"Haiii.... sumoi....! Kau tidak boleh pergi!"
Kata murid pertama yang mewakili gurunya. Akan tetapi Ceng Ceng telah tiba di pintu kebun samping, dan mendengar seruan twa-suhengnya (kakak sepergu-ruan pertama),
Dia membalikkan tubuh dengan gaya mengejek, membusungkan dada, membuka bibir dari kanan kiri dengan kedua telunjuknya dan menjulurkan lidahnya untuk mengejek suhengnya itu, kemudian tertawa terkekeh dan lari dari tempat itu. Twa-suhengnya hanya menarik napas panjang saja karena apa dayanya terhadap sumoinya yang manja dan bengal itu? Kalau dia berkeras melarang, salah-salah dia bisa dilawan oleh sumoinya, dan tentu saja dia tidak menghendaki hal ini. Dia dan para saudara seperguruannya terlampau sayang kepada sumoi yang cantik jelita, bengal akan tetapi selalu mendatangkan kegembiraan karena wataknya yang periang dan jenaka itu. Dan dia tahu pula betapa besar keinginan hati sumoinya untuk menonton rombongan utusan kaisar.
Hati Ceng Ceng merasa gembira bukan main. Dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri dia menonton rombongan yang megah itu lewat di dusun untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja yang tidak begitu jauh lagi letaknya dari dusun itu. Bersama para penonton lain yang terdiri dari anak anak dan orang tua laki-laki dan wanita, Ceng Ceng terus terbawa oleh rombongan itu. Tanpa terasa kedua kakinya mengikuti rombongan yang berpakaian indah-indah, membawa bendera dan tombak tanda kebesaran yang mengutus mereka, barang-barang berharga dipikul dan berada di dalam peti-peti yang berukir indah. Dengan hati kagum Ceng Ceng terus mengikuti rombongan itu, bersama banyak anak-anak lain dan para penonton, menuju ke kota raja. Akan tetapi setibanya rombongan itu di pintu gerbang istana di kota raja Bhutan, para penonton itu tentu saja tidak diperkenankan masuk!
Penonton menjadi semakin banyak, tertambah oleh penduduk di sekitar istana di kota raja itu sendiri dan dari dusun-dusun lain yang sengaja datang ke kota raja untuk menonton keramaian ini. Para penjaga dengan ketat menjaga pintu gerbang dan tidak memperkenan-kan rakyat untuk memasuki pintu gerbang. Karena hal ini mendatangkan rasa kecewa dan protes para penonton, terutama anak-anak berusia belasan tahun, maka terjadilah sedikit kekacauan, dorong-mendorong sehingga di pintu gerbang yang tidak berapa lebar itu terjadi desak-mendesak. Keadaan menjadi makin kacau lagi ketika beberapa orang penjaga terpelanting roboh dan hal ini dilakukan oleh Ceng Ceng ketika dara ini yang berusaha untuk memasuki pintu gerbang dengan nekat, dipegang pundaknya oleh seorang penjaga.
Ketika penjaga melihat dara yang cantik manis dan masih remaja ini, dengan kurang ajar penjaga itu mengusap dagu Ceng Ceng dan lain tangannya berusaha untuk meraba dada. Ceng Ceng menjadi marah, kaki kirinya menendang tulang kering kaki penjaga itu dan selagi penjaga itu berjingkrak saking merasa nyeri sekali seolah-olah tulang keringnya remuk dan rasa nyeri naik sampai ke ulu hati, Ceng Ceng menendang lututnya membuat penjaga itu terjungkal! Tiga orang penjaga lain datang, seorang di antara mereka menunggang kuda, akan tetapi begitu Ceng Ceng bergerak, mereka terpelanting roboh juga, termasuk yang menunggang kuda. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan kacau. Anak-anak yang nakal mempergunakan kesempatan ini untuk menyelinap masuk, dan ada penjaga yang berusaha mencegah mereka, ada pula yang mengurung Ceng Ceng, dan keadaan makin kacau balau.
Dua orang perwira dari rombongan utusan kaisar maju. Dengan tangan yang membentuk cakar garuda mereka hendak menangkap dara yang membuat kekacauan itu karena mereka merasa curiga bahwa dara itu tentulah mata-mata musuh yang sengaja hendak menggagalkan tugas mereka. Akan tetapi dengan teriakan nyaring dan marah karena mengira bahwa dua orang perwira inipun hendak berbuat kurang ajar kepadanya, Ceng Ceng sudah menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan dua orang perwira itupun terpelanting mencium tanah! Keadaan menjadi semakin ribut dan kini para penjaga maklum bahwa dara remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah!
"Harap Cu-wi mundur semua, biarlah saya menghadapi pengacau cilik ini!"
Suara itu terdengar nyaring dan dalam rombongan kaisar muncullah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun kurang lebih,
Berpakaian preman namun melihat wibawanya dalam rombongan itu dia tentulah seorang yang penting. Memang demikian sesungguhnya. Pria ini adalah seorang pengawal pribadi kaisar sendiri, seorang yang ditunjuk untuk melindungi rombongan utusan yang penting itu. Orang ini bertubuh tegap, tidak se-berapa tinggi, akan tetapi yang amat menarik perhatian adalah bentuk jenggotnya yang menyolok. Jenggot itu panjang sekali, dipelihara baik-baik dan berjuntai sampai ke perutnya! Jenggot itu merupakan sebuah cambuk tebal dari bulu halus, berwarna mengkilap hitam terhias beberapa warna putih dari uban yang mulai banyak menghias rambut dan jenggotnya. Pengawal berjenggot panjang ini melangkah maju, mukanya yang bengis dan keras itu agak berseri ketika dia berkata,
"Nona cilik, berani kau membikin kacau di sini? Hayo lekas berlutut dan menyerah kepada para penjaga untuk ditangkap!"
"Plak-plak-plak-plak!"
Sampai empat kali kedua tangan pengawal kaisar itu dapat ditangkis oleh Ceng Ceng dan pengawal itu merasa kaget dan terheran-heran sekali. Sungguh tidak pernah diduganya bahwa di pintu gerbang Istana Raja Bhutan, dia bertemu dengan seorang dara remaja yang masih berbau kanak-kakak yang dapat menangkis terkamannya sampai empat kali!
"Bagus, kau boleh juga!"
Dan tiba-tiba pengawal ini menggerakkan kepalanya dan.... bagaikan seekor ular hitam, atau sebatang cambuk, jenggot pengawal itu telah meluncur dan menotok ke arah jalan darah di leher Ceng Ceng! Dara ini terkejut dan berteriak kaget, akan tetapi tidak percuma dia menjadi cucu buyut bekas pengawal kaisar, tidak percuma kakek Lu Kiong menggemblengnya selama bertahun-tahun sejak dia kecil. Reaksinya terhadap serangan jenggot yang lebih menjijikkan dan mengerikan hatinya daripada menakutkan itu, membuat diapun menggerakkan kepalanya dan.... dua helai kucirnya yang tadinya tergantung ke belakang punggung itu kini melayang ke depan dan menyambut jenggot lawannya!
"Plakkkk!"
Ujung jenggot bertemu dengan dua ujung kucir, saling membelit dan kakek pengawal itu tertawa, sebaliknya Ceng Ceng terkejut sekali. Rambutnya terasa seperti dijambak-jambak, membuat seluruh kepalanya terasa pedih dan seolah-olah rambutnya akan copot semua! Dalam keadaan yang berbahaya itu, untung sekali bagi Ceng Ceng, tiba-tiba muncul serombongan prajurit mengiringkan seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap keluar dari halaman istana dan sudah tiba di pintu gerbang istana itu. Melihat komandan pasukan dari dalam istana yang agaknya merupakan penyambut itu menyebut "sumoi"
Kepada dara remaja yang menjadi lawannya, pengawal kaisar terkejut, cepat melepaskan libatan jenggotnya dan melangkah mundur sambil berkata,
"Maaf....!"
Perwira tinggi tegap itu adalah seorang murid kakek Lu Kiong juga. Sebelum menjadi muridnya, memang dia sudah menjadi seorang perwira di dalam istana. Dia berguru kepada Lu Kiong hanya untuk menambah ilmu kepandaian silatnya saja. Akan tetapi tentu saja diapun menyebut sumoi kepada Ceng Ceng, sedang dara itupun menyebut suheng kepadanya. Ketika melihat bahwa keributan yang terjadi di luar pintu gerbang itu adalah gara-gara sumoinya, maklumlah dia karena diapun sudah mengenal watak sumoinya yang kadang-kadang ugal-ugalan dan bengal. Maka dengan suara mencela dia berkata,
"Sumoi, apa yang kau lakukan di sini? Mengapa membikin ribut?"
Ceng Ceng cepat memutar otaknya dan dengan cemberut, alisnya berkerut, sikap yang membuat wajahnya kekanak-kanakan akan tetapi bertambah manis, dia berkata,
"Aihh, suheng, siapa yang tidak jengkel? Aku ingin bertemu dengan suheng untuk melihat dan mengagumi rombongan utusan kaisar, siapa tahu di tempat ini sumoimu mendapatkan perlakuan yang kasar dan kurang ajar."
Perwira itu maklum akan kecantikan sumoinya dan dia bukan tidak percaya bahwa ada penjaga yang bersikap kurang ajar, maklumlah pria-pria kasar menghadapi seorang dara jelita selincah Ceng Ceng, maka untuk cepat meredakan suasana, dia lalu menghadapi pengawal kaisar berjenggot panjang itu, menjura dan berkata,
"Harap maafkan kesalahpahaman ini. Dia ini adalah adik seperguruan saya sendiri."
Pengawal berjenggot panjang itu tertawa, membalas penghormatan itu dan berkata,
"Sungguh hebat sekali kepandaian sumoi dari ciangkun (perwira) yang masih begini muda. Saya mengucapkan selamat dan merasa kagum."