Dendam Si Anak Haram Chapter 27

NIC

“Bagus sekali! Wah engkau makin cantik seperti bidadari menari!” Siang Hwi marah. Siang-kiam di tangannya bergerak makin cepat, akan tetapi ternyata dengan mudah dapat di elakkan oleh Ma Chiang yang memiliki sinkang istimewa sehingga seolah-olah tubuhnya menjadi sehelai bulu yang ringan sekali.

la melayani Siang Hwi sambil tertawa-tawa mengejek dan kadang-kadang ia menggunakan tangannya yang nakal itu untuk menepuk pundak, mengelus dagu, dan mencoba untuk menyentuh dada Siang Hwi makin marah, mukanya menjadi merah sekali, matanya seperti mengeluarkan api dan pedangnya merupakan cengkeraman maut. Pertandingan berjalan dengan amat serunya, akan tetapi hanyalah Lu Mo Kok yang dikeroyok suami isteri Bu itu saja yang dapat bertanding dengan ramai dan berimbang keadaannya. Dua pertandingan yang lain hanya merupakan main-main belaka karena Kwee Cin dan Siang Hwi sama sekali bukanlah lawan dua orang busu yang berilmu tinggi itu. Liu Kong menjadi kebingungan.

“Tahan......! Tahan......! Harap sam-wi suka menghentikan pertempuran! Orang sendiri tidak perlu bertempur!” Berkali-kali pemuda itu berusaha melerai dan berteriak-teriak, akan tetapi pihak keluarga Bu makin ganas menerjang, bahkan Bu Keng Liong dengan suara marah memaki. “Liu Kong manusia tak tahu malu! Jangan banyak mulut! Kalau kau mau mengkhianati guru, kau majulah sekalian menjadi lawan kami!” Pada saat itu, terdengar suara keras pedang Kwee Cin terlempar jauh disusul robohnya pemuda ini yang kena pukul paha kirinya oleh tongkat Kim I Lohan. Setelah merobohkan Kwee Cin, Kim I Lohan membantu Lu Mo Kok, tongkatnya menyerampang kaki nyonya Bu yang cepat-cepat melompat tinggi.

Setelah kini melawan satu sama satu, Bu Keng Liong dan isterinya terdesak hebat. Pedang Bu Keng Liong memang ampuh dan hebat, akan tetapi menghadapi kipas di tangan Lu Mo Kok mendesak dan ketika kipasnya menotok lalu tiba-tiba terbuka dan mengibas ke arah muka Bu Keng Liong, pendekar itu cepat berusaha menangkis sambil membacok lengan lawan. Akan tetapi Lu Mo Kok tertawa dan tangan kirinya menyambar tepat menghantam lambung Bu Keng Liong yang berseru perlahan dan terguling roboh. Hampir berbareng tongkat Kim I Lohan juga sudah memukul pundak nyonya Bu Sehingga nyonya ini roboh pula dengan tulang pundak patah! Siang Hwi dipermainkan oleh Ma Chiang. Sampai pening-pening kepala Siang Hwi menyerang orang kurus bermuka tikus yang amat lihai itu.

“Nona, menyerahlah, aku tidak tega melukaimu seperti yang lain-lain.” Kata Ma Chiang, suaranya merayu.

“Jahanam, lebih baik mati daripada menyerah!” bentak Siang Hwi dan sepasang pedangnya kembali menyerang. Akan tetapi tiba-tiba kedua pedangnya itu terhenti gerakannya dan ketika ia memandang, ternyata kedua pedangnya telah kena dicengkeram oleh sepasang senjata cakar yang tahu-tahu telah berada di tangan Ma Chiang. Senjata cakar ini adalah sepasang sarung tangan yang ujungnya merupakan kuku-kuku runcing. Inilah senjata kuku garuda yang amat hebat, bukan hanya dapat menahan senjata tajam lawan, juga dapat digunakan untuk mencengkeram tubuh lawan dengan kuku-kuku baja itu! Siang Hwi berusaha menarik kembali dua pedangnya, namun tidak dapat terlepas dari tangan Siang Hwi! Gadis ini tidak mau menyerah. Melihat kedua orang tuanya dan Kwee Cin sudah roboh, ia marah dan nekat. Dengan tangan kosong ia maju menerjang.

“Ha-ha-ha-ha, kau cantik jelita, manis dan juga penuh semangat!” Ma Chiang berkata sambil tertawa bergelak, melepas kedua sarung tangannya dan menyambut dua tangan gadis itu yang tahu-tahu telah dapat pula ditangkapnya. Mereka berkagetan dan Ma Chiang mendekatkan mukanya, hendak mencium muka gadis itu. Muka mereka berdekatan dan Ma Chiang tertawa sambil mendengus- dengus,

“Wah, Wangi...! Wangi...!”

“Locianpwe, harap jangan mengganggu sumoi...!” tiba-tiba Liu Kong yang mencinta Siang Hwi tidak tahan menyaksikan keadaan ini. Ma Chiang tertawa menoleh kepadanya, tangannya melepaskan Siang Hwi, bergerak cepat dan tiba-tiba tubuh Siang Hwi menjadi lemas dan lumpuh terkena totokannya yang lihai. Gadis itu roboh pula dan tak dapat bergerak. Liu Kong yang melihat betapa gurunya, sute dan sumoinya sudah roboh semua dalam waktu yang singkat itu, menjadi kaget dan juga kagum. Rekan-rekan ayahnya ini benar-benar lihai bukan main, mungkin jauh sekali lebih lihai daripada Ya Keng Cu dan teman-temannya yang menyerbu kemarin. Ia cepat memberi hormat dan berkata.

“Saya suka ikut bersama sam-wi, akan tetapi harap jangan mengganggu keluarga suhu di sini. Saya berani tanggung bahwa suhu sekeluarga bukanlah kaum pemberontak, juga sama sekali tidak ada hubungan dengan orang-orang anti kaisar.” “Omitohud..., tidak bisa begini mudah! Orang she Bu ini sudah terang melawan kami, dan sikapnya seperti pemberontak. Dia harus dibawa ke kota raja menanti keputusan pengadilan di sana apakah dia termasuk pemberontak atau bukan. Kalau kelak dia mau merobah sikapnya yang keras kepala, mungkin sekali dia dibebaskan...!!” kata Kim I Lohan.

“Heh-heh, bener ucapan Kim I Lohan. Juga anak gadisnya yang galak ini harus dijadikan tanggungan. Kalau kelak dinyatakan bersih, tentu dapat menjadi sahabat-sahabat. Kalau sebaliknya, hemm biar

diserahkan kepadaku!” Ucapan Ma Chiang yang memandang tubuh Siang Hwi dengan mata penuh nafsu itu membuat Liu Kong diam-diam marah sekali. Akan tetapi ia tidak berani menyatakan kemarahannya, hanya membantah.

“Sudah ada saya yang menanggung mereka, apakah masih belum cukup?” Tiba-tiba Lu Mo Kok melangkah maju dan membentak,

“Orang muda she Liu! Baru saja menyatakan hendak melanjutkan perjuangan ayahmu, akan tetapi belum apa-apa sudah berani membantah kami! apa yang dikatakan kedua rekanku ini tepat sekali. Bu Keng Liong dan puterinya menjadi tawanan dan harus ikut bersama ke kota raja. Biarlah ditentukan oleh penguasa yang berhak memutuskan. Kalau memang dianggap tidak bersalah, besok pun akan dibebaskan karena atasan kami menanti tidak jauh dari sini.” Lu Mo Kok memberi isarat kepada perwira dan beberapa orang perajurit lalu membelenggu kedua tangan Bu Keng Liong ke belakang. Juga kedua tangan Siang Hwi dibelenggu, barulah dia dibebaskan daripada totokan. Sampai di sini Thio Sam, tukang kebun keluarga Bu itu bercerita. Dengan muka sedih ia lalu mengakhiri ceritanya.

“Demikianlah Kwan Bu..., eh Siauw Hiap thai-ya dan siocia diborgol dan digiring pergi oleh mereka

itu. Liu kongcu juga pergi bersama mereka dengan menundukkan muka. Kami semua sibuk menolong hujin dan Kwee kongcu, yang terluka masuk ke dalam rumah. Bu-Hujin menangis terus dan kami semua bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya saya pergi menyusul Siauw Hiap di sini.”

“Siapa yang menyuruhmu lopek? Apakah Bu hujin?”

“Bukan. Baik Bu-hujin maupun Kwee kongcu tidak menyebut-nyebut namamu, akan tetapi aku teringat bahwa dahulu kau dan ibumu tinggal di kuil Kwan-im-bio. Maka aku lalu cepat menyusul dan untung dapat bertemu denganmu di sini.” Kwan Bu mengangguk-angguk.

“Tenangkan hatimu, lopek. Sekarang juga aku akan mengejar mereka dan berusaha menolong mereka” Thio Sam yang amat setia kepada majikannya itu girang sekali, cepat menghaturkan terima kasih sambil menjura. Akan tetapi ketika mengangkat mukanya, ternyata pemuda itu telah lenyap dari depannya!

Hati Liu Kong bingung sekali. Tadinya ia merasa girang bahwa kini tiba saat dan kesempatan baginya untuk meningkatkan nama dan mencari kedudukan sesuai dengan keadaan dirinya sebagai putera Liu Ti yang menjadi orang kepercayaan kaisar dalam usaha membasmi para pemberontak. Akan tetapi, kini melihat paman atau gurunya menjadi tawanan, terutama sekali Siang Hwi, hatinya gelisah dan bingung sekali. Lebih-lebih kalau melihat Siang Hwi, gadis yang di cintanya. Ia tahu bahwa Sam-tho-eng Ma Chiang si muka tikus tua Bangka itu tergila-gila dengan Siang Hwi dan kalau saja tidak ada dia di situ, tentu gadis itu akan diganggunya. Dan ia tidak dapat menjamin lagi bagaimana sikap kakek muka tikus itu kalau nanti ternyata bahwa gurunya dan sumoinya dianggap bersalah oleh pendekar yang memutuskannya. Tentu akan celakalah sumoinya di tangan Ma Chiang yang kelihatannya seperti seekor anjing yang kelaparan melihat segumpal daging segar. Dalam perjalanan menuju ke timur itu, Liu Kong yang tadinya bingung, mendapat akal, ia berjalan perlahan menjajari ayah dan anak yang terbelenggu dan berjalan sambil menundukkan muka.

“Siokhu (paman) !” Bu Keng Liong yang merasa muak dan marah sekali terhadap keponakannya ini

menoleh pun tidak.

“Siokhu ,” kembali Liu Kong berkata. Bu Keng Liong tidak menjawab, akan tetapi Siang Hwi yang kini

menoleh, memandangnya dengan mata berapi dan menghardik.

“Engkau mau apalagi mengganggu ayah, orang pengecut dan khianat?” Kecut-kecut muka Liu Kong.

“Siokhu, dan sumoi, dengarlah baik-baik. Sungguh mati aku bukan seorang manusia penakut dan pengecut, apalagi hendak mengkhianati kalian. Siokhu tentu maklum bahwa aku tidak berdaya untuk menggunakan kekerasan, apa lagi mereka ini semua adalah rekan-rekan mendiang ayah. Siokhu, saya mempunyai jalan baik untuk menolong kalian..?” Bu Keng Liong tidak menoleh berkata,

“Aku tidak butuh pertolonganmu..?” Liu Kong merasa terpukul dan menggigil bibirnya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan berbisik lagi.

“Siokhu, tentu siokhu maklum akan perasaan hatiku terhadap sumoi. Saya lihat bahwa keadaan sumoi terancam bahaya mengerikan. Jalan satu-satunya, kalau siokhu ingin menolong puterimu, adalah menjodohkan sumoi dengan saya hanya dengan jalan inilah maka siokhu dan sumoi dapat

terlepas dari bahaya. Sebagai isteri saya dan ayah mertua saya, tentu akan mendapat keringanan.”

“Tidak sudi...! Tidak sudi...! Tidak sudi...!” Siang Hwi menangis, menundukkan mukanya. Bu Keng Liong menghela napas panjang.

“Kong-ji, aku tidak menyalahkan kau bahwa kau tidak dapat menolong kami dengan kekerasan karena memang kau bukan lawan mereka. Akan tetapi... ah, aku jauh lebih senang melihat kau menggeletak mati di sana tadi daripada melihatmu terbujuk dan kau mengikuti jejak ayahmu !

Tentang perjodohan, dahulu mungkin sekali aku pertimbangkan, akan tetapi sekarang tidak

mungkin lagi. Biarlah kami berdua mati kalau memang tidak ada jalan lain.” “Siokhu !”

Posting Komentar