"Nama saya Tan Sin Hong, tinggal bersama orang tua saya di kota Bangoan di selatan Tembok Besar. Ayah saya dikenal sebagai Tan-piauwsu (pengawal Tan) karena ayah saya membuka perusahaan piauw-kiok (perusahaan pengawalan barang kiriman) yang mengawal barang-barang dagangan yang dikirim dari dan keluar Tembok Besar."
Anak itu, yang bernama Tan Sin Hong, dengan lancar lalu menceritakan semua peristiwa yang baru-baru ini menimpa keluarganya.
Pada suatu hari, Tan-piauwsu, ayah Sin Hong, menerima tugas mengawal barang-barang berharga untuk diantar ke kota Tuo-lun, sebuah kota yang terletak di daerah Mongol. Barang itu berupa sebuah peti besar terisi emas permata yang amat berharga, karena itu, Tan-piauwsu tidak berani menyerahkan pengawalannya kepada anak buahnya saja. Dia berangkat sendiri mengawal barang itu dan menyerahkan urusan perusahaan kepada Tang-piauwsu, yaitu wakilnya. Sebulan kemudian, datang seorang utusan yang membawa pesan dari Tan-piauwsu agar isterinya dan puteranya menyusul ke kota Tuo-lun untuk diajak nonton keramaian tradisionil yang diadakan oleh suku bangsa campuran Mancu dan Mongol yang tinggal di sana.
Biarpun perjalanan itu jauh dan memakan waktu lama, namun Nyonya Tan dan puteranya dengan girang memenuhi pesan itu. Tang-piauwsu merasa khawatir dan dia sendiri yang rnelakukan pengawalan, memimpin dua belas orang anggauta piauw-kiok. Berangkatlah rombongan ini keluar dari Tembok Besar menuju ke utara. Ketika mereka tiba di dekat kota Tuo-lun, di kaki bukit yang sunyi, tiba-tiba muncul gerombolan perampok bertopeng. yang jumlahnya dua puluh orang lebih. Gerombolan perampok ini menyerang dan tentu saja Tang-piauwsu memimpin anak buahnya melakukan perlawanan. Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi gerombolan perampok itu lihai dan dua kali lebih besar jumlahnya, maka pihak pengawal terdesak dan mulai ada yang roboh. Melihat keadaan berbahaya ini, Tang-piauwsu lalu melarikan kereta yang membawa Nyonya Tan dan Sin Hong, melarikan diri dari tempat itu.
Akan tetapi, setelah merobohkan semua pengawal, gerombolan perampok bertopeng itu melakukan pengejaran. Tang-piauwsu melarikan kereta tanpa tujuan dan akhirnya mereka tiba di padang pasir. Melihat ada orang penduduk daerah itu yang membawa garam menunggang seekor onta, Tang-piauwsu lalu membeli onta itu dan menyuruh Nyonya Tan dan Sin Hong untuk melanjutkan larinya dengan menunggang onta, sedangkan dia sendiri menanti di situ dengan pedang di tangan untuk menahan gerombolan perampok yang tadi mengancam hendak menawan Nyonya Tan yang masih kelihatan muda dan cantik. Karena ketakutan, Nyonya Tan dan Sin Hong lalu menunggang onta, membawa bekal seadanya saja dan onta itupun memasuki gurun pasir! Mereka tidak lagi melihat apa yang telah terjadi selanjutnya dengan Tang-piauwsu.
"Karena takut ditawan gerombolan perampok yang kasar itu, yang agaknya, menurut perkiraan Tang-piauwsu, hendak menangkap ibu dan saya untuk membalas dendam kepada ayah, ibu lalu melarikan onta itu tanpa tujuan, terus memasuki gurun pasir yang luas. Akhirnya kami tidak tahu jalan lagi, di mana-mana pasir belaka dan kami membiarkan saja onta itu mengambil jalan sendiri. Entah berapa hari kami melakukan perjalanan seperti itu, kehabisan bekal, bahkan kantung air yang banyak itu pun telah hampir habis. Kami menderita sekali dan akhirnya kami diserang badai. Kami berlindung di balik batu karang, akan tetapi batu karang itu runtuh dan menimpa kami, dan selanjutnya... Sam-wi, telah mengetahui."
Setelah Sin Hong mengakhiri ceritanya, Tiong Khi Hwesio berseru.
"Omitohud....permusuhan yang tiada hentinya antara yang untung dan yang rugi! Para perampok merasa dirugikan oleh para piauwsu, banyak bentrokan terjadi antara mereka yang hendak merampok dan mereka yang hendak melindungi barang kiriman!"
"Ada yang mencurigakan dalam urusan ini,"
Kata Kao Kok Cu,
"Bagaimana seorang piauwsu yang berpengalaman begitu sembrono untuk memanggil isteri dan puteranya menyuruh ke tempat yang demikian jauh, melalui perjalanan yang berbahaya."
"Memang mencurigakan sekali. DanTang-piauwsu itu membiarkan ibu dan anak itu melintasi gurun pasir dengan binatang onta tanpa pengawalan, sung-guh gegabah sekali,"
Kata pula Wan Ceng.
"Biarlah pinceng (saya) yang akan pergi ke Tuo-lun untuk mencari Tan-piauwsu dan memberi kabar kepadanya tentang isteri dan puteranya. Sin Hong, engkau tinggal dulu saja di sini sampai pinceng dapat menemukan ayahmu dan dapat mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi."
Tan Sin Hong mengangguk,
"Baik, Locianpwe, saya akan menanti berita dari hasil penyelidikan Locianpwe."
Dia merasa suka sekali di tempat yang indah itu, dan dia berhutang budi.
Ingin dia membalas budi itu, walaupun hanya dengan membersihkan tempat itu, istana tua itu yang nampaknya tidak begitu terawat dengan baik. Apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa di istana tua itu tidak terdapat seorangpun pelayan. Sambil menanti kembalinya Tiong Khi Hwesio, Sin Hong mendengar lebih banyak dari nenek Wan Ceng tentang ista na tua itu dan kini dia tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir itu adalah kakek dan nenek she Kao ini, sedangkanTiong Khi Hwesio yang kini pergi mencari ayahnya adalah seorang sahabat baik dan tamu kehormatan dari mereka. Tiga hari kemudian, muncullah Tiong Khi Hwesio. Setelah minum air sejuk jernih yang dihidangkan oleh Sin Hong, kakek ini menarik napas panjang.
"Omitohud.... Tan Sin Hong, pinceng sekali ini terpaksa membawa berita yang tidak menyenangkan untukmu."
Dan diapun mengelus kepala anak itu yang sudah berlutut di depannya. Anak itu memang berhati tabah. Biarpun mukanya agak pucat dan matanya membayangkan kekhawatiran, namun suaranya masih tenang ketika dia berkata kepada hwesio tua itu.
"Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan ayah saya?"
Nenek Wan Ceng juga tidak sabar.
"Tek Hoat, apa yang telah terjadi disana?"
Kakek yang masih kelihatan lelah karena habis melakukan perjalanan jauh itu, mengusap peluh dari leher dan mukanya mempergunakan sehelai sapu tangan lebar, kemudian menghela napas dan memandang kepada Sin Hong dengan sinar mata kasihan.
"Pinceng tiba di kota Tuo-lun dan melakukan penyelidikan. Akan tetapi ternyata bahwa Tan-piauwsu tidak pernah sampai di kota itu...."
"Ayah....!"
Sin Hong berseru dengan suara tertahan, matanya menatap wajah Tiong Khi Hwesio, penuh pertanyaan dan kekhawatiran.
"Di kota itu pinceng bertemu dengan beberapa orang sahabat baik Tan Piauwsu karena memang sudah beberapa kali Tan piauwsu mengawal barang ke kota itu. Bersama mereka pinceng lalu menyelidiki sepanjang jalan menuju ke kota itu dari selatan yang biasa diambil oleh rombongan piauw-kok dan di sebuah hutan pinceng menemukan mereka,"
Suara kakek ini menurun dan Sin Hong kembali menatap dengan muka pucat.
"Locianpwe menemukan ayah...."
Tanya-nya, kini suaranya agak gemetar, jelas bahwa dia telah menduga buruk. Dan kakek itu mengangguk.
"Pinceng menemukan Tan-piauwsu dan sepuluh orang anak buahnya, semua telah tewas terbunuh."
"Ayah....! Ibu....!"
Teriakan Sin Hong ini lirih saja, seperti keluhan dan dalam keadaan berlutut dia menutupi muka dengan kedua tangannya. Tiga orang tua itu hanya memandang dan membiarkan saja. Sampai beberapa lamanya Sin Hong menutupi mukanya, tidak mengeluarkan suara tangis, akan tetapi air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya. Kemudian dia mengusap air matanya dengan kedua tangan, lalu dengan suara agak parau dia bertanya kepada Tiong Khi Hwesio.
"Locianpwe, siapa yang membunuh ayah?"
Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala.
"Tidak ada yang tahu dan tidak ada tanda-tandanya. Mereka semua tewas dan agaknya dirampok karena tidak ada barang berharga lagi di sana, kecuali pakaian yang menempel di tubuh mereka."
"Ah, siapa lagi kalau bukan perampok bertopeng itu? Dan yang mengirim utusan mengundang nyonya Tan dan Sin Hong tentu juga anggauta perampok bertopeng itu yang sengaja memandang dan menjebak"
Kata kakek Kao Kok Cu.
"Agaknya mereka adalah gerombolan perampok yang mendendam kepada Tan-piauwsu sehingga selain merampok, juga ingin membasmi keluarganya."
"Aku lebih condong mencurigai Tang-piauwsu itu!"
Tiba-tiba Wan Ceng berkata.
"Mengawal barang yang amat berharga tentu amat dirahasiakan dan kukira yang mengetahui hanyalah Tan-piauwsu dan pembantunya itu. Tidak akan mengherankan kalau kelak diketahui bahwa yang mengatur semua perampokan dan pembunuhan itu adalah Tang-piauwsu, oleh karena itu dia pula yang menyuruh nyonya Tan dan Sin Hong melarikan diri ke gurun pasir, yang berarti sama dengan mengirim mereka ke lembah maut."
"Omitohud kita tidak boleh sembarangan sangka. Urusan ini adalah urusan Sin Hong dan biarlah dia saja yang kelak melakukan penyelidikan. Engkau tenangkan hatimu Sin Hong. Teman-teman ayahmu telah mengutus penguburan jenazah ayahmu dan anak buahnya, dan kalau suami isteri tua penghuni Istana Gurun Pasir ini tidak berkeberatan, pinceng mengusulkan agar Sin Hong tinggal disini mempelajari ilmu dari kita bertiga."
Suami isteri itu agak terkejut dan memandang wajah hwesio itu penuh perhatian.
"Apa alasanmu berkata demikian, Tek Hoat?"
Kata nenek Wan Ceng.
"Banyak peristiwa terjadi di dunia yang aneh-aneh dan biasanya kita anggap sebagai hal yang kebetulan saja. Akan tetapi, bukankah dibalik peristiwa itu ada yang mengaturnya? Bukankah sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa maka terjadi hal-hal yang kelihatan kebetulan itu? Contohnya Tan Sin Hong ini. Keluarganya tertimpa mala-petaka, ibunya tewas, ayahnya tewas dan dia pun nyaris tewas. Coba lihat segala macam kebetulan yang telah terjadi! Pertama-tama, kebetulan sekali pinceng mengunjungi kalian dan kemudian kebetulan sekali kita bertiga bermain-main dengan badai gurun pasir! Kalau tidak kebetulan pinceng berkunjung tentu kita tidak bermain-main dengan badai dan kalau tidak kebetulan kita bermain-main dengan badai tentu kita tidak akan melihat Sin Hong! Dan kalau begitu, apa jadinya? Tentu dia telah tewas pula! Bukankah semua kebetulan itu seperti telah diatur oleh Thian (Tuhan)? Nah, kita jangan menolak kehendak Thian dan harus menerimanya sebagai perintahNya. Mari kita terima anak ini sebagai murid kita yang terakhir, untuk menampung peninggalan terakhir dari kita. Bagaimana pendapat kalian?"