“Kwa Sek Hong, lupakah engkau akan dusun Kwi-cun?” tiba-tiba ia menyerang dengan perkataan sambil memandang tajam.
“Kwi-cun..?? Di mana itu...?” piauwsu tua itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
“Dua puluh tahun yang lalu, di Kwi-cun, di mana engkau dan anak buahmu merampok kampung, membunuhi banyak penduduk, dan sebelah mata seseorang wanita..?”
“Tutup mulutmu!!” Kwa Sek Hong memaki dan membentak marah, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Bu.
“Orang muda, aku tidak tahu apa maksudmu mengeluarkan kata-kata mengaco tidak karuan ini. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku orang she Kwa bukanlah pengecut, apalagi perampok! Tak perlu bermain kata-kata, lebih baik terus terang saja, engkau mau apa?” Makin berkurang keyakinan Kwan Bu. Sikap orang ini gagah, memang agaknya bukan ini orangnya. Akan tetapi bagaimana dia tahu? Dia belum puas, maka sambil tersenyum mengejek ia menjawab,
“Mau apa? Tentu saja mau merampas lima buah kereta ini...!” “Ha-ha-ha! Bagus begitu! Lebih baik berterus terang mau merampok! Nah, pecahkan lebih dulu dada Hui-hauw Kwa Sek Hong, baru kau dapat merampas barang-barang kawalanku!” Kwa Sek Hong membentak marah dan sudah menerjang dengan goloknya dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Kwan Bu yang masih ragu-ragu apakah orang ini musuh besarnya, hanya mengelak ke sana ke mari, gerakkannya gesit dan ujung golok lawan tak pernah dapat menyentuh bajunya. Diam-diam Kwa Sek Hong terkejut bukan main. Ternyata pemuda ini memiliki kepandaian yang amat tinggi jauh melampaui dugaanya karena kini ia yakin bahwa pemuda ini adalah seorang perampok yang hendak merampas lima buah kereta kawalannya, tentu saja Kwa Sek Hong menyerangnya mati-matian.
Pada saat itu terdengar sorak-sorai gemuruh. Kwa Sek Hong yang sejak tadi mendesak Kwan Bu dengan goloknya, mencelat mundur dan memandang. Wajahnya pucat ketika ia melihat puluhan perampok menyerbu, disambut oleh kedua orang anaknya dan para piauwsu serta pasukannya. Di antara para perampok yang mempunyai warna muka yang berlainan semua. Yang seorang bermuka hitam, yang kedua putih, yang ketiga merah, yang keempat kuning, dan yang kelima bermuka hijau. Dalam pertandingan dahsyat ia berhasil merobohkan empat orang diatara mereka. Si muka hijau ini yang dahulunya masih muda, dapat melarikan diri. Siapa sangka, kini tiga puluh tahun kemudian si muka hijau itu datang bersama orang-orang lihai untuk membalas dendam. Ia tahu bahwa pemuda lihai inipun tentu sekutu si muka hijau, namun Kwa Sek Hong adalah seorang gagah yang tidak mengenal takut, maka ia menjawab lantang.
“Ha,ha,ha, kiranya raja-raja perampok di kaki Thai-san yang menghadang perjalananku! Tiga puluh tahun yang lalu aku menjadi piauwsu, sekarangpun masih. Tiga puluh tahun yang lalu aku tidak pernah mundur melawan perampok, sekarangpun masih begitu! Eh, muka hijau, siapa takut kepadamu?” ucapan yang gagah ini disambut sorak-sorai anak buahnya dan pertandingan yang tadi terhenti karena masing-masing mendengarkan suara pimpinan mereka, kini dilanjutkan, lebih sengit daripada tadi. Kwa Sek Hong memandang Kwan Bu lalu membentak dan menudingkan goloknya.
“Kiranya engkau sekutu perampok-perampok Thai-san. Baiklah, mari kita pastikan siapa yang harus mati dan siapa yang berhak memiliki barang yang kukawal ini!” sambil membentak keras, Kwa Sek Hong menerjang Kwan Bu. Akan tetapi baru tiga kali bacokan yang dielakkan pemuda itu, tiba-tiba pemuda itu lenyap dan tampak hanya bayangan putih berkelebat pergi dari situ, membuat Kwa Sek Hong berdiri melongo. Apalagi ketika ia melihat betapa pemuda baju putih itu tahu-tahu telah melayang naik ke atas kereta. Pihak perampok yang lebih banyak itu, ada yang menguasai kereta dan hendak melarikan kuda,
Akan tetapi mereka yang berada di atas kereta terjungkal oleh pukulan dan tendangan Kwan Bu. Melihat ini Kwa Sek Hong mengira agaknya pemuda itu bukanlah sekutu Cheng-bin Tai-ong melakukan perampok tunggal dan kini terjadi perebutan kereta antara anak buah perampok Thai san dan pemuda itu. Mulailah ia menyangka bahwa pemuda ini, melihat kelihaiannya yang luar biasa, agaknya tentu seorang tokoh pejuang yang menentang kaisar. Kini dia menghadapi dua pihak lawan yang amat kuat. Dilihatnya betapa kedua orang anaknyapun didesak oleh pengeroyokan banyak perampok tangguh. Maka kini melihat si muka hijau sambil tertawa mainkan tombaknya merobohkan empat piauwsu sekaligus, ia marah sekali dan cepat menerjang sambil memutar goloknya.
“Ha-ha-ha, Kwa Sek Hong, saat kematianmu sudah di depan mata!” si muka hijau mengejek sambil memutar tombak.
Kwa Sek Hong menangkis dengan goloknya. Terdengar bunyi berdenting nyaring dan kagetlah piauwsu itu. Kiranya si muka hijau ini selama tiga puluh tahun tidak tinggal diam dan telah memperoeh kemajuan hebat. Dari benturan senjata itu tadi saja ia tahu bahwa tenaga sinkang si muka hijau ini amat tangguh juga gerakan tombaknya cepat sekali, maka tombak membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang sukar diduga perkembangannya. Karena ia tahu bahwa tombak lawan amat berbahaya, Kwa Sek Hong memutar golok melindungi dirinya, kemudian tangan kirinya digerakkan. Sinar terang berkilauan menyambar si muka hijau sudah mengeluarkan sehelai Sapu tangan yang diputarnya cepat dan semua jarum yang dilepas Kwa Sek Hong menancap pada sapu tangan.
“Makanlah jarum-jarummu sendiri!” si muka hijau memutar tombaknya menyerang dan ketika Kwa Sek Hong mengelak sambil menangkis, si muka hijau ini mengebutkan sapu tangannya dan jarum jarum yang melekat di saputangannya menyambar ke arah tubuh Kwa Sek Hong! Piauwsu ini terkejut dan cepat membuang diri ke samping untuk menghindarkan sambaran jarum-jarumnya sendiri. Kini ia maklum bahwa Cheng-bin Tai-ong si muka hijau ini telah membuat persiapan baik- baik, bahkan telah mempelajari ilmu dengan sapu tangan itu khusus untuk menghadapi senjata- senjata rahasianya. Sementara Kwan Bu kini sudah yakin bahwa Kwa Sek Hong bukanlah musuh besar yang sedang dicarinya. Percakapan antara piauwsu dan si muka hijau tadi sudah membuka segalanya,
Membuat ia maklum bahwa piauwsu ini pada waktu terjadi pembasmian keluarga ibunya oleh para perampok, telah menjadi piauwsu. Jadi terang bukan Kwa Sek Hong kepala rampok itu, sungguhpun sama tinggi besarnya, sama pula pandai menggunakan golok dan jarum! Keyakinan hatinya ini membuat ia tidak ragu-ragu lagi meninggalkan Kwa Sek Hong untuk turun tangan membantu para piauwsu, membasmi perampok yang dipimpin oleh si muka hijau. Akan tetapi karena antara Kwa Sek Hong dan si muka hijau terdapat dendam pribadi, ia tidak mau ikut-ikut dan ia hanya meloncat ke atas kereta karena melihat betapa kereta-kereta itu akan dilarikan perampok. Sekali ia meloncat ke atas kereta, ia menggerakkan kaki tangan dan empat orang perampok yang berada di atas kereta itu roboh terlempar ke bawah, tak dapat bangkit lagi!
Kwan Bu terus mengamuk di sekitar lima buah kereta sampai tidak ada lagi perampok yang berani mendekati kereta. Belasan orang perampok roboh binasa. Kwan Bu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia menoleh ke kanan kiri, melihat betapa kedua orang anak Kwa Sek Hong terdesak oleh pengeroyokkan delapan orang perampok yang agaknya merupakan pimpinan dan memiliki ilmu silat yang lihai, ia segera mengenjot tubuhnya, menyerbu pertempuran itu sambil mencabut pedangnya, Toat-beng-kiam. Tampak segulung sinar merah berkelebatan menyilaukan mata menyambar ke dalam pertandingan keroyokan itu, disusul suara berkerontangan dan terbangnya pedang dan golok, kemudian disusul juga dengan pekik kesakitan dan robohnya delapan orang tadi!
Kwa Min Tek dan Kwa Bee Lin berdiri terlongong dengan senjata di tangan ketika melihat betapa delapan orang pengeroyok yang tangguh tadi tersambar sinar merah dan tahu-tahu telah bergulingan roboh. Ketika mereka melihat Kwan Bu sudah menyarungkan kembali pedangnya, dan pemuda baju putih itu bergerak-gerak merobohkan setiap orang perampok yang berdekatan hanya dengan tamparan dan tendangan, mereka menjadi kagum, heran dan juga berterima kasih. Dengan semangat tinggi mereka berdua lalu meloncat mendekati ke ayahnya yang masih bertanding hebat melawan si muka hijau. Betapapun pandainya Cheng-bin Tai-ong, namun baginya masih sangat sukar mengalahkan Kwa Sek Hong. Golok piauwsu ini amat lihai, dan entah sudah berapa ratus kali golok itu bertemu dengan tombak di tangan Cheng-bin Tai-ong, namun belum ada pihak yang terdesak. Melihat ini, Kwa Min Tek dan Kwa Bee Lin berseru keras dan menyerbu. Membantu ayah mereka.
Cheng-bin Tai-ong tadi sudah melihat kocar-kacir setelah delapan orang pembantunya roboh binasa. Hatinya gentar sekali dan mukanya yang hijau menjadi agak pucat. Kini melihat dua orang muda itu menyerbunya, ia menggigit bibir dan memutar tombak lebih cepat. Namun, menghadapi Kwa Sek Hong seorang saja ia sudah kehabisan akal dan tidak mampu menang, apalagi kini piauwsu itu dibantu dua orang anaknya yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, hampir setinggi ayah mereka. Ia masih berusaha melawan, akan tetapi sia-sia. Setelah lewat belasan jurus golok, golok Kwa Sek Hong membacok pangkal lengannya sehingga lengan itu hampir putus! Cheng-bin Tai-ong menjerit keras, tombaknya terlepas pada saat itu, pedang Bee Lin menusuk dada dan golok Min Tek membacok kepalanya.
Kepala rampok ini roboh seketika, berlumuran darah dan tewas tanpa dapat berteriak lagi. Para anak buah perampok sedang dihajar habis-habisan oleh para piauwsu yang telah “mendapat hati”. Kini melihat kepala mereka roboh, sisa para perampok itu tanpa dikomando lagi pegi melarikan diri, cerai berai tunggang langgang keluar dari hutan, dikejar ejek dan sorak para piauwsu. Kwa Sek Hong dan dua orang anaknya kini menghadapi Kwan Bu. Tiga orang itu memandang penuh keheranan dan kekaguman. Apalagi ketika Kwa Sek Hong mendapat kenyataan bahwa tidak ada setetes pun darah mengotori pakaian putih pemuda itu, dia menjadi makin kagum. Hal ini saja membuktikan betapa lihainya pemuda ini. Jauh lebih tinggi ilmunya dari pada dia dan anak-anaknya yang berlepotan darah pada pakaiannya. Ia merangkap kedua tangan ke depan dada dan berkata.
“Orang muda yang lihai dan aneh! Harap jangan mempermainkan aku seorang tua dan sukalah berterus terang apa gerangan kehendakmu maka engkau bersikap seaneh ini? Lawankah engkau? Ataukah kawan? Benarkah engkau hendak merampok lima kereta yang hendak kami kawal? Kalau benar demikian, mengapa engkau membantu kami tadi padahal kalau hendak melarikan kereta, tadi lebih mudah? Sebaliknya kalau kawan, mengapa berpura-pura dengan sikap seperti perampok tangguh?” Kwan Bu tersenyum dan balas menjura, sikapnya jauh berbeda daripada tadi setelah ia tahu pasti bahwa kakek ini bukan musuhnya. Ia berkata dengan suara halus dan bersikap sopan.
“Kwa-lo-piauwsu mohon sudi memaafkan saya yang muda dan lancang. Sesungguhnya bukan sekali- kali saya hendak merampok. Kalau tadi saya berpura-pura hendak merampok, adalah karena saya menyangka bahwa Kwa-piauwsu adalah musuh besar saya. Akan tetapi setelah mendengar percakapan antara Kwa-piauwsu dan si muka hijau tadi, lenyaplah persangkaan saya, dan tentu saya tidak akan membiarkan perampok-perampok jahat mengganggu rombongan piauwsu. Sekali lagi mohon maaf!” Kwan Bu menjura, hanya kepada Kwa Sek Hong dan juga kepada Kwa Min Tek dan Kwa Bee Lin sehingga nona ini tersipu-sipu malu dan balas menjura lalu memalingkan muka. Sebelah kakinya masih tidak bersepatu sehingga ia tadi merasa kaku dalam pertandingan dan semua ini gara- gara si pemuda “nakal” dan ternyata bukan perampok melainkan seorang pendekar sakti. Kwa Sek Hong mengerutkan keningnya, lalu berkata.
“Orang muda yang gagah. Karena engkau telah menyangka aku sebagai musuh, dan setelah kini engkau mendapat kenyataan bahwa aku bukan musuhmu, sudah selayaknya kalau engkau menceritakan siapakah engkau dan siapa pula musuh besar yang kau cari itu.” Kwan Bu menghela napas. Ia tidak ingin dikenal orang, akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri. Piauwsu ini sudah lama berkelana di dunia kang-ouw siapa tahu kalau-kalau dapat memberi petunjuk kepadanya.
“Kwa-piauwsu, nama saya Bhe Kwan Bu. Adapun tentang musuh saya itu, agak sukar untuk diketahui. Saya sendiri tidak tahu siapa namanya. Yang saya ketahui bahwa dia seorang tinggi besar berusia kurang lebih enam puluh tahun, pandai bermain golok dan jarum, dan dua puluh tahun lebih yang lalu, dia telah membunuh seluruh keluargaku di dusun Kwi-cun dan dia hanya meninggalkan sebatang jarum ini.” Pemuda itu mengeluarkan jarum yang tadi sudah ia perlihatkan kepada Kwa Sek Hong sambil menarik napas panjang. Kwa Sek Hong mengerutkan kening dan mengangguk-angguk, meraba jenggotnya lalu berkata. “Marilah kita mengaso di sana dan bicara yang enak. Biar kami menjadi tuan rumah di hutan ini dan akan kucoba untuk mengingat-ingat siapa gerangan yang patut dicurigai sebagai musuhmu, Bhe- hiante.” Mereka duduk di tempat yang bersih, menjauhi tempat yang terdapat ayat dan darah, dan kini para anggauta pasukan sibuk mengurus mayat dan teman-teman yang terluka. Bee Lin mengeluarkan cawan dan arak di atas tanah. Setelah berpikir agak lama, Kwa Sek Hong lalu berkata.
“Ahhh! Memang sukar mencari seorang tokoh kang-ouw dengan ciri-ciri sedikit itu. Akan tetapi aku mengenal dua orang yang mirip dengan ciri-ciri yang kau sebutkan. Yang seorang adalah seorang kepala perampok di Gunung Hek-kwi-san terkenal dengan julukan Sin-to Hek-kwi (Setan Hitam Golok Sakti). Sudah puluhan tahun ia merajai pegunungan itu sehingga pegunungan itu disebut Hek-kwi- san (Gunung Setan Hitam) seperti nama julukannya. Dia seorang laki-laki berusia sepantar dengan aku, kulit mukanya hitam dan tinggi besar, ahli golok dan jarum pula. Hanya sayangnya, menurut sepanjang pengetahuan dan pendengaranku, Hek-kwi-san ini selalu bersarang di gunungnya sedangkan gunung itu amat jauh letaknya dari dusun Kwi-cun yang kau maksudkan. Betapapun juga, dia patut dicurigai karena sejak puluhan tahun yang lalu ia menjadi kepala perampok.” Berseri wajah Kwan Bu,
“Ah, terima kasih banyak atas petunjuk lo-piauwsu!”
“Ah, setelah apa yang kau lakukan terhadap kami hari ini, betapa inginku dapat menolongmu, hiante. Ada seorang lagi yang juga pandai main golok dan jarum, bahkan dibandingkan dengan aku, dia jauh lebih tinggi tingkatnya. Dia adalah seorang hwesio, akan tetapi hanya lahirnya saja ia berkepala gundul dan berpakaian hwesio, padahal ia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul) kadang-kadang juga suka melakukan perampokan. Akan tetapi sayangnya pula, aku tidak pernah mendengar ia mempunyai anak buah, biasanya ia hanya bekerja sendirian saja, seorang penjahat tunggal yang menyamar sebagai pendeta gundul.”
“Betapapun juga, saya akan mencarinya, Kwa-piauwsu. Di manakah tinggalnya penjahat cabul ini?”
“Aku mendengar bahwa dia kini dapat menguasai sebuah kuil, bahkan memelihara anak buah yang juga berpakaian pendeta, kalau tidak salah, di kuil Ban-lok-tang di kota Sian-hu.”
“Terima kasih banyak, Kwa-piauwsu. Nah, kini saya mohon diri, sekali lagi terima kasih dan harap dimaafkan semua kelancanganku tadi.” Ia bangkit di pihak tuan rumah, lalu mengangkat tangan menjura.
“Mengapa terburu-buru amat, hiante? Kita baru saja berkenalan dengan kami merasa amat cocok dan berterima kasih. Kenapa tidak melewatkan sehari di sini untuk bercakap-cakap?”
“Terima kasih, biarlah lain kali kalau ada kesempatan dan lewat di Lui-si-bun, saya akan singgah di rumah cuwi (anda sekalian). Selamat tinggal” Setelah menjura sekali lagi, Kwan Bu membalikkan tubuh dan pergi dari tempat itu, diikuti pandang mata kagum oleh tiga pasang mata keluarga Kwa itu. Belum ada setengah li Kwan Bu pergi, tiba-tiba ia mendengar ada suara yang panggilan. Ia menoleh dan kiranya kakek she Kwa itu mengejarnya. Setelah berhadapan Kwa Sek Hong menjura dan berkata sambil tertawa.