“Bagus! Kau baik sekali, Kwan Bu. Terima kasih ya? Mari kita mulai. Di sana saja, di sana rumputnya lebih tebal dan bersih.” Dengan hati girang dan wajah berseri-seri Siang Hwi lalu menyambar tangan Kwan Bu, menariknya berlari-lari ke tengah taman menuju ke lapangan rumput yang hijau bersih dan segar. Merasa! tangan yang halus lunak dan hangat itu menggenggam tangannya, jantungya berdebar.
“Hemm, pantas saja kau bersikap begini baik, bersahabat dan ramah. Kiranya mengandung maksud ini”, pikirnya. Dan ia tidak dapat menolak. Bukan hanya karena ia ingin membantu nona yang disukanya sejak kecil ini, juga di samping ini ia ingin mendengar nona ini nanti membuka rahasia yang menyelubungi dirinya. Rahasia tentang ibunya, tentang ayahnya. Dengan sikap gembira sekali Siang Hwi lalu duduk bersila di atas rumput.
“Lekas-lekas kau lakukan itu!” katanya, seakan-akan tidak mau menanti lebih lama lagi dan tidak ingin membuang waktu. Kwan Bu lalu duduk pula di depan Siang Hwi.
“Maaf, nona. Sebelum saya lakukan Hoa-khi khai-hiat (Pindahkan Hawa Membuka darah), lebih dulu saya harus mengetahui dan mengukur sampai di mana tingkat nona dalam sinkang. Maka harap nona suka mendorong kedua tanganku dan mengerahkan seluruh tenaga sinkangmu.” Siang Hwi menurut. Melihat pemuda itu sudah melonjorkan kedua tangan dengan telapak tangan menghadapnya, ia lalu mendorongkan kedua tangan pula, menggunakan telapak tangan Kwan Bu sambil mengerahkan sinkang. Kalau ia tidak yakin bahwa pemuda itu amat lihai, tentu ia tidak berani melakukan hal ini karena hal ini amat berbahaya. Tenaga sinkangnya dapat menyerang terus sampai ke jantung pemuda itu! Mereka beradu telapak tangan, dan Kwan Bu mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang gadis itu cukup kuat, dapat mendorong hampir sampai siku lengannya.
“Cukup, nona.” Katanya. Mereka melepas tangan dan kini Kwan Bu memutar, duduk bersila di belakang Siang Hwi.
“Kau duduk tenang dan diam nona, kendurkan seluruh urat syaraf, simpan tenaga dan jangan sekali- kali melakukan perlawanan. Buka semua jalan darahmu.” Siang Hwi merasa betapa punggungnya bagian atas, di bawah tengkuk dan bagian bawah, di belakang pusar disentuh oleh telapak tangan Kwan Bu. Ia merasa geli sedikit, namun mempertahankan diri agar tidak tertawa. Betapapun juga, ia mengkirik. Belum pernah bagian-bagian tubuh ini disentuh orang, apalagi oleh seorang laki-laki muda seperti Kwan Bu! Ia mencurahkan seluruh perhatiannya. Akan tetapi sampai lama tidak terjadi sesuatu. Telapak tangan yang menyentuhnya dengan halus itu tidak mengeluarkan hawa sakti, bahkan agak menggigil. “Eh, kenapa masih belum terasa apa-apa!” Tanyanya heran. Kwan Bu makin gugup. Sebetulnya, ketika duduk menempelkan kedua tangan, ia berada dekat sekali di belakang tubuh Siang Hwi. Biar pun tangannya tidak langsung menyentuh kulit punggung. Terhalang pakaian, namun ia merasa betapa kulit punggung halus lunak dan hangat. Ditambah lagi bau semerbak harum dari rambut dan tubuh gadis itu. Kwan Bu seperti orang kehilangan semangat. Tubuhnya menggigil dan tidak kuasa menyatukan pikiran, apalagi mengerahkan sinkang. Jantungnya berdebar, tangannya menggigil dan napasnya agak terengah. Kini mendengar pertanyaan gadis itu, baru ia sadar akan keadaan dirinya dan cepat-cepat ia menindas perasaanya dan menjawab, suaranya agak menggetar.
“Sabar dan tenanglah, nona. Saya belum siap. !” Dengan pengerahan tenaga batinnya,
Akhirya Kwan Bu berhasil juga menindas perasaanya yang tidak karuan itu, menjadi tenang dan mulailah ia mengalirkan sinkang melalui punggung Siang Hwi. Tubuh gadis itu tergetar, tanda bahwa hawa sakti telah memasuki tubuhnya. Siang Hwi terkejut sekali. Hawa panas sekali memasuki tubuhnya dari punggung, terutama dari belakang pusar. Hawa panas ini seperti badai memasuki tubuhnya. Hampir saja ia tidak kuat menahan, hendak melawan dan menolak dengan sinkangnya sendiri. Akan tetapi ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, dia atau Kwan Bu akan terserang bahaya besar, maka ia memaksa diri menerima hawa panas ini yang mengalir masuk, menyelinap ke seluruh bagian tubuh yang menjadi tergetar hebat. Dengan hati penuh kekaguman ia merasa betapa kuatnya hawa sakti ini,
Dan betapa hawa panas mendobrak dan mendorong, membuka jalan darah dan berputaran di sekitar pusar. Makin lama, hawa yang panas dan kuat itu menjadi hangat dan nyaman. Begitu nyaman rasanya sehingga ia tidak tahu lagi betapa lamanya Kwan Bu menyalurkan sinkang. Ia seperti terayun-ayun di antara gelombang tinggi, nikmat dan nyaman sekali seperti orang setengah tidur. Ia tidak tahu betapa Kwan Bu yang menyalurkan tenaga sinkang sampai sejam lebih, kini mulai pucat dan lelah, peluh memenuhi leher dan dahinya. Juga Siang Hwi tidak mengetahui bahwa kini Kwan Bu sudah menghentikan Hoan-khi khai-hiat ini, dan sudah melepaskan kedua tangan dari punggungnya. Bukan hanya tidak tahu, bahkan tiba-tiba tubuh Siang Hwi yang tadinya duduk bersila itu menjadi lemas dan terguling ke belakang perlahan-lahan,
Napasnya teratur dan kini ia rebah terlentang di atas pangkuan Kwan Bu karena gadis ini tertidur! Kwan Bu tersenyum, geli mellihat keadaan gadis ini. Ia merasa girang karena maklum bahwa bantuannya telah berhasil. Sayangnya bahwa gadis ini tidak dapat menahan diri, begitu terpengaruh rasa nikmat sehingga tertidur. Hal ini mengurangi keuntungan yang diterimanya, karena biarpun jalan darahnya telah terbuka dan ia kini akan dapat menyalurkan sinkang lebih leluasa dan kuat, namun ia tidak dapat menggunakan bantuan hawa sakti Kwan Bu untuk berlatih. Kalau ia tidak tidur, tentu tadi ia dapat mengimbangi gerakan hawa sakti itu untuk disatukan dengan hawa sakti di tubuhnya sendiri dan berlatih menggerakkan tenaga mujijat itu di sekeliling tubuhnya.
Akan tetapi Kwan Bu tidak berani bergerak, tidak tega mengganggu gadis yang tetidur begitu nyenyaknya. Bahkan ia tadi telah menjaga kepala gadis itu dengan lengannya sehingga kepala itu kini rebah di atas dadanya, Kwan Bu masih tersenyum dan ia menunduk, memandang wajah Siang Hwi yang berada di atas dada. Dan ia terpesona! Bulan telah bersinar sepenuhnya dan kini cahaya menimpa wajah Siang Hwi tanpa terhalang sesuatu. Wajah itu tampak cantik jelita dan bercahaya. Kulit muka yang putih kemerahan dan halus itu kini terselimut cahaya keemasan. Matanya tertutup. Bulu mata yang hitam lentik dan panjang menimbulkan bayang-bayang gelap di bawah mata. Tarikan napas halus keluar masuk hidung yang kecil mungil dan mancung. Dan mulut itu. ! Kwan Bu tak dapat melepaskan pandang matanya dari mulut yang berada dekat
itu. Gadis itu tersenyum dalam tidurnya. Senyum dengan bibir seperti mentertawakan, mulut setengah terbuka sehingga tampak deretan ujung gigi yang putih seperti mutiara. Kwan Bu seperti mendadak menjadi gila! Bibir yang dekat itu dalam pandang matanya begitu penuh tantangan, penuh rangsangan. Seakan-akan mulut itu berubah menjadi buah apel merah dalam pandang mata seorang yang kelaparan dan kehausan. Kwan Bu seorang pemuda yang sudah cukup dewasa, dua puluh satu tahun usianya. Namun baru sekali ini selama hidupnya ia memangku seorang wanita, bahkan baru kali ini ia berdekatan, sempat memandang wajah wanita sampai sepuasnya tanpa terganggu.
Sucinya, Bi Hwa, juga cantik jelita dan menarik. Akan tetapi mereka itu tidak pernah berdekatan seperti ini paling dekat hanya di waktu sama-sama berlatih silat. Daya tarik alamiah antara pria dan wanita memang hebat sekali. Betapapun teguh dan kokoh kuat batin Kwan Bu, sekali ini daya tarik itu menyeretnya sedemikian rupa sehingga membuat ia roboh tidak berdaya, membuat ia lemah lunglai dan menyerah kepada getaran kasih asmara yang tak terlawankan itu. Dia seperti seorang yang sudah kehilangan kesadarannya, bagaikan terbuai dalam alam mimpi. Dia sendiri tidak sadar dan tidak tahu apa yang mendorongnya saat itu sehingga tiba-tiba namun perlahan sekali, ia menunduk, membungkuk dan mendekatkan mukanya dengan wajah yang menggairahkan dan merangsangnya itu.
Tanpa ia sadari mengapa ia mampu dan berani melakukan hal yang langka itu, tahu-tahu ia sudah mendekatkan bibir dan mencium mulut yang setengah terbuka itu. Mencium mesra dan lembut, sepenuh perasaan cinta kasih yang mendadak timbul di hatinya, penuh rasa sayang dan penuh nafsu. Bagaikan dalam mimpi Kwan Bu merasa betapa mulut yang dicium itu menyambutnya, betapa bibir itu bergerak, betapa napas itu terengah dan betapa kedua lengan Siang Hwi tiba-tiba saja bergerak merangkul lehernya! Akan tetapi hanya beberapa detik saja, karena tiba-tiba Siang Hwi meronta sehingga terlepas dari pelukan, mencelat mundur dan masih duduk di atas rumput, hanya semeter di depannya, membelalakan mata dan menudingkan telunjuk ke arah dadanya sambil berkata.
“Kenapa.....? Kenapa kau..... mencium aku. ?” Kwan Bu kini sadar, kesadaran yang datangnya seperti
sambaran petir,membuat matanya terbelalak, mukanya pucat dan kepalanya pening, jantungnya berdebar penuh kegelisahan dan kekagetan. Apa yang telah ia lakukan? Celaka! ia telah melakukan sesuatu yang amat hebat! Penghinaan yang tiada taranya! Ia tadi telah menjadi gila, telah berobah menjadi iblis? Pada saat itu, sesosok bayangan hitam menerjang dari belakang, langsung menghantam punggung Kwan Bu dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga dahsyat.
“Kau anak haram kurang ajar!” bentak bayangan itu. Kwan Bu mengenal suara Liu Kong dan tahu bahwa pemuda itu memukul punggungnya, akan tetapi ia masih terlampau kaget akan kenyataan bahwa ia telah mencium nona majikannya, maka ia seperti tidak perdulikan, hanya mengerahkan sedikit tenaga sinkang melindungi punggung.
“Bukkk!!” Tangan Liu Kong seperti memukul karet yang keras dan membalik, bahkan lengannya terasa sakit dan tubuhnya terhuyung tiga langkah ke belakang, sedangkan tubuh Kwan Bu sama sekali tidak bergeming.
“Liu kongcu (tuan muda Liu), aku tidak mau bermusuh denganmu...!” kata Kwan Bu sambil menengok ke belakang.
“Kau...... Kau. !” Siang Hwi yang kini menjadi makin jengah dan malu melihat munculnya Liu Kong
yang ia duga tentu tadi melihat betapa ia dipangku Kwan Bu dan. dicium mulutnya, apalagi kalau ia teringat betapa tadi merasa bahagia sekali dalam beberapa detik, betapa ia membalas ciuman bahkan merangkul. Tak dapat lagi ia menahan kemarahannya karena malu, meloncat ke depan, tangannya menampar.
“Plakl Plak!” Dua kali pipi Kwan Bu ditempiling. Pemuda ini tidak melawan, bahkan tidak mengerahkan tenaga sehingga pipinya yang kiri menjadi matang biru dan ujung mulutnya berdarah. Ia terhuyung mundur. Pada saat itu Liu Kong yang sudah mencabut pedang, menerjangnya.
“Trang...!” Pedang Liu Kong tertangkis dari samping dan ternyata Kwee Cin yang menangkis pedang ini.
“Twa-suheng! Jangan.... mengapa kau menyerang Kwan Bu? Engkau bukan lawannya, dan ada urusan dapat didamaikan, perlu apa memakai kekerasan?”
“Sute! Jangan turut campur! Aku harus bunuh anak haram biadab ini.”
“Ah, suheng. Dia telah menyelamatkan nyawamu, bahkan menyelamatkan kita semua.” “Siapa sudi dibantu anak haram? Lebih baik aku mati!”
“Suheng, jangan kira bahwa aku tidak tahu persoalannya. Engkau dibutakan perasaan cemburu. Kalau memang sumoi memilih Kwan Bu, hal itu sudah selayaknya. Dia sepuluh kali lebih berharga dari pada kita berdua. Mengapa kau menjadi iri hati?”
“Keparat, tutup mulutmu, sute! Kau kira aku sendiri tidak tahu bahwa engkau tergila-gila kepada sumoi dan merasa tidak akan menang bersaing denganku, kau lah yang menjadi iri hati kepadaku, dan kini berpihak kepada anak haram ini.”
“Suheng!!”
“Sute, kau mau apa? Sumoi calon milikku, karena itu aku tidak rela anak haram ini kurang ajar kepadanya. Kau mau membelanya?” Dua orang kakak adik seperguruan ini dengan pedang di tangan saling berhadapan, agaknya tak dapat dicegah lagi akan terjadi pertempuran antara saudara. Kwan Bu maklum akan tegangnya keadaan, maka ia melangkah maju melerai.
“Liu Kongcu dan Kwee Kongcu, sudahlah. Tidak ada hal yang perlu diributkan. Tidak terjadi apa-apa disini. Bu-siocia hanya......... akan ku tanyai tentang riwayatku... hanya salah paham. !”
“Keparat, kau anak haram!” Liu Kong menusukkan pedangnya dengan gerakan kilat. Namun Kwan Bu miringkan tubuh dan sekali tangannya bergerak menampar lengan yang memegang pedang, Liu Kong mengeluh, lengannya seperti lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangannya.
“Kwan Bu, berani kau memukul suheng!” Lihat pedang! Kwee Cin yang tadinya cekcok dengan suhengnya melihat kini suhengnya dikalahkan Kwan Bu, menjadi marah dan timbul kesetiaannya, lalu menyerang Kwan Bu dengan pedangnya. Kwan Bu kagum dan senang sekali melihat kesetiaan Kwee Cin. Ia mengelak dan sampai lima kali ia membiarkan Kwee Cin menyerangnya. Pada serangan keenam kalinya, ia mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sekali ia mencengkeram, ia telah berhasil merampas pedang dari tangan Kwee Cin lalu melayang turun dan berkata,
“Kwee kongcu, tahan. !” Pada saat itu, terdengar bentakan Bu Keng Liong. “Apa yang terjadi di sini?” Kwan Bu melepaskan pedang Kwee Cin lalu menghadapi majikannya, menjura dalam dan berkata.