunya yang tewas secara menyedihkan. Tiga tahun kemudian ketika dia berada di situ mempelajari ilmu, pada suatu hari datang berkunjung seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia lima puluh tiga tahun. Dia ini bukan lain adalah Kao Cin Liong, putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng, yang datang berkunjung dan membujuk ayah ibunya yang telah tua itu untuk tinggal bersama dia di Pao-teng.
"Ayah dan ibu telah berusia lanjut,dan saya sekeluarga tinggal jauh di Pao-teng, sungguh tidak enak bagi saya kalau mengingat keadaan ayah dan ibu. Sebaiknya kalau ayah berdua tinggal bersama kami di Pao-teng agar kami dapat mengurus semua keperluan ayah berdua,"
Demikian antara lain Kao Cin Liong membujuk orang tuanya. Akan tetapi ayah ibunya tetap tidak mau menuruti permintaan puteranya.
"Ketahuilah bahwa aku lebih suka tinggal di tempat yang sunyi ini bersama ayahmu, Cin Liong. Kami dapat mengurus diri sendiri dan andaikata kelak kami meninggal dunia, kami dapat saling mengurus atau merawat dan ada satu diantara kami yang mengabarimu di Pao-teng,"
Demikian nenek Wan Ceng berkata. Puteranya tidak merasa heran mendengar ibunya sedemikian enaknya bicara tentang kematian. Dia sudah mengenal watak ibu dan ayahnya yang menganggap kematian sebagai hal yang biasa saja.
"Pula, kami sekarang mempunyai seorang murid yang juga melayani semua keperluan kami. Inilah dia, namanya Tan Sin Hong."
Kata Kao Kok Cu.
"Juga di sini tinggal pula Tiong Khi Hwesio yang menambah kegembiraan kami. Tidak perlu engkau memusingkan kami tiga orang-orang tua dan biarkan kami dalam kegembiraan kami sendiri."
Dia lalu menceritakan tentang Sin Hong yang segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong yang disebutnya "suheng" (kakak seperguruan). Diam-diam Cin Liong merasa heran dan kagum akan baiknya nasib anak itu yang secara tak terduga telah menjadi murid ayah ibunya dan juga Tiong Khi Hwesio! Kao Cin Liong tinggal selama satu minggu di istana Gurun Pasir dan setelah dia meninggalkan tempat itu, pulang ke Pao-teng, kehidupan di situ menjadi seperti biasa lagi. Sin Hong tekun berlatih silat, dan tiga orang tua renta itu kadang-kadang masih suka berkeliaran di padang pasir, bahkan beberapa kali masih suka bermain-main dengan badai!
Sang waktu berjalan dengan amat cepatnya. Kalau kita masing-masing menengok ke belakang, kepada kehidupan kita di masa lalu di masa kanak-kanak, di masa muda dan selanjutnya, akan nampak betapa cepatnya waktu berjalan. Bagi seorang dewasa, masa kanak-kanak yang lewat belasan tahun yang lalu, hanya seolah-olah baru kemarin saja. Semua peristiwa di masa kanak-kanak nampak seperti baru terjadi kemarin dan kenangan pada masa lalu ini akan membuat setiap orang menyadari bahwa tahu-tahu dia telah menjadi tua! Demikian pendeknya kehidupan ini, mengapa waktu yang pendek itu tidak kita isi dengan langkah-langkah yang berguna, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain? Apa yang telah kita lakukan bagi manusia, bagi dunia, bagi Tuhan?