“Nona Siang Hwi !” ia berkata sambil menjura sebagai tanda penghormatan.
“Eh, Kwan Bu kau...... kau sekarang bukan menjadi pelayan kami lagi, karena itu tak perlulah kau merendahkan diri. Kau sebut saja namaku, tidak perlu pakai nona-nonaan segala macam! Kau telah menjadi seorang yang gagah perkasa, berarti kita segolongan. Kau telah menolong dan membersihkan muka keluarga kami, berarti kau sahabat.” Berdebar jantung Kwan Bu. Sikap Siang Hwi amat polos dan jujur, dan betapa tidak akan girang hatinya kalau nona ini menganggapnya sebagai seorang sahabat? Akan tetapi Kwan Bu rendah diri. Rasa rendah diri masih melekat di hatinya karena sejak kecil ia menjadi pelayan nona ini. Apalagi kalau teringat akan “julukan” yang diberikan nona dan suheng-suhengnya kepadanya, yaitu anak haram! Betapa mungkin ia duduk sejajar berdiri setingkat dengan Bu Siang Hwi?
“Maaf siocia (nona), aku... aku hanya seorang anak haram yang rendah..., ibu dan aku adalah pelayan di sini..?”
“Hushh! Engkau masih hendak membantahku?” Kwan Bu tersenyum pahit.
“Hemmm” bisiknya di hati, “engkau mengangkat aku menjadi sahabat setelah menghina dengan sebutan anak haram, karena kini sikapmu tetap memerintah dan tinggi hati seperti seorang majikan!” Karena ia mempunyai niat di hatinya untuk meminta keterangan kepada gadis ini akan keharamannya, maka ia tidak perdulikan sikap itu dan menjura lagi sambil berkata,
“Siocia, sesungguhnya amat kebetulan sekali saya dapat berjumpa dengan nona di sini, karena ada suatu permohonan dariku yang ingin kusampaikan kepada nona dengan harapan semoga nona tidak akan menolak permohonanku itu.” Siang Hwi memandang wajah bekas pelayan ini dan diam-diam ia merasa kagum. Baru tampak jelas olehnya kini betapa wajah yang tertimpa sinar bulan itu amatlah tampan dan gagah, betapa sepasang mata itu tajam penuh semangat dan wibawa, betapa tarikan mulut itu membayangkan ketenangan dan kebesaran, namun lekuk dagu itu membayangkan sifat jantan yang mengagumkan. Jelas bahwa Kwan Bu tidak kalah dalam hal ketampanan dan kegagahan daripada kedua orang suhengnya. Apalagi kalau diingat akan kelihaian ilmu silatnya, benar-benar seorang pria pilihan yang sukar dicari bandingannya. Sayangnya, anak haram dia!
“Engkau? Permohonan? Hi hik!” Siang Hwi menutupi mulutnya ketika terkekeh geli.
“Permohonon apa sih? Aneh-aneh saja kau ini.” Kwan Bu menghela napas panjang. Sikap yang ramah dan seperti bersahabat dari nona ini malah menggelisahkan hatinya, karena tidak wajar, tidak seperti biasanya.
“Nona, aku pernah mendengar nona mengatakan kepada dua orang tuan muda bahwa ibuku tidak pernah mempunyai suami. Karena aku merasa penasaran dan thai-ya (tuan besar) tidak menjelaskannya kepadaku, maka saya mohon, sudilah nona memberi penjelasan tentang keberadaanku sebagai anak haram!” Berubah wajah Siang Hwi, agak kaget dia dan kini ia memandang wajah itu penuh perhatian.
“Kwan Bu, apakah engkau merasa sakit hati dengan sebutan itu?” Kwan Bu menggeleng kepala dan menjawab sungguh-sungguh.
“Tidak sama sekali nona. Apa sebabnya sakit hati kalau memang kenyataanya demikian? Nah, karena ingin mendengar kenyataanya, saya mohon bantuan nona.” Siang Hwi menghela napas lalu menjatuhkan diri di atas bangku tak jauh dari situ. Kwan Bu mengikuti gerak-gerik nona ini, sejak melangkah sejauh empat langkah ke bangku dan ketika menjatuhkan diri. Ia kagum. Siang Hwi dalam pakaiannya yang lemah gemulai, piggangnya yang ramping melekuk ke kanan ke kiri seperti akan patah, tubuh yang membayangkan kelemasan dan kekuatan, amatlah menarik hati. Cara gadis itu menggerakkan kepala untuk memindahkan rambut panjang dari depan dada meloncati pundak ke punggung setelah duduk di bangku, cara gadis itu menengok ke arahnya dan memandangnya dari sudut mata, semua gerakkan yang amat manis menggairahkan, wajah tanpa dibuat-buat, mendebarkan jantungnya,
“Tidak baik membuka-buka rahasia orang, Kwan Bu.”
“Hemm, kau bilang tidak baik membuka rahasia orang, Kenapa kau ceritakan kepada Liu Kong dan Kwee Cin?” Demikian kata hatinya, akan tetapi mulutnya berkata halus,
“Kalau nona ceritakan kepada saya, berarti tidak membuka rahasia orang, nona!”
“Hemmm, aku mau menceritakan hal itu akan tetapi........., setelah kau suka pula memenuhi permintaanku,”
“Permintaan nona?” Kwan Bu terheran. “Permintaan apakah?”
“Menurut penuturan ayah, seorang yang lihainya sudah kuat, dapat membantu orang lain melancarakan jalan darah dan memperkuat sinkang orang lain itu. Ayah telah membantuku dan kedua orang suhengku, akan tetapi ternyata bahwa tingkat kepandaian ayah kiranya masih amat jauh kalau dibandingkan dengan tingkat mu. Maka, aku minta kepadamu, sukalah engkau membantuku dalam hal ini, menggunakan sinkangmu untuk membantuku memperoleh kemajuan.” Untung bahwa sinar bulan memang kemerahan sehingga menyembunyikan warna merah yang menjalar di seluruh permukaan wajah Kwan Bu. Dengan sikap likat dan malu-malu ia memandang wajah gadis itu, kemudian berkata,
“Siocia, bagaimana saya berani melakukan hal itu? Nona... tentu... mengerti hal itu... hanya dapat di lakukan..?
“Aahhh, Kwan Bu, kenapa kau bicara seperti seorang kakek-kakek yang terlalu banyak peraturan? Orang-orang yang tergolong pendekar-pendekar seperti kita ini perlu lagikah terikat oleh segala tata cara malu-malu? Asal batin kita bersih saja, apalagi halangannya? Aku tahu, untuk menyalurkan Sinkang nmnnbantuku, kita harus mengadu telapak tangan. Apakah kau pikir tanganku terlalu kotor untuk menempel di tanganmu!” sambil berkata demikian, gadis ini bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Kwan Bu sampai mereka berdiri berhadapan. Siang Hwi memandang dengan sinar mata menentang dan marah. Baru sekali ini mereka berdiri berhadapan begitu dekat, Kwan Bu mendapat kenyataan bahwa gadis itu tingginya hanya sampai di dagunya. Akan tetapi heran sekali ia mengapa dahulu ia selalu memandang gadis ini dengan perasaan seolah-olah gadis ini lebih tinggi dari padanya. “Bukan begitu, nona. Bahkan ada cara lain yang lebih tepat lagi, yaitu dengan menempelkan telapak tangan di punggung !”
“Nah, lebih baik lagi kalau begitu! Kita tidak perlu duduk berhadapan! Mengapa masih ragu-ragu? Ataukah. eh, barangkali engkau tidak mau membantuku?”
“Tentu saja aku mau, nona..?”
“Nah, tunggu apalagi? Marilah, lebih baik di lian-bu-thia (ruangan belajar silat) agar tidak terganggu orang lain.”
“Tidak baik kalau dilakukan di dalam bangunan yang hawanya tidak segar, nona. Kita dapat lakukan itu di dalam taman ini.”