Halo!

Kisah si Bangau Putih Chapter 04

Memuat...

"Jangan kalian mengganggu ibuku! Akan kulawan sampai mati! Biarpun kalian Dewa Kematian, Dewa Badai dan Dewa Padang Pasir, aku tidak takut!"

Dia menantang dan sikapnya sungguh berani, sikap seorang yang sudah nekat karena tidak melihat jalan lain.

Tiga orang tua renta itu sejenak terpesona, juga terharu. Mereka adalah orang-orang sakti yang sudah banyak makan garam, banyak pengalaman dan tahu saja artinya duka karena merekapun sudah kenyang mengalami duka dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, mereka dapat menduga bahwa anak ini menjadi demikian nekat dan berani karena terhimpit duka yang bertubi-tubi dan yang terakhir kalinya agaknya karena melihat ibunya yang tercinta tewas. Atau mungkin saking bingung, khawatir dan dukanya, dia sampai tidak sadar bahwa ibunya telah kehilangan nyawanya dan yang hendak dilindungi dan dipertahankan itu adalah sesosok mayat yang telah mulai menjadi dingin! Dengan hati terharu penuh iba Kao Kok Cu melangkah maju.

"Anak yang baik, kami bukanlah dewa atau iblis, kami adalah orang-orang biasa yang datang ingin menolongmu. Tidak ada yang akan mengganggu ibumu lagi, Nak, karena ibumu telah meninggal dunia. Lihatlah baik-baik dan jangan keliru menyangka orang."

Suara itu begitu halus, tenang dan sabar dan suara itu saja sudah cukup membuat anak itu percaya dan kini anak itu memandang wajah mayat yang dipeluknya. Wajah seorang wanita yang kurus pucat, dengan mata setengah terbuka, dengan pandang kosong tanpa cahaya sama sekali, seperti mata sebuah patung yang pernah dilihatnya. Dia mengangkat mayat itu mendekat dan dia merendahkan mukanya sampai mukanya dekat sekali dengan muka mayat itu. Tidak bernapas lagi hidung dan mulut ibunya.

"Ibuuuuu....!"

Dan untuk kedua kalinya dia pun terjungkal bersama mayat ibunya, dan roboh pingsan di dekat mayat itu.

"Omitohud....!"Tiong Khi Hwesio mengeluh ketika dia melihat peristiwa ini.

Kao Kok Cu menarik napas dan menggeleng-geleng kepalanya sedangkan Wan Ceng lalu mendekati anak itu, berlutut dan mengurut tengkuk dan dadanya. Anak itu pun mengeluh, lalu membuka matanya. Dia segera mencari dengan pandang matanya dan ketika dia melihat tubuh ibunya menggeletak tak jauh dari situ, dia pun bangkit dan menubruk mayat ibunya sambil menangis. Akan tetapi, anak itu agaknya memang memiliki kekerasan dan ketabahan hati. Tidak lama dia menangis dan agaknya dia sudah teringat lagi akan tiga orang tua itu, maka dia lalu bangkit berdiri memandangnya, dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap mereka, agaknya sama sekali tidak peduli akan luka-luka yang diderita tubuhnya, babak belur dan lecet-lecet, juga kaki kanannya kehilangan sepatunya dan pergelangan kaki itu menggembung besar, tanda bahwa kaki itu salah urat.

"Harap Sam-wi Locianpwe (Tiga OrangTua Perkasa) memberi ampun kepada saya yang tadi bersikap kurang ajar. Dalam keadaan seperti ini, saya menjadi bingung dan mengira Sam-wi (Kalian Bertiga) bukan manusia"

Tiga orang itu saling pandang dan sependapat bahwa anak ini ternyata memiliki pendidikan yang baik dan mengenal aturan. Juga, mata mereka yang tajam dapat mengenal bahwa anak ini memiliki nyali yang besar, sikap gagah dan juga bakat yang baik sekali untuk menjadi seorang pendekar.

"Anak baik, sekarang belum waktunya banyak bicara. Apakah engkau hanya berdua dengan ibumu ini?"

Tanya Kao Kok Cu. Anak itu mengangguk.

"Kalau begitu, yang terpenting sekarang, mari ikut bersama kami dan kami juga akan membawa jenazah ibumu agar mendapatkan penguburan yang sepatutnya di tempat kami."

"Baik, Locianpwe dan terima kasih atas perhatian Sam-wi."

Kata anak itu yang segera bangkit dan tanpa diperintah lagi dia menghampiri mayat ibunya, bermaksud untuk memondongnya. Hal ini saja membuat tiga orang tua itu menjadi kagum. Anak ini tidak cengeng, tahu diri, cerdik dan tabah sekali.

"Biarkan pinceng yang membawa jenazah ibumu, anak baik,"

Kata Tiong Khi Hwesio dan sekali kedua lengannya bergerak, mayat wanita itu telah dipondongnya. Anak itu terbelalak dan merasa seperti melihat sulapan atau sihir saja. Dia hampir tidak melihat hwesio tua itu menyentuh mayat ibunya atau mengulurkan tangan, seolah-olah mayat itu yang terbang ke dalam pondongan hwesio tua itu!

"Dan engkaupun tidak sehat benar, marilah engkau kugendong!"

Kata pula Kao Kok Cu dan anak itu menjadi semakin terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya melayang naik dan tahu-tahu dia telah berada di atas punggung kakek yang lengan kirinya buntung! Hampir dia menjerit ketakutan dan hampir kehilangan lagi kepercayaannya bahwa tiga orang itu adalah manusia. Jangan-jangan mereka ini benar-benar iblis-iblis yang hendak membawa pergi dia dan mayat ibunya! Akan tetapi, nenek itu berkata,

"Mari kita pergi!"

Dan kini anak itu mengalami peristiwa yang membuat dia takkan dapat melupakannya selama hidupnya.

Dia merasa dibawa terbang oleh kakek lengan satu dan ketika dia melirik ke kanan, dia melihat hwesio itu pun seperti terbang membawa mayat ibunya, sedangkan nenek itu terbang paling depan. Badai masih mengamuk hebat, namun tiga orang ini dapat berlari secepat terbang menempuh badai yang menyerang dari samping. Cepat sekali gerakan mereka dan berkali-kali dia harus memejamkan matanya saking ngeri. Dan ketika mereka keluar dari daerah badai, anak itu merasa betapa mereka berlari lebih cepat lagi. Kadang-kadang mereka itu melompati jurang-jurang seperti terbang, membuat dia merasa ngeri bukan main, dan akhirnya diapun hanya memejamkan mata agar tidak melihat betapa tubuhnya meluncur pesat di atas pundak kakek yang terbang di atas pasir. Setelah mereka berhenti, barulah anakitu membuka matanya dan dia pun menahan keinginannya untuk berteriak saking heran-nya.

Dia diturunkan, lalu digandeng masuk ke dalam sebuah istana besar yang indah dan juga menyeramkan karena istana itu berdiri megah ditengah-tengah gurun pasir, tidak mempunyai tetangga seorang pun! Jenazah ibunya juga dibawa masuk dan nenek itu lalu merawat jenazah ibunya, diberi pakaian yang utuh, kemudian diadakan upacara sembahyang sekadarnya sehingga dia sebagai putera ibunya dapat memberi hormat dan berkabung atas kematian ibunya. Dia pun menurut saja ketika tiga orang tua itu mengusulkan agar ibunya segera dikubur pada hari itu juga. Mereka lalu menggali lubang di kebun belakang dan mengubur jenazah itu tanpa peti. Setelah penguburan selesai dan mereka semua kembali ke dalam istana, barulah anak itu yakin bahwa semua yang dialaminya bukanlah mimpi. Kemarin sore dia dibawa oleh tiga orang tua ini, bersama jenazah ibunya, dengan cara luar biasa,

Lari bagaikan terbang, sehingga malam-malam mereka tiba di istana ini. Hanya semalam ibunya yang telah menjadi jenazah itu dirawat dan pada keesokan harinya, penguburan ibunya telah dilakukan dengan baik dan selesai. Kini dia telah menjadi seorang anak yang kehilangan ibu, tidak tahu berada di tempat apa, merasa berada di tempat yang aneh, bukan bagian dari dunia, bersama tiga orang manusia yang juga luar biasa. Apakah dia masih hidup, ataukah sudah berada di akhirat? Akan tetapi kalau dia sudah mati, tentu dia bertemu dengan ibunya. Tidak, dia masih hidup! Ibunyalah yang telah mati, dan dia berada di tempat tiga orang sakti. Sebagai putera seorang ahli silat, tentu saja dia pernah mendengar tentang orang-orang tua yang sakti, akan tetapi biasanya mereka itu adalah pertapa-pertapa atau pendeta-pendeta di kuil.

Dan kini, tiga orang tua itu, biarpun yang seorang adalah hwesio, bukan tinggal di dalam gua, melainkan di dalam sebuah istana! Demikianlah anak itu membolak-balik pikirannya sendiri ketika dia berlutut di atas antai, di depan tiga orang yang duduk dibangku rendah sambil bersila itu. Kemudian dia teringat betapa tiga orang tua ini sudah melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya. Pertama, kalau tidak ada mereka yang datang ketika dia diserang badai di gurun pasir itu, tentu dia sudah tewas pula bersama ibunya dan onta mereka. Kedua, mereka pula yang membawa dia dan jenazah ibunya ke istana aneh ini dan ketiga, mereka telah mengurus penguburan ibunya sampai selesai. Teringat akan semua ini, dia lalu memberi hormat kepada mereka sampai dahinya berkali-kali menyentuh lantai.

"Sam-wi Locianpwe telah menyelamatkan saya dan telah mengurus pemakaman ibu, sungguh budi kemuliaan ini sampai mati pun saya tidak akan melupakannya,"

Demikian dia berkata berulang kali dan baru berhenti setelah kakek yang lengan kirinya buntung itu berkata dengan suara halus.

"Anak baik, duduklah yang benar, dan ceritakan dengan jelas bagaimana asal mulanya maka engkau bersama mendiang ibumu dapat berada di tempat berbahaya itu dan terserang badai."

"Nanti dulu!"

Tiba-tiba Wan Ceng berkata.

"Siapa tahu dia menderita luka berat. Mari, majulah ke dekatku ke sini Nak, akan kuperiksa keadaanmu."

Mendengar ini, anak itu tidak berani membantah dan dia pun merangkak dan mendekati nenek itu. Wan Ceng cepat memeriksa dan ternyata anak itu hanya menderita lecet-lecet dan babak belur, luka di kulit saja, sedangkan pergelangan kakinya yang membengkak itu adalah karena salah urat. Dengan cepat Wan Ceng mengurut kaki itu dan membetulkan kembali urat yang tertarik dan salah duduk, dan mengobati lecet-lecet dengan obat luka.

"Nah, engkau tidak apa-apa sekarang, ceritakanlah keadaanmu,"

Kata Wan Ceng. Anak itu lalu berlutut kembali seperti tadi dan menceritakan riwayatnya.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment