Dendam Si Anak Haram Chapter 26

NIC

“Bagus! Engkau menyerahlah, Bu Keng Liong, dari pada harus menggunakan kekerasan menangkapmu!” Berdiri alis Bu Keng Liong. Sesabar-sabarnya pendekar ini, dia adalah seorang gagah yang tidak mau dihina begitu saja. Ia mengangkat dada, memandang tajam dan suaranya tegas dan bengis ketika ia membentak. “Ciangkun! Engkau ini seorang perwira akan tetapi mengapa begini tidak tahu aturan? Biarpun engkau seorang perwira atau pembesar sekalipun, tidak berhak untuk menangkap orang begitu saja tanpa alasan! Aku Bu Keng Liong selamanya tidak pernah berurusan dengan kerajaan, tidak pernah melakukan pelanggaran ataupun kejahatan! Karena itu, bagaimana aku harus menyerah begitu saja untuk ditangkap? Apakah untuk menangkapku engkau punya perintah dari kaisar? Mana surat perintah itu?” Perwira itu kesima. Selama ia menjadi perwira siapa saja didatanginya untuk ditangkap, siang-siang sudah menggigil lututnya dan menyerah begitu saja tanpa membantah. Ia sudah terlalu biasa diturut kehendaknya oleh rakyat yang tidak ada seorang pun berani membantah dan melawanya. Biasanya, ia bilang hitam,bilang putih-putih! Akan tetapi sekarang, dia dibantah dengan ucapan yang berani dan memang benar! Karena itu ia kesima dan tidak dapat menjawab.

“Heh-heh-heh, untuk menangkap seorang komplotan pemberontak memang tidak perlu ada surat perintah langsung dari Sribaginda!” tiba-tiba tedengar kakek bongkok berkata sambil mengebut- ngebut tubuhnya dengan sebuah kipas. Kipas ini terbuat dari sutera putih yang diberi lukisan gunung dan sungai, serta dihias dengan tulisan indah. Gagangnya terbuat daripada perak murni, putih mengkilap dan diukir-ukir indah pula, dengan kedua ujung gagang meruncing. Bu Keng Liong mengerutkan kening dan kini menghadapi tiga orang kakek itu yang berdiri tenang dan tersenyum- senyum. Ia maklum bahwa mereka ini sengaja datang untuk mencari keributan. Namun ia tahu gelagat dan tidak bersikap sembrono. Ia menjura dengan hormat dan bertanya.

“Sebelum kita bicara tentang itu, bolehkah saya mengetahui siapa gerangan sam-wi (tuan bertiga) ini?” Kembali si bongkok tertawa sehingga matanya yang sipit menjadi makin sipit seperti dipejamkan.

“Ha-ha-ha. Bu Keng Liong. Engkau yang terkenal sebagai seorang tokoh kang-ouw yang sudah ulung. Masa tidak mengenal kami? kami adalah tiga orang busu dari kerajaan, dan keadaan kami saja sudah cukup menjadi bukti bahwa Sribaginda sudah menyetujui akan penangkapan atas dirimu. Kau pandang aku baik-baik dan kalau masih belum dapat kau mengenalku sudahlah, mungkin kau yang terlalu picik.” Bu Keng Liong memandang penuh perhatian. Tiba-tiba perhatiannya tertarik akan kipas itu. Kipas bergagang perak! Ah, tentu saja! Biarpun ia belum pernah berjumpa dengan orangnya, namun nama besar busu kerajaan ini sudah pernah didengarnya. Namanya Lu Mo Kok, dengan julukan Gin-san-kwi (Iblis Kipas Perak), seorang diantara busu-busu kelas satu di kerajaan.

“Ah, kalau tidak salah, tuan ini adalah busu Lu Mo Kok yang berjuluk Gin-san-kwi!”

“Ha-ha-ha-ha, ternyata matamu masih belum buta, Bu Keng Liong! Karena engkau mengenalku, biarlah kuperkenalkan kedua orang temanku ini. Mereka berdua juga busu-busu kerajaan, saudaraku ini adalah, Sam-to-eng (Garuda Berkepala Tiga), Ma Chiang (Kakek Berbaju Emas) yang terkenal dengan julukannya Kim-coa-pang (Tongkat Ular Emas).” Diam-diam Bu Keng Liong terkejut bukan main. Dia pernah mendengar pula nama julukan dua orang ini yang tidak kalah terkenalnya daripada julukan si bongkok. Tiga orang ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi sekali dan sudah terkenal kejam menurunkan tangan maut apabila berhadapan dengan para tokoh anti kaisar. Akan tetapi pendekar ini dapat bersikap tenang karena tadi ia bahwa ia dituduh komplotan pemberontak dan tentu saja hal ini sama sekali tidak benar, bahkan baru kemarin hampir saja keluarganya terbasmi oleh kaum anti kaisar! Ia tersenyum kata berkata.

“Ah kiranya sam-wi adalah busu-busu kerajaan yang terkenal di dunia kang-ouw. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa sepagi ini sam-wi sudah datang mengunjungi pondok kami yang butut. Hendaknya sam-wi suka menjelaskan, apakah sesungguhnya maksud kedatangan cuwi sekalian ini?” Tiba-tiba sikap Gin-san-kwi Lu Mo Kok berubah bengis matanya yang sipit melotot dan suaranya ketus. “Bu Keng Liong, tidak perlu banyak cakap lagi. Berlututlah dan menyerahlah!” Hilang kesabaran Bu Taihiap. Ia mengangkat dada, menentang pandang kakek bongkok itu dan menjawab.

“Lu-busu tadi aku dituduh komplotan pemberontak. Alangkah menggelikan dan itu hanyalah fiktif belaka. Harap kalian tidak begitu bodoh melakukan tindakan sembrono dan selidikilah dahulu perkaranya sebelum menjatuhkan fitnah keji.”

“Ha-ha-ha, Bu Keng Liong. Engkau hendak menyangkal? Sudah jelas sekali, bukankah kemarin engkau merayakan pesta shejitmu dan bukanlah di sini datang buronan kami? beranikah engkau menyangkal bahwa Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu Ban-eng-kiam Yo Ciat dan Koai-Kiam-Tojin Ya Keng Cu datang ke sini?” Bu Keng Liong menjawab, suaranya masih marah,

“Tidak kusangkal! Mereka itu memang datang ke sini bersama dua orang sahabat mereka yang lain.”

“Hemm! Kalau mereka itu bukan komplotanmu, mau apa mereka datang. Tentu telah kau undang mereka,” kata pula Lu Mo Kok.

“Siapa mengundang mereka? Mereka datang dengan maksud hendak menangkap dan membunuh keponakanku, Liu Kong putera Liu Ti yang tentu kalian telah mengenalnya. Kami melawan dan hampir terjadi bentrokan senjata.”

“Ha-ha-ha! Bu Keng Liong, tidak perlu kau berusaha menipu kami. apa kau kira kami tidak mempunyai mata-mata? Keponakanmu itu tidak mereka tangkap, bahkan tidak terjadi pertandingan antara kalian dengan mereka, bukankah engkau sudah bersahabat dengan mereka dan permusuhan dihabiskan? Justru karena inilah kami datang untuk menangkapmu dan membujuk Liu Kong ke kota raja. Kami tidak menghendaki putera Liu Ti sahabat kami itu kau seret menjadi anggota pemberontak!” Pada saat itu, dari dalam muncul berlarian nyonya Bu bersama Siang Hwi, Kwee Cin dan Liu Kong. Ucapan terakhir Lu Mo Kok ini terdengar oleh mereka ini dan Liu Kong segera melompat ke depan, pedangnya sudah tercabut melintang di depan dada. Sikapnya gagah ketika ia menghadapi tiga orang kakek itu sambil berkata.

“Siapa menyebut nama mendiang ayahku? Akulah Liu Kong putera Liu Ti, kalau cuwi datang untuk berurusan dengan Liu Kong, harap tidak menyangkut orang lain, akulah orangnya!” Tiga orang kakek itu saling pandang dan tersenyum dengan muka berseri.

“Omitohud...!” Kim I Lohan berseru sambil menggerak-gerakan tongkatnya. Sungguh tidak kecewa Liu-sicu yang gagah perkasa?” Lu Mo Kok melangkah maju menghampiri Liu Kong lalu berkata,

“Orang muda, ketahuilah bahwa mendiang ayahmu adalah sahabat dan rekan kami, karena itu, kewajibanmulah sebagai puteranya meneruskan perjuangannya membela negara, membasmi para pemberontak dan pengkhianat. Marilah kau ikut bersama kami dan roh ayahmu tentu akan berbahagia menyaksikan putera tunggalnya dapat menjunjung tinggi nama orang tua, hidup sebagai seorang pahlawan di kota raja.” Mendengar ini, Liu Kong ragu-ragu dan menyarungkan pedangnya, kemudian mengangkat kedua tangan depan dada. “Ah, kiranya sam-wi adalah sahabat-sahabat dan rekan-rekan mendiang ayah? Kalau sam-wi datang tidak bermaksud buruk kepada saya, tentu saja saya tidak memusuhi sam-wi. Terimalah hormat saya seorang muda yang bodoh.”

“Kong-ji...!” Bu Keng Liong membentak, “Ingatlah kau bahwa kau adalah muridku dan kau sudah berjanji untuk tidak mengikatkan diri kepada permusuhan kerajaan.” Berubah wajah Liu Kong mendengar teguran pamannya ini dan ia melangkah mundur lagi. Wajahnya keruh dan pandang matanya ragu-ragu, agaknya ia tidak tahu bagaimana harus mengambil keputusan. Ia takut dan taat kepada pamannya yang juga menjadi gurunya. Sebaliknya ia tertarik kepada para busu dari kota raja ini. Bukankah mereka adalah rekan-rekan ayahnya? Dan tentu saja ingin menjadi seperti ayahnya!

“Ha-ha-ha, sekarang kelihatanlah belangnya Bu Keng Liong! Engkau melarang putera sahabat kami melanjutkan kegagahan ayahnya. Ini berarti engkau berpihak kepada para pemberontak, Bu Keng Liong, engkau menyerahlah dan ikut bersama-sama kami ke kota raja!”

“Aku tidak sudi menjadi kaki tangan siapapun juga!” Bu Taihiap membentak marah. Isterinya juga sudah meloncat di sampingnya, siap dengan senjata pedang di tangan. Kwee Cin juga telah mencabut senjata, demikian pula Siang Hwi. Hanya Liu Kong yang berdiri bingung.

“Bagus! Dasar berjiwa pemberontak. Kalian hendak melawan? Ha-ha-ha!” Lu Mo Kok sudah menerjang maju menggerakan kipasnya yang tadi ia pakai mengebut tubuhnya. Terdengar desir angin keras ketika gagang kipas itu menotok ke arah leher Bu Keng Liong. Pendekar ini sudah siap, cepat mengelak ke kiri. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ujung kipas itu bagaikan bermata, terus mengikuti dan mengancam lehernya. Ia terpaksa menggulungkan dirinya ke atas tanah, terus bergulingan sampai jauh baru melompat ke atas sambil mencabut pedang. Sementara itu, nyonya Bu yang tadi melihat suaminya terancam bahaya, sudah menerjang Lu Mo Kok dengan pedangnya. Akan tetapi hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan ketika kipas di tangan Lu Mo Kok menangkisnya.

“Ha-ha-ha, benar-benar berani melawan?” Si Iblis Berkipas Perak itu tertawa mengejek, suami-isteri Bu cepat menerjangnya dan dalam sekejap mata saja ia sudah dikeroyok suami isteri ini. Siang Hwi dan Kwee Cin cepat menerjang maju untuk membantu guru mereka. Akan tetapi tiba-tiba pedang Kwee Cin terbentur dengan sebatang tongkat dan tangannya menjadi setengah lumpuh. Kiranya pedangnya ditangkis oleh tongkat di tangan hwesio berjubah emas. Terpaksa ia melayani hwesio ini sambil memutar pedangnya dengan cepat.

“Aduh-aduh......... cantik jelita! Tentu engkau ini puteri Bu Keng Liong yang tersohor. Bagus, nona manis, memang engkau cocok sekali untuk bermain-main dengan aku, ha-ha-ha!” Melihat bahwa Sam-tho-eng Ma Chiang menghadangnya, Siang Hwi marah sekali, apalagi mendengar ucapan yang tidak sopan itu. Pedangnya berkelebat menjadi sepasang naga bermain-main di angkasa.

Posting Komentar