“Bhe-taihiap, siapakah dia itu musuhmu?” Kwan Bu menggelengkan kepala dan mukanya menjadi muram.
“ltulah sukarnya, totiang. Saya sendiri tidak tahu siapa dia, tidak tahu siapa namanya, hanya mengetahui ciri-cirinya.”
“Taihiap beritahukanlah apa ciri-cirinya. Pinto akan membantu sedapatnya.” Kwan Bu mengerutkan alisnya yang hitam. Ia tidak ingin menarik orang lain dalam urusannya membalas dendam. Akan tetapi, ia merasa betapa sukarnya mencari musuh yang tidak diketahui namanya, tidak diketahui di mana tepat tinggalnya bahkan tidak diketahui apakah musuh itu masih hidup ataukah sudah mati. Memang agaknya seorang tokoh seperti tosu ini yang akan dapat membantunya, karena tosu ini mempunyai hubungan luas sekali di dunia kang-ouw.
“Terima kasih, tidak berani saya membikin capai orang lain dalam urusan saya ini. Hanya kalau sekiranya totiang suka dan tahu, saya ingin totiang memberitahu di mana kiranya di dunia kang-ouw ini terdapat tokoh besar yang jahat, seorang laki-laki tinggi besar, bercambang bauk yang usianya sekarang sekitar enam puluh tahun, dahulu menjadi kepala perampok, seorang ahli dalam bermain golok dan ahli pula senjata rahasia jarum.”
“Aahhh. ??” Tosu itu mengerutkan alisnya dan meraba-raba jenggot.
“Alangkah banyaknya tokoh seperti itu, yakni ahli golok yang tinggi besar, berusia enam puluh tahun. si Golok Emas baru berusia enam puluh tahun usiannya, si Golok Maut sudah enam puluh
lebih tinggi besar pula akan tetapi setahu pinto tidak pandai senjata rahasia jarum,”
“Hemmm Ada yang cocok. Tapi dia itu bukan perampok, malah sebaliknya, ia seorang piawsu
(pengawal barang kiriman).”
“Siapakah dia totiang? Dan di mana tempat tinggalnya, mungkin sekali dua puluh tahun yang lalu dia seorang perampok dan sekarang sudah menjadi piauwsu.” Tosu itu mengangguk-angguk.
“Mungkin juga ! Dia kepala perusahaan pengawal Macan Terbang, namanya Kwa Sek Hong tinggal
di kota Liu-si-bun. Dia sudah terkenal sebagai seorang ahli golok yang pandai, juga jarum-jarumnya membikin jerih hati para perampok. Orangnya tinggi besar dan usianya enam puluhan, julukannya Hui-hauw (Macan Terbang) dan karena julukannya itulah maka ia memakai nama perusahaannya Hui-hauw-piauw-kiok.” Kwan Bu girang sekali. Setidaknya ia sudah mendapat pegangan untuk memulai penyelidikan dan usahanya untuk membalas dendam ibunya. Ia mengangkat kedua tangan depan dada dan menjura.
“Banyak terima kasih atas keterangan totiang.”
“Tunggu dulu, taihiap!” Ya Keng Cu mengangkat tangan menahan ketika melihat pemuda itu hendak meninggalkannya. Kwan Bu menahan langkahnya dan tosu itu cepat berkata. “Bilamana tugas balas dendam taihiap telah terlaksana, maukah taihiap membantu perjuangan kami?” Kwan Bu mengerutkan keningnya, ia menghela napas ketika teringat akan cerita gurunya tentang perang yang tak kunjung henti antara “orang-orang atasan” yang saling memperebutkan kedudukan dan kemuliaan.
“Totiang, kalau saya harus berjuang menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, saya tidak akan menawar-nawar lagi dan memang untuk itulah saya bersusah payah mempelajari ilmu. Akan tetapi kalau untuk melibatkan diri ke dalam perang, maaf saya bukan termasuk golongan orang-orang yang berpamrih mencari dan mempertahankan kedudukan dan kemuliaan!”
“Siancai ! Taihiap salah menduga bahwa para pejuang memiliki pamrih untuk merebut kemuliaan
dan kedudukan. Sama sekali tidak demikian, taihiap. Para pejuang berjuang mati-matian demi rakyat jelata, demi mengakkan kebenaran dan keadilan, sama sekali bukan untuk memperebutkan kemuliaan!” Kwan Bu menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas lagi.
“Totiang, sejarah masih jelas mencatat segala peristiwa perang dan akibatnya. Perang hanyalah permainan orang-orang besar di atas belaka! Tiap kali mengobarkan perang, orang atasan selalu berdalih muluk-muluk seperti merobohkan raja Ialim, memperjuangkan nasib rakyat jelata, dan lain sebagainya sehingga termakan oleh rakyat yang tentu saja lalu mendukung dan membantunya, ikut berperang di garis paling depan. Mereka yang mengobarkan perang? Sama sekali tidak terancam nyawanya karena hanya membuka mulut meneriakkan perintah-perintah dan komando-komando kosong. Kalau sudah menang perang? Mereka orang-orang besar itulah yang mendapat pahala yang paling besar dan tercapai cita-cita mereka, menjadi orang berkedudukan mabok dalam kemuliaan duniawi. Pernahkah totiang mendengar adanya pejuang orang besar yang setelah perang berhasil menang lalu mengundurkan diri menjadi rakyat kembali? Tidak! Mereka itu saling berebutan antara teman sendiri, berebutan kemulian sebagai akibat kemenangan perang. Siapa yang menang dalam perang? Orang-orang besar! Siapa yang banyak tewas dan menderita selama perang? Rakyat kecil! Padahal tanpa adanya rakyat yang menjadi prajurit-prajurit kecil, mereka kaum atasan itu sama sekali tiada gunanya dalam perang! Tidak, totiang, saya tidak mau diperalat oleh mereka yang berambisi kedudukan dan kemuliaan, mereka yang selalu menempatkan diri di tempat aman, kalau menang menjadi mulia, kalau kalah perang sekalipun dan menjadi tawanan, orang-orang besar ini masih jauh lebih enak dibandingkan si kecil yang dibunuh seperti orang membunuh ayam saja!”
Kwan Bu berbicara dengan penuh semangat dan Koai-kiam Tojin Ya Keng Cu mendengarkan dengan mata terbelalak. Di dalam hatinya ia terpaksa harus membenarkan pendapat ini karena dengan kenyataan yang sudah memang demikianlah. Para pemimpin yang tadinya gembar-gembor menggerakkan rakyat dengan dalih demi kepentingan rakyat, setelah berhasil dan mabok kemenangan lalu melupakan rakyat yang tadinya menjadi alat sehingga cita-cita tercapai. Tentu saja ada satu dua orang pemimpin yang benar-benar berjuang untuk rakyat, namun dibandingkan dengan mereka yang memperalat rakyat demi kemuliaan pribadi, maka yang pejuang benar-benar ini tidak tampak lagi saking jarangnya! Ia mengelus jenggot dan menarik napas panjang.