Kakek kecil itu mengejek dan kini dia berdiri dekat sekali dengan tepi sungai, membelakangi sungai. Melihat ini, Jenderal Kao Liang yang menjadi marah sekali melihat kesempatan baik.
Lawannya sudah berada di tepi sungai, tidak ada jalan untuk mengelak lagi, maka dia lalu mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau, pedangnya menusuk dengan kuat sekali ke arah dada lawan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Si kakek kecil itu lenyap. Demikian cepat gerakannya ketika menjatuhkan diri sehingga tidak kelihatan oleh Jenderal Kao. Tahu-tahu kakek kecil itu dari bawah menangkap lengan tangan Jenderal Kao yang memegang pedang dan secepat itu pula kakinya dua kali bergerakmenendang. ke arah lutut Jenderal Kao. Jenderal ini berseru kaget, kedua kakinya terasa lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, kakek kecil itu telah menyentak tangannya, menariknya ke atas membuatnya terlempar ke atas, melampaui kepala kakek kecil itu dan terlempar ke tengah sungai!
"Byuuuuurrr....!"
Tubuh yang tinggi besar itu menimpa air yang muncrat tinggi. Jenderal yang kehilangan pedangnya itu mencoba untuk berenang akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia men-dapat kenyataan betapa dua buah kakinya belum dapat digerakkan, masih setengah lumpuh oleh totokan ujung sepatu kakek kecil itu. Terpaksa dia hanya menggunakan kedua tangannya untuk digerakkan menahan agar tubuhnya tidak tenggelam dan kini tubuhnya dibawa hanyut, terseret oleh arus sungai yang kuat.
"Ayahhhhh....!"
Kok Tiong berseru kaget sekali. Akan tetapi dia dan adiknya masih belum mampu mengalahkan lawan yang memegang dayung, bahkan mereka terancam oleh sinar dayung yang berkelebatan. Kiranya orang yang berjuluk Kerbau Belang ini kuat sekali, dan kadang-kadang dari tenggorokannya keluar suara seperti seekor kerbau marah dan tiap kali terdengar suara ini, tenaga yang menggerakkan dayungnya menjadi berlipat ganda kuatnya, membuat dua orang saudara Kao ltu kewalahan. Namun dengan kerja sama yang rapi, mereka berdua masih dapat saling melindungi dan menahan amukan kakek tinggi kurus yang memutar dayungnya secara istimewa.
"He-he-he, Hoa-gu-ji, engkau benar-benar mengecewakan. Masa menghadapi dua ekor ikan kecil saja masih belum mampu menangkapnya?"
Kakek kecil yang telah berhasil melontarkan tubuh Jenderal Kao Liang ke tengah sungai itu tertawa, tubuhnya berkelebat dan dengan cepat sekali, menggunakan kesempatan selagi dua orang saudara Kao itu menangkis dayung dengan pedang mereka, dia menotok jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kiri mereka sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, Kok Tiong dan Kok Han mengeluh dan roboh lemas. Hoa-gu-ji menggerakkan dayungnya ke arah kepala mereka.
"Wuuuuutttttt.... plakkk!"
Dayung itu terpental, bertemu dengan telapak tangan Si kakek kecil.
"Gilakah kau, Hoa-guji? Kita membutuhkan mereka, mengapa hendak kau bunuh?"
Hoa-gu-ji cemberut dan dia teringat, maka cepat dia mengambil tali dari perahu dan mengikat kedua tangan Kok Tiong dan Kok Han. Dia tadi marah sekali karena merasa malu bahwa dia tidak mampu merobohkan dua orang musuh itu, maka dalam kemarahannya hampir dia membunuh mereka.
"Maafkan, Pangcu, hampir saya lupa,"
Katanya setelah mengikat mereka dan melemparkan tubuh mereka ke atas perahu. Tak lama kemudian, perahu yang kini membawa dua orang tawanan itu sudah meluncur lagi ke tengah sungai mengikuti arus.
"Hayo katakan, di mana adanya harta benda Ayah kalian! Kalau tidak mau mengaku, terpaksa kalian akan kami jadikan makanan ikan di sungai ini!"
Kakek kecil itu membentak.
"Persetan dengan kamu, iblis tua bangka!"
Bentak Kok Han dengan marah, sedikit pun juga tidak takut atau jerih menghadapi ancaman kakek kecil itu. Akan tetapi, Kok Tiong yang lebih cerdik tidak ingin mati konyol begitu saja. Tidak, mereka berdua harus hidup, apalagi sekarang setelah ayah mereka pun lenyap, hanyut ditelan air sungai. Mereka harus mencari keluarga mereka lebih dulu dan tidak boleh mati begitu saja.
"Pangcu, engkau telah keliru menyerang orang,"
Katanya tenang.
"Ayah kami memang membawa harta benda, akan tetapi kemarin kami telah diserbu orang-orang yang tidak kami ketahui siapa, keluarga kami ditawan dan harta benda itu pun ikut pula terbawa. Kami bertiga sedang mencari mereka ketika bertemu dengan engkau di tepi sungai."
"Wah, celaka, benar-benar ada orang mendahului kita, Hoa-gu-ji. Orang muda, ceritakan semua dengan jelas."
Kao Kok Tiong lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpanya, tentu saja tanpa menceritakan dugaannya tentang utusan kaisar dan tentang keluarga Suma. Kakek kecil itu mendengarkan dengan alis berkerut dan dia menarik napas panjang.
"Celaka, siapa lagi kalau bukan perempuan-perempuan iblis garuda hitam itu? Hoa-gu-ji, hayo cepat kita ke hilir, kita harus dapat mencari mereka!"
Perahu meluncur makin cepat karena kini selain digerakkan oleh kekuatan arus air, juga dibantu oleh kekuatan dayung yang digerakkan oleh Hoa-gu-ji. Dua orang saudara Kao yang rebah di atas perahu dengan kedua tangan terbelenggu, merasa miris juga melihat perahu meluncur demikian cepatnya, apalagi karena mereka memang tidak biasa bermain di air. Diam-diam mereka mengkhawatirkan keadaan ayah mereka yang tadi mereka lihat terlempar ke air dalam keadaan masih hidup dan berusaha berenang namun terseret oleh arus air.
Khiu-pangcu dan Hoa-gu-jin kini kelihatan bersikap waspada dan siap siaga di atas perahu ketika perahu itu melewati sebuah hutan yang liar dan hebat. Mendadak tampak sinar berkelebat diikuti suara berdesing dan tahu-tahu sebatang anak panah menancap di kepala perahu. Anak panah itu ditempeli sebuah lencana perak bergambar garuda hitam dan di bawahnya terdapat dua buah huruf berbunyi SUI TIN (Pasukan Air). Melihat ini dari tempat ia rebah, Kok Tiong dan Kok Han teringat akan lencana yang mereka dapatkan di dekat mayat wanita berpakaian hitam karena memang sama gambar dan bentuknya, hanya lencana yang mereka temukan itu memakai huruf Pasukan Kayu, sedangkan yang menempel di anak panah ini huruf-hurufnya berbunyi Pasukan Air. Khiu-pangcu terkekeh, lalu mencabut anak panah itu dan melemparkannya ke sungai.
"Singgggg....!"
Cepat sekali anak panah itu meluncur seperti terlepas dari gendewa dan anak panah itu menancap di batu karang di tepi sungai, masuk sampai sepertiganya ke dalam batu karang itu. Hal ini saja membuktikan betapa hebat sinkang dari kakek kecil itu, kekuatan lemparannya tadi jauh lebih kuat daripada kalau anak panah itu meluncur dari sebatang gendewa! Kini kakek kecil ltu bangkit berdiri di atas kepala perahu, kakinya terpentang lebar dan kedua lengannya bertolak pinggang, lalu terdengar suaranya yang tinggi melengking nyaring, bergema di dalam hutan di seberang sungai,
"Haiiiii....! Kenapa hanya pimpinan Pasukan Air saja yang keluar menyambutku? Mana keempat pasukan yang lain? Hayo keluarlah kalian menyambut Khiu-pangcu yang sudah datang ke sini! Malam kemarin kepala Pasukan Kayu telah berani menghina seorang anggauta kami, hayo suruh dia keluar pula kalau berani!"
Siapakah pelempar anak panah yang menancap di perahu itu? Dan siapakah mereka yang memakai lencana garuda hitam itu? Mereka itu adalah anggauta-anggauta dari perkumpulan Hek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Hitam) yang berpusat di puncak Gunung Cemara. Perkumpulan ini terdiri dari wanita-wanita yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi, dan tangan mereka semua dicacah gambar burung garuda. Di antara mereka dibagi menjadi pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Api, Pasukan Air, Pasukan Tanah, Pasukan Besi dan Pasukan Kayu, masing-masing memiliki keistimewaan sendiri. Tiba-tiba terdengar suara nyaring merdu di seberang sungai,
"Kakek sombong, jangan tekebur, kau!"
Dan munculiah seorang wanita cantik berusia kurang lebih tiga puluh tahun dari balik semak-semak, seorang wanita yang pakaiannya serba hitam dan yang memegang sepasang pedang.
"Tidak perlu saudara-saudara kami maju, cukup kami saja yang akan melawanmu dan akan membunuhmu, kecuali kalau kau serahkan tawananmu itu kepadaku, kami akan membebaskan engkau!"
"He-he-he-he, perempuan cantik suaranya nyaring!"
Kakek kecil itu tertawa dan perahu lalu didayungnya ke pinggir. Kakek tinggi kurus mengikat perahu di tepi, kemudian bersama Khiu-pangcu dia lalu meloncat ke darat, dengan sikap angkuh dan tersenyum simpul.
"He-heh-heh, Nona cantik. Engkau tentu kepala dari Pasukan Air, bukan? Percuma saja kau membahayakan kulitmu yang halus, lebih baik suruh semua pasukan maju mengeroyok aku."
Wanita itu menudingkan pedang kirinya ke arah muka kakek kecil sedangkan pedang kanannya melintang di depan dada, sambil berkata,
"Khiu-pangcu, jangan kau sombong. Saat ini aku Kim-hi Nio-cu (Nona Ikan Emas) yang bertugas dan berjaga di sini, maka cepat kau serahkan tawananmu itu kepadaku sebelum terpaksa aku turun tangan menggunakan kekerasan."
"Ha-ha-he-heh, sungguh gagah! Mari, mari, Nona manis, mari kita main-main sebentar, hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu!"
Khiu-pangcu lalu meraba pinggangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika dia telah meloloskan sabuk atau ikat pinggangnya yang panjang dan ternyata dapat dipergunakan sebagai senjata cambuk yang ada gagangnya dan yang ujungnya bercabang-cabang itu.