“Sudah, aku tidak mau melayanimu lagi.” Liu Kong mencoba membujuk terus, namun sia-sia. Bahkan kini Sam-tho-eng Ma Chiang yang menaruh curiga telah mendekati mereka dan menegur sambil tertawa.
“Liu-sicu, kalau mereka ini membandel, jangan ingat lagi tentang hubungan guru murid atau paman keponakan. Tampar saja, habis perkara. Dia ini adalah tawanan! Tapi jangan kau sakiti si manis ini, heh-heh disayang dong. !”
Hati Liu Kong panas sekali, akan tetapi ia tidak berani menyatakan sesuatu dan dengan hati risau ia menjauhi ayah dan anak itu. Menjelang senja, rombongan ini tiba di kota Siang-he-koan dan langsung menuju ke kantor dan gedung pembesar setempat, di mana mereka disambut dengan hormat oleh para penjaga. Kiranya pembesar yang datang dari kota raja, yang menjadi atasan tiga orang busu itu, tingal di gedung tikoan ini. Pembesar itu adalah pengawal tinggi kehakiman dari kota raja yang mengepulai pemberantasan kaum anti kaisar. Dialah yang menjatuhkan hukuman- hukuman setempat, bahkan menjalankan pelaksanaan hukum tanpa minta pertimbangan ke kota raja lagi. Dan dengan kekuasaannya yang tinggi ini, Ciam-tai-jin (Pembesar Ciam) tentu saja mempunyai pengaruh yang amat besar,
Ditakuti semua pembesar setempat yang menyambutnya seperti menyambut kaisar sendiri. Ketika Ciam-Taijin mendengar atas penangkapan Bu Keng Liong dan puterinya, juga mendengar bahwa putera Liu Ti yang kini sudah dewasa ikut dan bersedia membantu perjuangan menumpas kaum anti kaisar, ia menjadi girang sekali. Segera pembesar yang pandai mengambil hati bawahannya ini mengadakan perjamuan untuk memberi selamat dan menyambut kedatangan Liu Kong. Ciam-Taijin menjamu tiga orang busu berikut Liu Kong di dalam taman rumah gedung tikoan, ditemani pula pembesar setempat itu yang amat menghormati tamu-tamunya. Tikoan ini seorang she Lai, gemuk pendek dan sikapnya terhadap atasan selalu merendah-rendah pandai menjilat, sebaliknya terhadap bawahan selalu menindas dan sewenang-wenang.
Memang selalu imbangan watak seorang penjilat, terhadap orang yang lebih kuat atau lebih berkuasa, ia menjilat-jilat dan orang yang bersikap seperti ini, tentu selalu menindas bawahannya. Biasanya Lai-tikoan ini hidupnya seperti seorang raja, menjadi orang yang paling berkuasa dan apa saja yang ia lakukan selalu mesti benar dan baik. Apa saja yang ia butuhkan selalu tercapai dan dilayani para hambanya yang banyak jumlahnya. Dari bangun tidur, mandi, bertukar pakaian, makan, sampai malam tidur kembali selalu dilayani, bukan hanya pelayan-pelayannya, juga selir-selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi sekarang, dalam taman bunga itu, dia lah yang merendah diri menjadi pelayan. Untuk mengambil muka dan hati Ciam-Taijin, ia rela mengoper tugas seorang pelayan, melayani Ciam-Taijin menjamu tiga orang busu dan orang muda she Liu.
Semua itu dilakukannya dengan gembira, dan biar pun ia sebagai tuan rumah dan menemani tamu- tamu agungnya makan minum, namun setiap kali ialah yang menyuguhkan arak, menghidangkan makanan dan lain-lain. Taman bunga itu cukup terang, karena selain tersinar cahaya bulan, juga diterangi lampu-lampu teng beraneka warna. Ciam-Taijin, Lai-tikoan, tiga orang busu dan Liu Kong duduk mengitari sebuah meja bundar yang besar dan hidangan-hidangan lezat dan panas mengepul silih berganti dikeluarkan oleh pelayan-pelayan wanita yang disambut oleh Lai-tikoan sendiri kemudian diatur di atas meja. Mereka akan minum sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Hanya Liu Kong seorang diam saja, karena hatinya memang merasa gelisah kalau teringat akan nasib pamannya dan sumoinya.
“Heh-heh-heh, Liu-sicu mengapa kelihatan muram? Apakah tidak senang telah dapat menggantikan ayahmu menjadi sahabat baik kami?” Ma Chiang yang sudah agak mabok ini tiba-tiba menegur. Semua mata memandang Liu Kong dan pemuda ini menjadi gugup.
“Tidak... tidak sama sekali. Hanya saja merasa tidak enak kepada siokhu. Dia itu pamanku, juga guruku..?”
“Liu-sicu tidak usah khawatir.” Kata Ciam-Taijin menghibur. “Kalau Bu Keng Liong besok mau mendengar bujukanku agar bekerja sama dengan kita, tentu dia bukan hanya akan dibebaskan, bahkan akan kuusahakan akan menjadi busu.”
“Heh-heh-heh! Betul sekali apa yang dikatakan Ciam-Taijin. Dan puterinya itu, biarlah malam ini aku yang membujuknya. Ha-ha, mari minum untuk keselamatan Taijin yang bijaksana!” Si muka tikus Ma Chiang mengangkat cawan dan sambil tertawa-tawa mereka semua minum arak termasuk Liu Kong.
“Ha, ha, mari kita minum secawan lagi untuk merayakan kemenangan kita atas keluarga pengkhianat sehingga dapat menawan Bu Keng Liong!” kini Ciam-Taijin yang mengangkat cawan. Wajah Liu Kong menjadi berubah pucat dan semua mata ditujukan padanya. Pemuda ini maklum bahwa pembesar itu mencoba kesetiaan hatinya, maka dengan hati amat berat dan menekan perasaanya ia mengangkat cawannya pula, ditempelkan ke bibir dan araknya sudah membasahi bibir. Pada saat itu, menyambar sebuah sinar putih yang amat kecil dan,
“Cringgg...!” cawan yang menempel di bibir Liu Kong itu pecah araknya tumpah dan berhamburan. Liu Kong terkejut dan meloncat bangun, demikian pula tiga orang busu dan Ciam-Taijin. Tikoan yang gemuk pendek itu sudah gemetaran tubuhnya saking kaget dan takut.
“Liu Kong sungguh aku tidak mengira bahwa kau benar-benar seorang yang tidak ingat budi!” Suara ini disusul munculnya Kwan Bu yang berpakaian putih sederhana. Yang memecahkan cawan di tangan Liu Kong tadi adalah sebatang jarumnya.
Dengan mahir pemuda ini main senjata rahasia jarum yang dahulu dilatihnya setiap saat sampai berhasil sehingga sebatang jarum saja mampu membuat pecah cawan arak di tangan Liu Kong tanpa melukai jari tangan pemuda yang meminumnya! Semua mata kini menengok dan memandang pemuda yang memasuki taman dengan langkah yang tenang. Diam-diam para busu terheran-heran bagaimana pemuda itu dapat masuk begitu enak dan tenangnya, seolah-olah taman itu adalah tempat tinggalnya sendiri dan tidak terjaga oleh banyak pengawal di sebelah luar! Kwan Bu maklum akan ketegangan yang mencekam hati enam orang yang kini berdiri di belakang meja menghadapinya itu. Akan tetapi ia tidak perduli melihat tiga orang busu itu meraba gagang senjata, sebaliknya dengan sikap tenang ia menghadap Ciam-Taijin dan menjura dengan sikap hormat.
“Saya bernama Kwan Bu dan harap banyak maaf dari Taijin kalau kedatangan saya yang tidak diundang ini mengganggu.” Kalau tadinya wajah Ciam-Taijin membayangkan kemarahan, kini berangsur-angsur hilang terganti oleh pandang mata yang tajam menyelidik disertai kekaguman. Ada sesuatu dalam diri pemuda ini yang mengagumkannya. Masih muda, tampan dan gagah. Memasuki taman yang penuh busu dan perajurit secara begini tenang. Keberanian yang amat luar biasa, dan sebagai pembesar yang berusaha membasmi kaum pemberontak yang banyak mempunyai orang- orang pandai, ia tentu saja bermata tajam dan suka akan orang-orang yang sekiranya dapat ia andalkan untuk jadi pembantunya.
“Eh, orang muda yang gagah dan lancang. Bagaimana kau berani datang ke sini tanpa di perintah dan apa kehendakmu?”
“Taijin, kedatangan saya ini adalah karena saya menghormati Taijin sebagai seorang hakim dari kota raja yang tentu saja memegang tinggi kebenaran dan keadilan, maka saya sengaja datang menghadap untuk mohon pengadilan paduka?”
“Hemm, ada urusan apakah yang mengganggumu sehingga malam-malam kau berani mengganggu kami yang sedang makan minum di sini?”
“Bukan lain ada hubungannya tentang penangkapan atas diri keluarga Bu di Kiancu, Taijin. Bu Keng Liong semenjak dahulu terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa sehingga di dunia kang-ouw dikenal dengan sebutan Bu Taihiap (Pendekar Besar Bu). Dunia belum pernah mendengar bahwa Bu Taihiap suka mencampuri urusan poilitik, tidak pernah menentang kerajaan, juga tidak menentang mereka yang anti kaisar. Berpegang teguh kepada sifat seorang pendekar sejati. Kalau sekarang paduka menangkapnya dengan tuduhan ia memberontak, sungguh-sungguh hal ini akan membikin penasaran hati seluruh orang gagah di dunia kang-ouw.” Sampai di sini, Ciam Taijin mendegarkan dengan hati tertarik. Akan tetapi tiba-tiba Liu Kong membentak, “Engkau bujang rendah, engkau anak haram! Siapa suruh engkau mencampuri urusan ini? Di mana- mana engkau mencari muka. Sungguh menjemukan!” Melihat Liu Kong menuding-nuding pemuda gagah itu dan memakinya bujang dan anak haram, Ciam Taijin dan tiga orang busu menjadi terheran- heran. Lai-tikoan yang kini sudah timbul kembali keberaniannya, buru-buru menenggak arak untuk menindas debaran jantungnya. Kwan Bu tersenyum ketika memandang Liu Kong, akan tetapi pandang matanya berkilat.
“Liu Kong, aku memang bekas pelayan keluarga Bu, dan mungkin benar pula bahwa aku seorang anak yang tak berayah. Akan tetapi itu semua belum lah menjadi ukuran bahwa aku adalah seorang manusia rendah diri dan tidak kenal budi seperti engkau! Bu-taihiap adalah gurumu sendiri, juga pamanmu, namun engkau tega membiarkan dia dan puterinya tertangkap, malah engkau minum arak untuk merayakan kehancuran keluarga Bu. Tak kusangka bahwa untuk mengejar cita-cita, karena besarnya nafsumu mengejar kedudukan engkau menjadi buta dan kejam!” Liu Kong hendak melompat dan menerjang Kwan Bu, akan tetapi Ciam-Taijin mencegahnya dengan kata-kata halus namun penuh mengandung pengaruh dan wibawa,
“Liu-sicu, mundurlah. Dia datang untuk menghadap kepadaku, jangan engkau mengeruhkan suasana.” Liu Kong menghentikan gerakannya dan terpaksa melangkah mundur. Ia harus membiasakan diri untuk mentaati semua kehendak dan perintah atasan kalau ia ingin berhasil dalam cita-citanya. Melihat ini, Kwan Bu tersenyum mengejek.