Halo!

Dendam Si Anak Haram Chapter 30

Memuat...

Pertemuan tangan tadi benar-benar terasa hebat baginya, seolah-olah bekas pukulan lawan pada tangannya itu merupakan jarum-jarum yang menusuk-nusuk menembus ulu hati! Rasa nyeri bercampur malu membuat Sam-tho-eng Ma Chiang marah sekali. Hidungnya yang kecil akan tetapi yang lubangnya besar-besar itu berkembang-kempis tampak bulu hidungnya tersembul keluar dan bergerak-gerak pula, matanya dipelototkan mengeluarkan sinar berapi, mulutnya mendengus- denguskan hawa panas. Kedua tangannya bergerak dan... kini sarung tangan Eng-Jiauw-Kang (Cakaran Garuda) telah ia pakai di kedua tangannya. Jarang sekali Ma Chiang memakai senjata ini kalau tidak menghadapi pekerjaan penting atau lawan tangguh. Senjatanya ini terbuat dari baja itu selain kuat dan runcing, juga telah di rendam racun segala macam ular dan kalajengking yang ampuh!

“Bocah setan, kau mencari mampus sendiri...!” dengusnya sambil membenarkan sarung tangannya karena ketika mengenakan sarung tangan, kedua tangannya masih terasa nyeri berdenyut-denyut agak gemetar. Lagak dan sikap Ma Chiang kelihatan lucu dalam pandangan Kwan Bu sehingga tanpa disengaja ia menjadi geli dan tersenyum lebar.

“Ah, kiranya inilah keampuhanmu sehingga engkau berjuluk Garuda Kepala Tiga? Ma-busu, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, belum menetes setitik darahmu, kau sudah mengeluarkan senjatamu. Gagah benar..!”

“Cerewet !” Ma Chiang tidak kuasa menahan kemarahannya karena dalam keadaan seperti itu.

Maka ia lalu menubruk maju, menggunakan kedua tangan bertubi-tubi melakukan serangan dengan cengkeraman mematikan.

Kwan Bu cepat mengelak. Biar pun ia maklum bahwa tingkat kepandaian si muka tikus ini sudah amat tinggi, namun ia tidak gentar, dan ia yakin dapat mengatasinya. Orang ini terlalu sombong, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, terutama sekali terlalu percaya akan sepasang sarung tangannya sehingga kesombongan dan ketinggian hati ini membuatnya sembrono. Kwan Bu menggunakan ginkang, tubuhnya berkelebat menjauhi serangan lawan yang bertubi-tubi. Karena pemuda ini sengaja menarik muka ketakutan, Ma Chiang makin besar hatinya, menganggap bahwa lawannya yang muda itu tentu gentar menghadapi sepasang senjatanya yang ampuh. Siapa orangnya tidak gentar, pikirnya dengan kepala membesar bangga, karena senjatanya ini jangankan sampai merobek daging mematahkan tulang, baru menggores kulit saja cukup untuk membunuh lawan! “Ha-ha-ha, bocah kemarin sore. Kau hendak lari kemana sekarang?” Ma Chiang mengejek dan mendesak terus. Semua orang melihat pertandingan ini tersenyum, termasuk Liu Kong.

“Nah, bocah haram, kau rasakan sekarang,” pikirnya. “Baru sekarang kau bertemu tanding dan kau takkan mampu bersombong lagi!”

Kwan Bu maklum bahwa lawannya makin congkak dan makin sembrono. Ia datang dengan maksud membebaskan Bu Keng Liong dan Bu Siang Hwi secara damai. Ia tidak mau menggunakan kekerasan merampas tawanan, karena selain hal ini amat sukar melawan ketatnya penjagaan, juga ia tidak ingin bermusuhan dengan petugas-petugas kerajaan. Maka, mengingat pula bahwa Ciam Taijin hanya ingin menguji kepandaiannya, tidak perduli akan nafsu si muka tikus yang hendak membunuhnya, Kwan Bu tidak ingin membunuh lawannya. Kini ia melihat kesempatan baik setelah lawannya makin sombong. Ia sengaja berlaku lambat sehingga hampir saja sebuah cengkeraman mengenai pundaknya. Ia mengelak dengan cara membanting tubuh ke kiri, akan tetapi sengaja ia membikin kakinya terpeleset dan tubuhnya terguling!

“Ha-ha, mampuslah...!” Si muka tikus girang sekali dan menubruk tanpa perhitungan lagi. Memang, kalau tubuh Kwan Bu benar-benar terpeleset roboh, tentu tubrukannya sambil mencengkeram ini takkan terelakkan. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa roboh dan terpelesetnya Kwan Bu adalah buatan, sehingga tentu saja robohnya itu dalam posisi yang sudah diperhitungkan masak-masak. Begitu Ma Chiang menubruk, tiba-tiba Kwan Bu mengirim tendangan dengan tubuh masih rebah miring. Sebuah tendangan yang semestinya ditujukan ke bawah pusar dan sekaligus menewaskan lawan. Akan tetapi Kwan Bu hanya mengirim tendangannya ke arah kaki Sam-tho-eng Ma Chiang.

“Pletukkk...!!” Ma Chiang si Garuda Berkepala Tiga itu tiba-tiba mengangkat kaki kirinya yang tertendang menekuk lutut kaki itu dan memegang kaki dengan kedua tangan sedangkan kaki kanan berjingkrak-jingkrakan berputaran dan mulutya mendesis-desis seolah-olah seperti orang makan rujak yang terlalu banyak cabe rawitnya. Hanya mereka yang sudah pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang kaki keringlah yang akan dapat merasakan bagaimana nyeri, cekot- cekot, senat senut, dan kiut miut rasanya kaki kiri Sam-tho-eng Ma Chiang pada saat itu. Tulang keringnya tidak patah, akan tetapi justeru inilah yang membuat rasa nyeri setengah mati. Patah tidak, utuh pun tidak, rasanya seperti tulang kering itu digerogoti ribuan ekor semut api.

“Kau curang... addduududuuuhh...... kau curang...!” Si muka tikus yang makin berjingkrakan itu mengaduh-ngaduh dan memaki-maki.

“Omitohud... orang muda yang lihai!” tiba-tiba Kim I Lohan melangkah maju setelah mendapat isarat mata dari Ciam Taijin. Tangan hwesio ini memegang sebuah cawan terisi arak setengah penuh dan wajahnya berseri ketika ia menghampiri Kwan Bu yang masih berdiri tenang.

“Orang muda She Bhe yang gagah, pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh jarang ditemukan. Dengan kepandaianmu, Ciam Taijin menganggap kau patut menjadi seorang tamu, maka telah menyuruh pinceng (aku) menyambut dengan penghormatan secawan arak. Silakan menerima arak dan meminumnya!” sambil berkata demikian, hwesio itu menyodorkan cawan arak itu dan......

ternyata arak dalam cawan itu kini mendidih dan bergerak-gerak sampai ke bibir cawan.

Melihat ini, Kwan Bu tersenyum dan maklum bahwa hwesio Siauw-lim-pai ini sengaja mengujinya dengan pengerahan hawa lwekang yang amat tinggi, iapun cepat menahan napas mengumpulkan semua ginkang di tubuhnya, disalurkan ke lengan kanannya dan ketika menerima cawan arak, hawa dingin yang luar biasa tersalur melalui jari-jari tangan, menyelimuti cawan arak. Setelah menerima arak dan mengerahkan ginkang, ia lalu mengangkat cawan ke arah atas kepalanya, menuangkan cawan itu dan arak di dalam cawan tidak dapat tumpah karena arak itu telah membeku! Kwan Bu,

tertawa, lalu menyodorkan cawan kembali kepada Kim I Lohan sambil berkata,

“Maaf, losuhu. Arak suguhanmu terlalu dingin sampai membeku dan tak dapat diminum. Lagi pula, kedatanganku bukan untuk bertamu dan makan minum, melainkan untuk mohon keadilan dan kebijaksanaan Taijin.”

“Omitohud kau hebat, sicu!” Kim I Lohan menerima cawan itu dan mengundurkan diri.

“Wirrrr !” Angin yang dingin tajam menyambar dari samping, Kwan Bu terkejut dan menengok. Gin-

san-kwi Lu Mo Kok kini sudah berdiri di situ menggantikan Kim I Lohan. Kipasnya mengebut dari samping dan angin kebutan itu amatlah kuatnya. Tahulah Kwan Bu bahwa kakek bongkok ini memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada dua orang busu yang lain tadi, maka ia bersikap hati-hati.

“Bhe Kwan Bu, aku merobohkan Bu Keng Liong dengan kipasku ini, untuk merampasnya kembali, kau kalahkan kipasku ini!” Ucapannya belum habis akan tetapi kipas perak itu telah menyambar ke depan dan dalam segebrakan sudah mengirim serangan totokan ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian depan tubuh! Berturut-turut, dengan gerakan otmatis yang indah dan cepat sekali, Kwan Bu mengelak. Ketika ia berusaha membalas dengan pukulan kilat ke arah lambung kakek bongkok itu, Gin-san-kwi Lu Mo Kok sama sekali tidak menangkis, melainkan menggerakkan kipasnya menyambut pukulannya dengan totokan ke pergelangan tangannya yang memukul. Ia kaget dan kagum, terpaksa menarik kembali lengannya dan kembali ia harus mengelak ke sana ke mari. Tiba- tiba saat itu terjadi keributan di sebelah dalam gedung tikoan. Suara hiruk pikuk orang-orang berteriak-teriak dan suara senjata tajam beradu.

“Penjahat menyerbu !”

“Jaga tempat tahanan. !”

“Kaum pemberontak. !” Teriakan-teriakan ini cukup menyadarkan tiga orang busu itu bahwa yang

menyerbu adalah kaum anti kaisar dan maksud mereka adalah untuk menolong dua orang tawanan Bu Keng Liong dan puterinya. Adapun Ciam Taijin dan Lai-tikoan mendengar bahwa ada “kaum pemberontak” menyerbu, menjadi terkejut sekali dan buru-buru kedua orang pembesar ini menyelinap dan menghilang ke tempat persembunyian. Lu Mo Kok marah sekali,

“Bocah keparat! Kiranya engkau anggota pemberontak yang sengaja memancing, sedangkan kawan- kawan menyerbu tempat tahanan. Mampuslah!” Kakek bongkok itu menerjang dengan ganasnya, bahkan kini Kim I Lohan juga sudah menggerakkan tongkatnya yang berat. Angin pukulan tongkatnya menyambar ganas, membuat Kwan Bu terpaksa harus melompat tinggi karena kedua kakinya terancam.

“Harap jiwi tenang dan bikin mampus bocah ini, biarlah siawte yang mempertahankan orang-orang tawanan!” teriak Sam-tho-eng Ma Chiang yang sudah sembuh tulang kering kakinya. Tanpa menanti jawaban dari dua orang temannya itu,

Ma Chiang melompat dan berlari cepat ke arah gedung tikoan di mana masih terdengar kegaduhan orang-orang bertempur. Peristiwa ini mengejutkan hati Kwan Bu. Sungguh di luar dugaannya akan terjadi perubahan seperti itu. Kaum anti kaisar menyerbu? Ia sama sekali tidak tahu, apalagi bersekutu dengan mereka. Akan tetapi ia tahu bahwa membantah pun tidak akan ada gunanya karena dua orang busu yang mengeroyoknya dan tentu tidak percaya. Dari sudut matanya ia melihat betapa Liu Kong juga pergi dari tempat itu menyusul Sm-tho-eng Ma Chiang. Hatinya menjadi tidak enak. Apalagi, serangan tongkat kepala ular emas di tangan Kim I Lohan dan kipas perak di tangan Lu Mo Kok benar-benar tidak boleh dibuat permainan sama sekali. Dua orang ini lihai sekali dan serangan-serangan mereka merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang berbahaya.

“Singggg..........” Sinar merah darah berkelebat menyilaukan mata ketika Kwan Bu melolos Toat- beng-kiam dari pinggangnya. Karena hatinya ingin sekali menolong bekas majikannya dan keadaannya kini telah berubah, tidak mungkin lagi menolong dengan cara halus, terpaksa ia hendak menggunakan kekerasan.

Setelah kini terdapat kaum anti kaisar menyerbu, agaknya terbuka kesempatan baginya untuk menyelamatkan Bu Keng Liong, kalau perlu dengan kekerasan. Cepat ia menggerakan Toat-beng- kiam sambil mengerahkan tenaga. Sinar pedang merah darah itu bagaikan seekor naga merah bermain di angkasa, bergulung-gulung melibat tubuh kedua orang lawannya. Hebat bukan main ilmu pedang yang dimainkan Kwan Bu. Memang di antara murid-murid Pat-jiu Lo-koai, pemuda inilah yang paling baik bakatnya, dan karena inilah pula ditambah wataknya yang baik maka Pat-jiu Lo-koai menyerahkan Toat-beng-kiam, pedang pusaka keramat itu, kepada muridnya ini. Silau mata kedua busu itu. Mereka berusaha menggunakan kipas dan tongkat untuk melindungi tubuh dan balas menyerang, namun berkelebatnya pedang merah darah luar biasa cepatnya, sukar diikuti pandang mata.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment