Dendam Si Anak Haram Chapter 35

NIC

“Ahhh, betapa banyaknya orang gagah yang sependapat dengan taihiap, termasuk Bu Keng Liong taihiap yang untung sekarang telah sadar. Ketahuilah, taihiap. Pejuang yang sesungguhnya tidak perduli akan kepentingan pribadi, tidak pula menanam pamrih untuk mencari kemuliaan kelak. Menang atau kalah baginya sama saja, kalah sampai mati tidak menyesal, menang pun tidak mabok dan silau oleh kedudukan. Mereka yang memperebutkan kedudukan adalah orang lemah dan kelak mereka akan tenggelam dan hanyut oleh perbuatan sendiri, karena setiap kelaliman pasti menimbulkan tentangan. Dan tiada kemuliaan duniawi yang kekal, taihiap. Namun kebajikan menimbulkan nama baik yang masih akan hidup sepanjang masa.”

“Betapapun juga, saya belum ada niat untuk menjadi alat permainan mereka calon-calon pembesar Ialim, totiang. Nah, sampai jumpa!” Setelah berkata demikian Kwan Bu berkelebat pergi dari situ, beberapa kali loncatan saja sudah lenyap dari depan Ya Keng Cu yang menggoyang kepala dan menghela napas kecewa.

“Sayang..., dia amat lihai dan akan menjadi pejuang yang hebat...!”

lring-iringan itu cukup panjang sehingga menimbulkan debu mengepul tebal di sepanjang jalan yang kering. Terdiri dari lima buah kereta penuh peti-peti berat, setiap kereta di tarik oleh empat ekor kuda dan di atas setiap kereta terpasang bendera yang berkibar-kibar indah dan megah. Bendera yang ujungnya meruncing, terbuat daripada kain sutera berdasar kuning dan di tengah-tengahnya terdapat sulaman gambar sebuah harimau bersayap. Selain bendera bergambar harimau bersayap ini juga terdapat kain-kain memanjang dengan tulisan HUI HAUW PIAUWKIOK (Perusahaan Pengawal Macan Terbang). Paling depan dari iring-iringan itu tampak tiga orang penunggang kuda yang dari pakaiannya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah para pemimpin pengawal barang ini. Yang berkuda di tengah adalah seorang laki-laki tinggi besar, bercambang bauk, usianya sudah enam puluh tahunan namun masih tampak gagah dan kuat.

Sebatang golok yang terselip di pinggang mempunyai gagang terbuat dari pada emas dan ujungnya berukiran kepala harimau. Dia inilah Kwa Sek Hong yang dijuluki orang si Harimau Terbang, Dan memang patutlah kalau kakek tinggi besar ini dijuluki seperti itu karena memang dia tampak gagah perkasa dan menyeramkan. Di sebelah kiri hui-hauw Kwa Sek Hong ini adalah seorang gadis remaja yang berpakaian indah dan gagah pula, menunggang kuda dengan gaya jelas membuktikan bahwa gadis inipun bukan orang lemah dan memang demikianlah sesungguhnya. Gadis ini cantik manis, kulitnya agak hitam namun bahkan menambah kemanisannya, berusia kurang lebih delapan belas tahun dan sebatang pedang panjang tergantung di punggungnya. Biarpun pakaiannya indah, akan tetapi cara berpakaian dan berhias amat sederhana, menunjukkan bahwa dia adalah seorang gadis kang-ouw yang biasa menghadapi kesukaran dan kekerasan.

Gadis ini adalah Kwa Bee Lin, puteri piauwsu (pengawal barang) itu yang semenjak kecil telah digembleng dengan ilmu silat sehingga kini menjadi seorang gadis remaja yang lihai ilmu pedangnya. Bahkan semuda itu tidak jarang Bee Lin mewakili ayahnya mengawal barang sehingga hal ini membuat ia dikenal dan ditakuti para penjahat. Orang ketiga yang berdiri paling kanan adalah Kwa Min Tek, putera sulung piauwsu itu, berusia dua puluh dua tahun, seorang pemuda yang tinggi besar seperti ayahnya, gagah perkasa dan ahli bermain golok seperti ayahnya pula. Min Tek mewarisi ilmu golok ayahnya yang amat hebat yaitu ilmu golok Lian-hwa-sinto (Ilmu Golok Sakti Bunga Teratai) yang jarang menemui tanding. Sebaliknya, untuk menyesuaikan diri,

Bee Lin diajar ilmu pedang yang gerakan-gerakannya juga berdasar ilmu silat teratai ini. Di belakang tiga orang ini masih ada tujuh orang piawsu yang menjadi pembantu-pembantu utama dalam perusahaan Hek-hauw Piauwkiok ini, juga mereka bertujuh ini semua menunggang kuda. Di atas setiap kereta terdapat seorang kurir dan di belakang berjalanlah sepasukan pengawal terdiri dari dua puluh orang, semuanya bersenjata. Para anggauta pasukan inipun adalah orang-orang yang mengerti ilmu silat dan terlatih. Maka tidaklah mengherankan apabila Hui-hauw piauwkiok ini ditakuti para perampok dan tidak pernah diganggu karena selain pemimpinnya amat lihai, juga pasukannya amat kuat. Ketika rombongan ini memasuki sebuah hutan besar yang lebar dan liar, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dilarikan sangat kencang dari arah belakang.

Kwa Sek Hong menoleh dan melihat betapa jauh di belakang tampak debu mengepul tinggi tanda bahwa ada beberapa ekor kuda lari datang, ia lalu mengangkat tangan agar rombongannya minggir memberi jalan kepada penuggang kuda yang sedang mendatang itu. Tak lama kemudian tampaklah lima orang penungang kuda. Mereka ini adalah lima orang laki-laki yang membalapkan kuda amat cepatnya. Tubuh mereka setengah rebah tertelungkup di punggung kuda, dan tampaklah ronce- ronce kuning pedang mereka yang terselip di punggung, berkibar seperti bendera. Lima orang itu “ngebut” ketika melewati rombongan piauwkok, hanya tampak orang terdepan menoleh ke arah Kwa Sek Hong dan dua orang anaknya sambil tersenyum-senyum mengejek. Debu masih mengepul tinggi ketika mereka lewat.

“Jangan. !” Kwa Sek Hong memegang tangan Bee Lin. Ayah ini waspada dan tahu ketika lengan kiri

anak perempuannya bergerak merogoh kantong senjata rahasianya yang berisi penuh jarum-jarum halus.

“Apa kau gila?” Kwa Bee Lin bersungut-sungut dan menarik kembali tangannya keluar kantong senjata,

“Mereka itu bukan orang baik-baik, sama sekali tidak mengenal tata susila, lewat begitu saja tanpa memperlambat kuda, tidak memandang kepada ayah. Mereka patut diberi akan jarum!”

“Hemmm, jangan sembrono. Bee Lin,” kata piauwsu tua yang sudah banyak pengalaman itu. Ia lalu menoleh dan memberi isarat rombongannya untuk mengaso di bawah pohon-pohon yang rindang.

“Kita beristirahat di sini!” teriaknya kepada pembantunya yang menyampaikan perintah itu dengan suara lantang ke arah belakang. Lima buah kereta itu berhenti, dikumpulkan menjadi satu. Kuda- kuda dilepas dan diberi kesempatan makan rumput hijau dan mengaso. Kuda dan orang melepas lelah dan keringat mereka membasahi tubuh.

Para anggauta pasukan setelah selesai mengurus kuda lalu melepaskan lelah duduk di bawah pohon- pohon, membuka kancing baju depan, ada yang meminum air perbekalan masing-masing, ada yang mengebut-ngebut leher dan dada dengan topi mereka yang lebar. Kwa Sek Hong sendiri bersama dua orang anaknya lalu duduk di bawah sebatang pohon, mengusap peluh dengan sapu tangan mereka sambil bercakap-cakap setelah minum air dari perbekalan masing-masing. Ayah anak ini sudah biasa dengan pekerjaan berat kaum piauwsu, maka mereka itu selalu waspada namun hati mereka besar karena selama bertahun-tahun tidak pernah ada penjahat yang berani mengganggu barang kiriman yang dihias bendera bergambar macan terbang. Bee Lin memandang ayahnya yang sudah tua keriputan itu. Melihat ayahnya bekerja keras lalu berkata.

“Sudah kukatakan bahwa seperti biasa, perjalanan kita akan aman tidak mengalami gangguan sehingga cukup dikawal olehku sendiri atau bersama twako, tidak perlu ayah sendiri harus turun tangan mencapikkan diri. Buktinya, sampai di sini tidak terjadi gangguan apa-apa.”

“Huah, Lin-moi (adik Lin), kau bilang tidak ada gangguan, kuda tadi bukan orang baik-baik, agaknya mereka adalah mata-mata gerombolan perampok. Kita harus berhati-hati sekali mulai dari saat ini.” Kata Kwa Min Tek menegur adiknya.

“Aahhhh, lima macam cecunguk seperti itu saja perlu apa diributkan? Twako, apa kau mau bilang bahwa menghadapi lima orang cecunguk itu saja harus ayah yang turun tangan sendiri?” Kwa Sek Hong mengelus jenggotnya.

“Sudahlah, kalian tidak perlu ribut-ribut. Bee Lin, kau jangan sekali-kali meremehkan urusan dan memandang rendah kaum sesat di dunia kang-ouw. Memang untuk mengirim barang ini ke kota Kian-si, biasanya cukup kalau kau atau kakakmu yang mengawal, tidak perlu aku yang sudah tua turun tangan. Akan tetapi, keadaan sekarang amat berbeda. Kaum enghiong (orang gagah) yang menentang pemerintah, terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi. Sebaliknya, pemerintah juga mempunyai orang-orang berilmu untuk membantunya sehingga kini banyak bermunculan orang- orang pandai yang saling bertentangan, di satu pihak pro kaisar, di lain pihak anti kaisar. Mereka ini kadang-kadang amat membutuhkan biaya besar untuk perjuangan masing-masing, dan ada kalanya minta bantuan secara paksa !”

Tiba-tiba kakek ini menghentikan kata-katanya dan melompat bangun. Dua orang anaknya juga melompat berdiri karena dua orang muda itu sudah biasa menghadapi bahaya dan sudah maklum dengan kejutan dan siap. Entah dari mana munculnya, tahu-tahu di tengah-tengah rombongan piawsu ini muncul seorang pemuda tampan berpakaian serba putih yang amat sederhana, terbuat dari kain kasar dan murah. Pemuda itu bertangan kosong, berdiri tegak di situ dan menoleh ke kanan kiri. Rombongan piauwsu sudah bangkit berdiri semua sambil memandang penuh kecurigaan. Sebaliknya pemuda itu yang bukan lain adalah Kwan Bu, tampak tenang, tersenyum-senyum dan kemudian ia berkata.

“Siapa di antara kalian yang bernama Kwa Sek Hong, kepala dari rombongan piauwkok ini?”

“Bocah sombong, apa perlunya kau menyebut-nyebut nama kepala rombongan piauwkok?” Tiba- tiba tampak berkelebat bayangan yang gesit sekali dan Bee Lin sudah meloncat jauh dan tiba di depan Kwan Bu dengan sikap gagah menantang. Kwan Bu memandang kagum, tersenyum dan melihat gadis itu dari atas kepala sampai ke kaki, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

“Ah, tidak bisa jadi kalau nona ini yang berjuluk Macan Terbang, sungguhpun nona tadi telah bergerak terbang ke arah sini. Nona, aku mau bicara dengan Hui-hauw Kwa Sek Hong yang tinggal di kota Lui-si-bun. Aku telah mencari-carinya di kota itu akan tetapi mendengar bahwa dia memimpin rombongan menuju kota Kian-si, maka aku menyusul. Di manakah dia sekarang?”

“Apakah engkau mata-mata perampok?” bentak Bee Lin. Kwan Bu tersenyum lagi.

“Mungkin bukan dan mungkin juga benar! Biar orang tua she Kwa sendiri yang keluar, baru aku mau bicara. Bukankah dia seorang kakek berusia enam puluhan, bertubuh tinggi besar dan terkenal ahli golok dan ahli jarum! Kalau benar dia, harap keluar, jangan bersembunyi di balik punggung nona muda!”

“Bocah kurang ajar, sombong benar kau, harus dihajar!” bentak Bee Lin yang cepat melangkah maju dan menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah mulut Kwan Bu. Pemuda ini dapat melihat betapa kerasnya tamparan, yang tentu akan memecahkan bibirnya kalau sampai terkena. Teringatlah ia akan Siang Hwi yang sudah menamparnya sampai dua kali dan teringat akan ini, hatinya menjadi kesal dan marah. Ia menggerakkan kepala ke belakang sehingga tamparan itu luput kemudian secepat kilat kedua tangannya bergerak, yang satu menangkap tangan gadis itu yang kedua mengikuti,

Posting Komentar