“Hamba tahu, dan tidak besok pagi, thai-ya, malam ini juga hamba harus pergi bersama-sama “
“Kwan Bu...! Kwan Bu...!” Yang berteriak ini adalah Bhe Ciok Kim yang bangun dari tidurnya dan mencari puteranya.
“Selamat tinggal, thai-ya dan budi thai-ya terhadap ibu dan hamba, takkan hamba lupakan selamanya. Selamat tinggal, siocia dan......... harap siocia sudi memaafkan kelancanganku tadi !”
Tanpa menanti jawaban, Kwan Bu berkelebat lenyap, memasuki kamar ibunya. Ia mengumpulkan pakaian ibunya, melompat keluar dan berkelebat lenyap di tengah malam meninggalkan gedung keluarga Bu di mana sejak kecil ia tinggal di situ. Setelah Kwan Bu pergi meninggalkan taman bunga tadi, Bu Keng Liong masih berdiri dan berkali-kali menarik napas panjang.
“Sayang !” Akhirnya ia berkata perlahan.
“Sayang Pat-jiu Lo-koai yang sakti itu hanya memperhatikan kulit, tidak memperdulikan isi.” Siang Hwi, Liu Kong, dan Kwee Cin masih berdiri di situ menghadap Bu Taihiap. Tiga orang muda ini dengan gejolak perasaan masing-masing mendengarkan.
“Kalian bertiga tidak boleh mendendam kepadanya, karena betapapun juga, Kwan Bu telah berjasa besar terhadap keluarga kita. Bahkan kalian harus melihatnya sebagai contoh betapa kepandaian hanyalah merupakan kulit atau pakaian belaka, hanya alat untuk mencapai tujuan. Adapun yang menentukan tujuan adalah batin manusia. Karena itulah yang terpenting dari segalanya adalah melatih batin sehingga tetap bersih, karena batin yang bersih tentu akan melahirkan perbuatan- perbuatan yang bersih pula. Sebaliknya, batin yang kotor tentu akan menimbulkan perbuatan- perbuatan kotor. Ilmu pengetahuan dan kepandaian yang hanya merupakan alat, akan menjadi bersih atau kotor, sesuai dengan keadaan batinnya. Kwan Bu telah menerima gemblengan ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi sayang, agaknya Pat-jiu Lo-koai yang terkenal sakti seperti dewa itu tidak memperdulikan pendidikan batin sehingga pemuda yang memiliki ilmu tinggi itu mudah terseret gelombang nafsunya. Mudah-mudahan saja pengalaman akan menjadi guru baginya dan akan merobahnya, sehingga dapat diharapkan dari kepandaiannya yang tinggi itu akan timbul perbuatan-perbuatan gagah perkasa dan adil.” Mendengarkan wejangan Bu Taihiap, hanya Kwee Cin saja yang menerimanya dengan wajar, sesuai yang diinginkan gurunya.
Hal ini adalah karena Kwee Cin tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Kwan Bu. Pemuda ini mengangguk-angguk dan membenarkan wejangan suhunya. Akan tetapi berbeda dengan penerimaan Liu Kong. Pemuda ini sudah mempunyai pendapat sendiri terhadap diri Kwan Bu. Sungguh pun mulutnya tidak berani membantah suhunya atau pamannya, namun di hati ia tidak setuju. Tak mungkin ia tidak mendendam kepada Kwan Bu yang telah menyeretnya ke dalam lumpur kehinaan siang tadi, yang telah mengecilkannya menjadi seorang yang tidak berarti. Kemudian, betapa Kwan Bu hendak merampas hati Siang Hwi. Wanita yang dicintainya sepenuh jiwaraga! Ia membenci Kwan Bu, dan selamanya tidak akan dapat menjadi sahabat. Apa lagi dengan adanya kenyataan bahwa Kwan Bu adalah seorang anak haram!
Betapapun mungkin dia, putera dari pahlawan kerajaan besar Liu Ti, yang menjadi orang kepercayaan kaisar sendiri, seorang bangsawan besar, dapat bersahabat dengan seorang bujang pelayan yang terlahir sebagai anak haram pula! Atau siokhunya (pamannya) terlampau berat untuk ditaati. Lain pula yang berkecamuk di hati Siang Hwi. Hati dara ini seperti dilanda badai. Ia masih tidak dapat mempergunakan pikirannya dengan baik karena hatinya masih bergelora. Ia tahu betul bahwa ia tertidur di atas pangkuang Kwan Bu tanpa ia sengaja, juga bukan kesalahan Kwan Bu. Adapun tentang ciuman itu...... masih berdebar jantungnya kalau ia kenangkan. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami hal seperti itu, bahkan dalam mimpi pun tak pernah! Ia tidak tahu apakah ia membenci Kwan Bu atau tidak dengan perbuatannya itu.
Yang jelas, ia bisa mati saking malu kalau diketahui orang lain bahwa ia telah dicium mulutnya begitu mesra oleh Kwan Bu dan terutama sekali bahwa ia seperti dalam mimpi membalas ciuman itu dan merangkul leher Kwan Bu, walaupun hanya beberapa detik lamanya. Memalukan! Ah, ia tadi telah menjatuhkan fitnah kepada Kwan Bu, akan tetapi... hanya itulah jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari pada aib dan dari pada kemarahan ayahnya. Ia tidak tahu, tidak bisa berpikir lagi, hanya girang bahwa ia telah bebas dari pada ancaman keadaan yang memalukan. Dengan mengorbankan nama baik Kwan Bu. Biarlah, bukankah Kwan Bu memang sudah ditempel oleh aib dan noda? Anak haram, kalau hanya ditambah sedikit perbuatan kurang ajar terhadap seorang gadis, tidaklah menambah noda namanya.
“Kwan Bu..., ehh...Siauw Hiap (pendekar muda)... kau... kau tolonglah...!” Kwan Bu menghentikan langkahnya, memutar tubuh memandang orang yang memanggil-manggil dan kini berlari datang mengejarnya itu. Ia mengenal orang itu. Thio Sam, seorang pelayan tua di gedung Bu Taihiap, seorang tukang kebun. Tentu saja mengenalnya, karena Thio Sam ini adalah rekannya, sama-sama menjadi pelayan di gedung keluarga Bu.
“Eh, Thio lopek (paman tua Thio), ada apakah?” tanyanya heran. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa tidak ada urusan apa-apa lagi antara dia dengan keluarga Bu, apalagi dengan tukang kebunnya ini. Beberapa hari yang lalu, malam-malam ia meninggalkan gedung keluarga Bu dan mengajak ibunya ke kuil Kwan-im-bio, di luar kota Kwi-cun, di sana ia dahulu dilahirkan dan dibesarkan sampai ia dibawa oleh ibunya ke rumah keluarga Bu. Cheng In Nikouw, ketua kuil itu telah meninggal dunia, akan tetapi ketuanya yang baru adalah seorang nikouw dari kuil itu juga dan menerima kedatangannya dengan girang.
Ketika Kwan Bu menitipkan ibunya, para nikouw suka menerima dengan senang hati, apa lagi hanya untuk sementara waktu. Tentu saja Kwan Bu yang kini sudah menjadi laki-laki dewasa, tidak mungkin dapat tinggal di kuil itu dan memang bukan kehendak Kwan Bu untuk tinggal di situ. Ia harus pergi mencari musuh besar keluarga ibunya, dan ia datang ke kuil itu hanya untuk menitipkan ibunya. Setelah ia melihat ibunya agak terhibur dan tidak bingung lagi, perlahan-lahan ia menceritakan ibunya akan maksud hatinya mencari musuh besar. Ibunya girang dan suka ditinggalkan di kuil. Maka berangkatlah ia meninggalkan ibunya di kuil, sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Thio Sam yang mengejarnya dan yang datang-datang minta tolong kepadanya.
“Ah, kasihan sekali, kalau tidak kau tolong, siapa lagi yang akan dapat menyelamatkan mereka?” Kwan Bu terkejut. Ia hanya mengkhawatirkan keadaan Siang Hwi. Ada terjadi apakah?
“Lopek lekas ceritakan, apa yang terjadi?” Thio Sam, tukang kebun keluarga Bu itu lalu bercerita dan Kwan Bu mendengarkan dengan penuh perhatian. Apakah sesungguhnya yang terjadi pada keluarga Bu? Memang terjadi hal yang amat penting dan hebat setelah Kwan Bu pergi meninggalkan gedung itu bersama ibunya pada malam hari itu. Terjadinya tepat pada kesokan harinya setelah Kwan Bu pergi. Pagi hari itu, sepasukan tentara terdiri dari tiga puluh orang lebih dipimpin oleh seorang perwira yang tinggi kurus, datang mengunjungi gedung keluarga Bu, mengiringkan tiga orang yang sikapnya aneh akan tetapi pakaiannya mewah. Tiga orang ini sudah tua semua. Yang seorang bertubuh bongkok akan tetapi pakaiannya paling indah diantara mereka bertiga. Pakaian yang dihias benang emas, juga topinya dihias benang emas. Pendeknya pakaian seorang pembesar istana kaisar! Orang kedua juga berpakaian indah dengan topi hias bulu burung garuda, berwajah kurus seperti tikus kelaparan, dengan mulut meruncing ke depan dan kumis jarang. Orang ketiga adalah seorang hwesio, akan tetapi jubahnya amat indah, terbuat dari pada sutera halus berwarna kuning dengan pinggiran terhias benang emas, tongkat panjangnya, tongkat hwesio, pada kepalanya terukir kepala ular terbuat daripada emas murni! Usia mereka sudah lima puluh tahun lebih dan melihat sikap perwira dan anak buahnya terhadap mereka yang amat menghormat, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang penting di kota raja. Hal ini memang tidak keliru karena sesungguhnya tiga orang ini adalah tiga diantara jagoan-jagoan pengawal istana yang semua berjumlah tujuh orang.
“Di mana Bu Keng Liong? Suruh dia keluar menemui kami!” demikian kata perwira pasukan dengan lagak sombong kepada para pelayan yang ketakutan melihat datangnya pasukan ini memenuhi pekarangan depan yang bersih dan kotor bekas pesta kemarin. Thio Sam, pelayan yang tertua dan setia, lebih tabah hatinya. Ia maju memberi hormat dan berkata,
“Bu Thai-ya masih tidur, akan tetapi akan saya laporkan ke dalam. Cuwi (tuan sekalian) ini siapa dan dari manakah? Agar saya dapat laporkan kepada thai-ya dengan betul..?
“Hah, pelayan cerewet! Katakan saja kami dari kota raja, dari istana! Hayo cepat!” bentak perwira itu. Para pelayan menjadi makin ketakutan dan segera mereka lari masuk ke dalam gedung, didahului Thio Sam bahwa ada rombongan tamu dari istana datang,
Bu Keng Liong merasa heran dan cepat-cepat membereskan pakaian lalu melangkah keluar. Melihat keadaan pasukan itu, ia mengerti bahwa itulah pasukan pengawal kerajaan, dengan tanda sehelai bulu yang menghias topi mereka. Ada keperluan apakah sepasukan pengawal istana dengan pemimpin mereka seorang perwira datang ke sini? Dan tiga orang itu. Ia tidak mengenal mereka, namun dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang yang berilmu tinggi dan jelas merupakan petugas-petugas istana pula, melihat dari keadaan pakaian mereka. Bu Keng Liong pernah mendegar akan adanya busu-busu (pengawal kaisar) yang berilmu tinggi dan tidak berpakaian seperti prajurit. Apakah tiga orang ini busu istana? Ia maju dan mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap hormat sambil berkata.
“Cuwi siapakah dan ada keperluan apa minta bertemu dengan saya?”
“Eh, engkau inikah yang bernama Bu Keng Liong?” Si perwira yang tinggi kurus melangkah maju dan bertanya sambil menudingkan telunjuknya ke arah dada Bu Taihiap. Pendekar ini mengerutkan keningnya, akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan sabar. Sudah banyak ia mendengar tentang lagak para petugas kerajaan, dari yang besar sampai yang kecil, kesemuanya adalah tukang korup pencuri kekayaan Negara dan pemeras serta penindas rakyat jelata. Agaknya perwira kecil ini tidak terkecuali maka bersikap begini galak seolah-olah dialah yang menjadi kaisar!
“Benar, akulah orangnya yang bernama Bu Keng Liong,” jawab pendekar ini dengan sikap tidak begitu menghormat lagi karena betapapun juga hatinya merasa mendongkol oleh sikap yang tidak sopan dari si perwira.