Jodoh Rajawali Chapter 06

NIC

"Heeeiiiii....! Keluarlah engkau peniup suling sialan! Jangan main sembunyi-sembunyi kalau engkau memang jantan! Ayo, keluarlah dan lawanlah aku, engkau akan mampus kalau tidak kau kembalikan keluarga kami!"

"Sssttttt....!"

Jenderal Kao mencegah puteranya akan tetapi tantangan telah dikeluarkan dan mereka kini berdiam, memperhatikan semua penjuru. Suara su-ling tiba-tiba berhenti keadaan menjadi makin sunyi mencekam dan menyeramkan. Lalu terdengar suara orang menguap panjang dan disusul suara langkah kaki orang tersaruk-saruk. Selagi tiga orang ayah dan anak itu saling pandang, terdengar suara orang bergumam,

"Hahhhhh perutku lapar dan kakiku capai. Sebentar lagi malam tiba dan aku belum beristirahat barang sekejap pun. Lebih baik mencari warung di depan, makan bubur hangat, mandi air sejuk lalu tidur mendengkur!"

Jenderal Kao dan dua orang puteranya cepat meloncat dan mencari ke arah datangnya suara itu. Dari jauh kelihatan berkelebatnya seorang dengan cepat. Bajunya yang putih itu tampak menyolok dengan cuaca yang sudah mulai suram karena senja. telah tiba. Sebentar saja bayangan itu berkelebat dan lenyap, seperti setan menghilang saja.

"Kejar!"

Jenderal Kao Liang berbisik dan ketiganya lalu mengerahkan ginkang, meloncat lalu berlari mengejar secepat mungkin. Jenderal itu merasa yakin bahwa orang di depan tadi tentu tahu akan segala peristiwa yang terjadi, maka dia tidak mau kehilangan orang itu. Akan tetapi, bayangan itu telah lenyap dan mereka mengejar sampai malam tiba, belum juga dapat menyusul. Tentu saja ketiganya merasa mendongkol dan malam itu berbeda dengan malam tadi. Awan mendung berkumpul di langit sehingga keadaan menjadi gelap pekat, sedangkan mereka tidak mengenal jalan. Maka terpaksa mereka menghentikan pengejaran sia-sia itu dan melewatkan malam di tepi jalan di kaki bukit yang sunyi, membuat api unggun dan semalam suntuk mereka tidak dapat tidur, menanti datangnya fajar untuk melanjutkan pengejaran dan pencarian mereka.

"Orang itu agaknya sengaja menyebut tentang sebuah warung di depan. Biar dia memancing sekalipun, kita harus pergi mengejarnya dan mencari warung itu!"

Demikian Jenderal Kao berkata. Ketika fajar mulai menyingsing dan cuaca tidak begitu gelap lagi, ketiganya sudah meninggalkan api unggun yang sudah tidak bernyala, tinggal berasap saja dan mereka bergegas menuju ke depan melanjutkan perjalanan semalam yang terganggu oleh kegelapan malam.

Ketika mereka mulai bertemu dengan para petani yang menuju ke sawah, tiga orang ayah dan anak ini mempercepat langkah kaki mereka, tidak mempedulikan pandang mata para petani yang terheran-heran melihat mereka berjalan cepat itu. Di mana ada petani tentu ada dusun, pikir Jenderal Kao Liang dan dia melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat. Benar saja dugaan mereka. Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun. Matahari pagi dengan cerah dan riangnya menyinari sebuah warung makan di dusun itu dengan hati berdebar Jenderal Kao mengajak anak-anaknya memasuki warung. Akan tetapi, warung itu masih sunyi dan belum ada pengunjungnya, maka duduklah mereka dengan hati kecewa. Jenderal Kao memesan bubur hangat tiga mangkok yang dilayani oleh pemilik warung dengan ramahnya.

"Kami mencari seorang teman, dia masih muda dan berpakaian putih. Apakah dia sudah tiba di sini? Malam tadi atau tadi? Katanya dia ingin makan bubur panas"

Kata Jenderal Kao kepada pemilik warung secara sambil lalu. Akan tetapi sungguh tidak disangka, mendengar pertanyaan ini wajah Si pemilik warung menjadi berseri.

"Aih, tentu Tuan maksudkan Suma-kongcu (Tuan Muda Suma)! Memang dia sering makan di sini, dan baru saja dia pergi, setelah makan bubur panas. Lihat, mangkoknya juga masih di meja itu, belum saya bersihkan!"

Ketiganya cepat bangkit.

"Di mana dia? Ke mana perginya?"

Jenderal Kao bertanya, suaranya keras, mengejutkan pemilik warung.

"Eh mana saya tahu? Tadi saya lihat ke jurusan selatan sana"

Tukang warung itu menjadi bengong ketika tiga orang itu berkelebat dan lari pergi meninggalkan warungnya.

"Eh, ini bubur pesanan....!"

Akan tetapi Jenderal Kao dan anak-anaknya sudah pergi jauh dan pemilik warung itu hanya menggeleng kepala.

"Suma-kongcu orang aneh, teman-temannya pun aneh bukan main!"

Sementara itu, Jenderal Kao Liang sambil berjalan cepat bersama dua orang puteranya menuju ke selatan, berkata dengan desis terheran-heran,

"Suma-kongcu!? Tidak banyak orang di dunia ini yang ber-she Suma dan memiliki kepandaian tinggi! Siapa lagi kalau bukan keluarga Suma, Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti? Dan setahuku, ada dua orang Suma-kongcu! Akan tetapi, mengapa menculik keluarga kita? Bukankah kita bersahabat erat seperti keluarga sendiri dengan mereka?"

Jenderal Kao menduga-duga dengan hati penasaran.

"Itu kan dahulu, Ayah!"

Kata Kok Tiong dengan suaranya mengandung kegemasan.

"Dahulu ketika Ayah masih terpakai oleh Kaisar. Akan tetapi sekarang? Keadaan Ayah seperti juga disingkirkan oleh Kaisar, sungguhpun sebagai basa-basinya Ayah disuruh istirahat dan dipensiun, diberi harta benda sebagai bekal. Lihat saja betapa pasukan pengawal istana bermunculan di sini, seolah-olah menghadang perjalanan kita. Siapa tahu, tidak mustahil kalau Kaisar mengkhawatirkan keadaan Ayah, takut Ayah akan menimbulkan huru-hara. Menurut pendapat saya, agaknya Kaisar memang berusaha untuk membasmi, keluarga kita agar aman, karena Ayah adalah seorang yang tidak boleh dipandang ringan. Hemmm, tidak salah lagi, demikianlah keadaannya! Maka, Hok-ciangkun yang memimpin pasukan pengawal menyamar sebagal petani, tentu diutus oleh Kaisar untuk membasmi kita. Akan tetapi mereka tahu, keluarga kita bukanlah keluarga sembara-ngan. Apalagi ada Kok Cu koko, maka Kaisar tentu telah minta pertolongan keluarga Pulau Es, keluarga Suma. Bukankah keluarga Suma masih termasuk keluarga Kaisar juga? Bukankah Pendekar Super Sakti, Paman Suma Han adalah cucu mantu dari Kaisar?"

"Ehhhhh....?"

Jenderal Kao Liang berteriak dan menghentikan langkahnya. Kalau dalam keadaan biasa, tentu kata kata Kok Tiong itu akan cukup membuat dia turun tangan menampar mulut puteranya yang berani berkata demikian, mencela kaisar, menuduh yang bukan-bukan, bahkan berani mencurigai keluarga Pulau Es. Akan tetapi dia tidak jadi menggerakkan tangan, karena kata-kata itu membangkitkan kecurigaannya pula dan dia termenung. Suma-kongcu, kata tukang warung itu. Tentu kalau bukan Suma Kian Lee, ya Suma Kian Bu, seorang di antara dua putera Majikan Pulau Es.

Majikan Pulau Es adalah Suma Han yang terkenal sebagai Pendekar Pulau Super Sakti bagi yang memujanya dan Pendekar Siluman bagi yang membencinya, dan Suma Han ini menikah dengan Puteri Nirahai sebagai isteri pertama, Puteri Nirahai cuku kaisar! Ucapak Kok Tiong tadi biarpun agaknya tidak masuk di akal mengingat akan watak keluarga Pulau Es yang sakti dan budiman, namun beralasan juga. Jenderal ini tahu bahwa di dalam pergolakan politik kerajaan, segala hal dapat saja terjadi. Buktinya, dua orang Pangeran Liong yang menjadi adik-adik tiri kaisar sendiri, memberontak karena politik, karena pengejaran ambisi pribadi. Siapa tahu, kaisar benar-benar menganggap dia berbahaya dan hendak menumpas keluarganya. Dan siapa tahu, mungkin pandangan putera Pendekar Super Sakti yang sudah dipengaruhi politik juga berubah terhadap dirlnya!

"Akan tetapi....!"

Bantahnya dengan suara meragu, bantahan yang timbul langsung dari suara hatinya,

"Andaikata demikian halnya, mengapa mesti mengambil cara berbelit-belit? Andaikata benar Kaisar menghendaki nyawaku, cukup beliau memerintahkan perajurit untuk menangkap aku dan menjatuhkan hukuman mati. Mengapa harus memakai cara penuh rahasia ini, dengan bermacam muslihat? Aku siap untuk menyerahkan nyawaku kalau diminta oleh Kaisar, demi negara!"

"Saya kira persoalannya tidak semudah itu, Ayah. Kalau Kaisar melakukan hal itu terhadap Ayah, tentu beliau akan banyak menerima celaan dan tentangan. Tentu beliau tidak ingin perbuatan beliau itu diketahui oleh umum. Rakyat jelata dan semua pembesar tahu belaka siapa Ayah, dan betapa besar jasa Ayah terhadap negara dan bangsa. Agaknya Kaisar ingin agar kita sekeluarga seolah-olah terbasmi oleh penyamun atau, oleh golongan hltam dan hal ini pun bukan tak boleh jadi, mengingat betapa Ayah sudah banyak melakukan pembersihan terhadap mereka."

Mendengar ucapan puteranya yang ke dua itu, Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk dan tiba-tiba hatinya menjadi berduka sekali. Dia mengepal tinjunya, giginya mengeluarkan bunyi berkerotan.

"Ini tentu hasil dari fitnah dan hasutan para pengkhianat yang hendak melemahkan kerajaan! Sri Baginda Kaisar telah tertipu!"

Kok Tiong menarik napas panjang.

"Lihat, betapa patriotnya jiwa Ayah, bahkan di waktu keluarga sendiri terancam bahaya maut, Ayah masih mementingkan kerajaan."

Jenderal Kao termenung, sadar akan kebenaran ucapan puteranya dan dia teringat lagi akan keadaan keluarganya.

"Akan tetapi kalau memang benar dugaanmu itu, semoga saja, kuminta kepada Thian, Kaisar tidak sampai tertipu sedalam itu, andaikata benar demikian, mengapa keluarga kita tidak dibunuh saja? Kenapa diculik mereka itu? Di mana adanya ibumu, isterimu, anak-anakmu?"

Posting Komentar